Oleh Julia Kassem
Purna Warta – Tahun 2024 akan selamanya tercatat dalam sejarah sebagai tahun para syuhada. Tahun ini adalah tahun di mana nama-nama pemimpin perlawanan ikonik seperti Sayyid Hassan Nasrallah, Yahya Sinwar, Ismail Haniyeh, Sayyid Hashem Safieddine, Saleh al-Arouri, dan banyak lainnya diabadikan.
Baca juga: Menteri Luar Negeri Araghchi: Iran Siap untuk Perundingan Nuklir yang Konstruktif
Ini juga merupakan tahun penuh tragedi tak terkatakan—tahun yang dibasahi darah lebih dari 200.000 rakyat Palestina, separuhnya adalah anak-anak tak berdosa, yang dengan kejam dibantai oleh entitas Zionis.
Bersama mereka, 4.000 syuhada Lebanon, mayoritas dari mereka warga sipil, bergabung dalam barisan suci mereka yang gugur melawan tirani dan membela kaum tertindas.
Jumlah korban jiwa yang luar biasa besar dan kejahatan perang genosida yang menimpa Gaza menggema sebagai luka tajam yang tak kunjung sembuh di seluruh dunia Muslim. Dari Gaza hingga Parachinar, luka-luka ini tetap segar.
Penderitaan ini menjadi saksi dari perjuangan yang didedikasikan oleh Jenderal Qassem Soleimani sepanjang hidupnya—perjuangan tanpa henti untuk memperluas kekuatan perlawanan di dunia Islam melawan mesin Takfirisme dan Zionisme yang didukung Barat.
Para pemimpin perlawanan tercinta yang mencapai kesyahidan pada tahun 2024 bergabung dengan karavan abadi yang sangat dirindukan oleh Jenderal Soleimani sendiri—kerinduan yang akhirnya terpenuhi pada 3 Januari 2020, pukul 01:20 pagi.
Dalam wasiat terakhirnya, kata-kata Jenderal Soleimani bergema dengan kedalaman pengabdiannya:
“Ya Allah yang Maha Kasih, bertahun-tahun lamanya aku tertinggal dari sebuah karavan. Aku terus-menerus mengirim orang lain ke arahnya, tetapi aku sendiri tertinggal. Engkau sendiri tahu bahwa aku tidak pernah bisa melupakan mereka. Kenangan dan nama mereka selalu menggema, bukan hanya di pikiranku, tetapi di hatiku, di mataku dengan air mata dan keluh kesah.”
Dikenal dengan penuh kasih sebagai “komandan hati,” komandan Pasukan Quds IRGC ini menjadi mercusuar harapan dan perlawanan di Iran dan seluruh dunia.
Warisan Inspiratif dan Keberanian yang Abadi
Cinta tulusnya untuk rakyatnya, komitmennya yang tak tergoyahkan pada keyakinannya, dan pengabdiannya yang teguh kepada Tuhan mengangkatnya ke derajat yang jarang dapat dicapai. Warisannya, seperti perbuatannya, terus menjadi simbol ketahanan dan iman.
Sebagai komandan Pasukan Quds IRGC sejak 1998, Haji Qassem mulai mengasah keahliannya di medan perang selama perang Pertahanan Suci melawan rezim Baath Irak yang didukung AS pada 1980-an.
Berawal sebagai pegawai di Otoritas Air Kerman, Jenderal Soleimani bergabung dan berlatih dengan IRGC sejak usia muda.
Permulaan yang sederhana, dedikasi seumur hidup pada perlawanan, serta integritas pribadi dan spiritualnya yang luar biasa menjadi landasan kebangkitannya sebagai pemimpin dengan keberanian yang tak tertandingi.
Dia tidak gentar menghadapi Amerika dan sekutu-sekutunya, dengan gagah berani menggagalkan rencana mereka. Kepemimpinan alaminya yang diperoleh dengan kerja keras mengangkat Iran ke posisi menonjol—bukan hanya sebagai kekuatan regional tetapi juga sebagai kekuatan berpengaruh di panggung global.
Seperti yang disampaikan Pemimpin Revolusi Islam Ayatullah Sayyid Ali Khamenei pada hari Rabu (1/1), Syahid Soleimani melihat tantangan yang dihadapi Iran melalui lensa yang luas dan bersifat internasional. Wawasan strategisnya mengenali keterkaitan antara peristiwa-peristiwa regional dan isu-isu Iran, menyoroti perspektif globalnya yang luar biasa.
Baca juga: Yaman: Pembangkit Listrik Israel di Hadera Diserang Rudal Hipersonik
Salah satu contoh mencolok dari pandangan ke depan ini adalah penilaian Jenderal Soleimani terhadap invasi Amerika ke Afghanistan dan Irak, yang dianggapnya sebagai manuver untuk mengepung Iran. Ia melihat invasi Baghdad pada tahun 2003 bukan sebagai upaya pembebasan, melainkan sebagai strategi untuk menggantikan Saddam Hussein dengan kendali langsung Amerika—pandangan yang sangat bertentangan dengan narasi palsu yang disebarkan oleh kelompok Takfiri di media sosial, yang semakin nyaring menjelang peringatan syahidnya Soleimani.
Pada tahun 2014, Jenderal Soleimani menunjukkan kepemimpinannya yang visioner dengan membujuk Ayatullah Sayyid Ali Sistani, ulama tertinggi Irak, untuk mengeluarkan fatwa yang menyerukan pembentukan Unit Mobilisasi Populer (Hashd al-Shaabi). Koalisi ini, yang menyatukan para pejuang di bawah komandan legendaris seperti Abu Mahdi al-Muhandis, menjadi kekuatan tangguh melawan Daesh.
Hari ini, Soleimani, al-Muhandis, dan para komandan perlawanan ikonik lainnya dikenang di seluruh dunia atas peran mereka yang menentukan dalam mengalahkan kelompok teroris Daesh.
Mereka tidak hanya menghancurkan dominasi wilayah kelompok teroris ini di Irak dan Suriah, tetapi juga memupuk persatuan dengan mengorganisir koalisi pluralistik di bawah payung PMU, melampaui batasan sektarian dan etnis. Warisan mereka berdiri sebagai bukti kekuatan perlawanan dan solidaritas.
Jenderal Soleimani juga menunjukkan komitmen yang tak tergoyahkan dan tidak mengenal “garis merah” dalam dukungannya yang tanpa syarat terhadap perlawanan Palestina selama beberapa dekade. Kehadirannya di lapangan—memberikan nasihat kepada perlawanan di Gaza, Lebanon, dan Yaman—sangat penting selama pertempuran mereka melawan AS dan rezim Israel.
Saat membangun kerja sama dalam Poros Perlawanan, Jenderal Soleimani menerapkan mekanisme transformasi menuju kemandirian. Di bawah arahannya, gerakan perlawanan seperti Hizbullah, Ansarullah, Perlawanan Islam Irak, dan faksi-faksi perlawanan Palestina mampu memperoleh kemampuan canggih dan merekayasa senjata seperti misil dan drone secara domestik.
Kemandirian ini tidak hanya memperkuat masing-masing pihak secara individu, tetapi juga memperdalam kekuatan jaringan perlawanan yang saling terhubung dalam menghadapi musuh bersama.
Upaya terkoordinasi dari faksi-faksi perlawanan Palestina selama Operasi Saif al-Quds pada Mei 2021 menjadi bukti kuat warisan abadi Jenderal Soleimani. Perannya yang penting dalam menyatukan, mempersenjatai, dan merumuskan strategi di bawah panji Kesatuan Front menunjukkan visinya untuk aliansi perlawanan yang kohesif dan tangguh.
Saat ini, tantangan pasca-Assad di Suriah menjanjikan perluasan cakrawala perlawanan regional. Front-front baru akan dibangun, yang sudah ada diperkuat, dan kemampuan ditingkatkan, semuanya sebagai kelanjutan dari jalan yang dirintis oleh Haj Qassem dan pemimpin Hizbullah yang syahid, Sayyid Hassan Nasrallah.
Warisan mereka menginspirasi semangat yang tak tergoyahkan untuk beradaptasi, berkembang, dan melawan penindasan di setiap level.
Dalam membangun jaringan tangguh yang melintasi Asia Barat, Haj Qassem memadukan keahlian diplomasi dengan strategi militer, membuktikan bahwa diplomasi sejati lahir dari posisi kekuatan. Ia mendefinisikan ulang seni negosiasi, menunjukkan bahwa kekuatan—jika dipadukan dengan visi—dapat membawa perubahan yang bermakna.
Jam-jam terakhir dalam hidupnya, di saat-saat awal pagi ketika ia mencapai syahid, mencerminkan dedikasi seumur hidupnya pada perdamaian dan perlawanan. Ketika meninggalkan Bandara Internasional Baghdad, Jenderal Soleimani sedang dalam perjalanan untuk merancang kesepakatan damai bersejarah antara Iran dan Arab Saudi.
Upaya ini bertujuan untuk menciptakan détente dan mengakhiri perang yang didukung Amerika Serikat di Yaman, yang semakin melemahkan Arab Saudi, sekaligus menegaskan perannya sebagai pemersatu dan pembawa perdamaian bahkan di tengah tantangan.
Aktor-aktor regional, termasuk pihak Saudi sendiri, lebih memilih berdialog dengan Jenderal Soleimani dibandingkan dengan yang lain, karena penguasaannya yang kokoh atas keputusan politik dan diplomatik. Reputasinya sebagai pemimpin yang tegas dan strategis menjadikannya mediator pilihan di era dinamika regional yang kompleks.
Hal ini sangat kontras dengan pendekatan rekonsiliasi dalam negosiasi, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai alternatif, bukan pelengkap, dari perlawanan. Jenderal Soleimani memperingatkan agar tidak meninggalkan medan perang demi meja perundingan—jalan yang menurutnya dalam wasiat terakhirnya penuh dengan harapan palsu dan merugikan barisan perlawanan.
Sepanjang hidup dan kariernya, komandan anti-teror tertinggi ini menunjukkan bahwa diplomasi paling efektif ketika berakar pada kemenangan perlawanan dan dilakukan dari posisi kekuatan yang tak terbantahkan.
Sebagai arsitek visioner kebijakan luar negeri yang digerakkan oleh perlawanan dengan dampak global, Jenderal Soleimani memainkan peran penting dalam memperkuat posisi kedaulatan Rusia melawan NATO dan Amerika Serikat.
Pada pertengahan 2015, ia meyakinkan Moskow untuk bergabung dengan Tehran dalam perang melawan Daesh di Suriah, memadukan kekuatan udara Rusia dengan operasi darat yang dipimpin Iran. Ini menandai awal kemitraan yang berkembang antara Iran dan Rusia, mengubah lanskap geopolitik di kawasan tersebut.
“Syahid Soleimani lebih berbahaya daripada Soleimani yang masih hidup,” ujar Ayatullah Khamenei dengan terkenal setelah syahidnya komandan itu pada Januari 2020. Kata-kata ini menjadi bukti kekuatan abadi warisan Soleimani dan semangat revolusioner yang ia nyalakan.
Pada 8 Januari, hanya lima hari setelah syahidnya, Iran meluncurkan operasi langsung pertama melawan AS, menargetkan basis militer Amerika di Irak. Tindakan perlawanan ini membuka jalan bagi serangkaian operasi perlawanan terkoordinasi melawan situs-situs pendudukan Amerika di Irak, dengan Hashd al-Shaabi memainkan peran penting.
Jalan-jalan di Iran, dipenuhi oleh jutaan pelayat dari berbagai latar belakang dan ideologi, menjadi saksi dampak mendalam dan popularitas Jenderal Soleimani. Syahidnya menyatukan sebuah bangsa, mencerminkan resonansi mendalam dari visinya, kepemimpinannya, dan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap ideal-ideal perlawanan dan Revolusi Islam.
Dalam pidato Pemimpin Revolusi Islam pada 1 Januari untuk memperingati ulang tahun syahidnya Jenderal Soleimani, ia menguraikan konsep mendalam tentang “Madrasah Soleimani.” Ini mencakup penerapan prinsip-prinsip revolusioner Imam Khomeini secara praktis dan transformatif di lapangan oleh mantan komandan anti-teror itu.
Dampak revolusioner Jenderal Soleimani melampaui medan perang, membentuk urusan luar negeri, keamanan regional, dan kemandirian dalam strategi politik, pertahanan, serta kawasan. Warisannya dalam memupuk persatuan melawan imperialisme dan penindasan lintas bangsa terus menjadi cahaya penuntun bagi gerakan perlawanan di seluruh dunia.
Ayatullah Khamenei menekankan peran penting Jenderal Soleimani dalam perkembangan di Suriah dan Irak—dua negara yang tetap berada di garis depan melawan ancaman Takfiri yang bertujuan untuk memisahkan dan menghancurkan Poros Perlawanan.
Kata-kata Pemimpin tersebut menegaskan bahwa visi perlawanan Jenderal Soleimani—bukan rekonsiliasi atau konsesi—adalah satu-satunya jalan menuju kemenangan yang abadi.
Komandan anti-teror yang telah syahid ini memiliki kemampuan luar biasa untuk mengubah ancaman menjadi peluang, memperkuat perlawanan di kawasan. Seperti yang dicatat oleh Presiden Ibrahim Raisi dalam pidato peringatan tahun 2022, kejeniusannya dalam strategi dan dedikasi tanpa kompromi memperkokoh fondasi perlawanan terhadap agresi imperialisme.
Dalam wasiat terakhirnya, Haj Qassem Soleimani mendorong rakyatnya dan para pengikutnya untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip Revolusi Islam, Wilayat, dan Al-Qur’an.
“Pahami musuh, tujuannya, dan kebijakan-kebijakannya tepat waktu, lalu buatlah keputusan dan bertindaklah dengan segera. Setiap keterlambatan dalam hal ini akan sangat memengaruhi kemenangan Anda,” ia memperingatkan.
Pidato Ayatullah Khamenei pada 10 Desember, disampaikan setelah jatuhnya Suriah ke tangan kelompok militan, menandai perubahan nada yang signifikan dibandingkan beberapa pidatonya sebelumnya.
Pemimpin dengan tegas menolak narasi kekalahan terkait perlawanan dan menyangkal klaim bahwa darah yang tumpah untuk membela tempat-tempat suci—yang kini berdiri dengan aman dan megah berkat pengorbanan para pembelanya—sia-sia.
Sambil mengakui kemunduran di Suriah, dalam pidatonya pada Desember 2024 dan 1 Januari, ia menekankan pentingnya proaktif, inisiatif, dan keberanian yang tak tergoyahkan dalam menghadapi Amerika dan rezim Zionis.
Sifat-sifat ini, yang dihidupkan Jenderal Soleimani sepanjang hidupnya, menjadi landasan pesan Ayatullah Khamenei pada hari Rabu. Ia mengingatkan bahwa sifat-sifat ini bukan hanya milik individu luar biasa seperti Jenderal Soleimani, tetapi juga milik setiap orang beriman:
“Jika kita memiliki iman yang sama, tindakan yang sama, dan niat yang benar, kita juga dapat menjadi Soleimani. Jika masing-masing dari kita berkomitmen sepenuhnya pada jalan ini, kita juga akan menerima rahmat ilahi yang sama,” ia menyatakan.
Mengambil inspirasi dari Imam Khomeini, Ayatullah Khamenei menegaskan kembali dalam pidato peringatannya untuk Syahid Soleimani bahwa, terlepas dari hasil langsung, darah yang tertumpah di jalan Allah tidak pernah sia-sia.
Ia mengutip janji Al-Qur’an: “Barang siapa yang berperang di jalan Allah, baik ia terbunuh maupun menang, Kami akan memberikan pahala yang besar kepadanya.”
Semangat keteguhan yang tak tergoyahkan ini merangkum rahasia kemenangan—sebuah prinsip yang berulang kali ditekankan oleh Jenderal Soleimani dalam wasiatnya. Semangat inilah yang menolak godaan politik berupa keraguan dan keheningan yang melumpuhkan.
Dalam pesan yang tulus, sang Syahid menulis:
“Prajurit Anda melihat dari menara pengawas bahwa jika Republik Islam terluka, agama itu sendiri—bersama dengan semua yang telah Anda perjuangkan tanpa lelah untuk dilindungi dan dikembangkan—akan hancur. Era ini tidak seperti yang lainnya. Jika mereka menguasai sekarang, tidak akan ada yang tersisa dari Islam. Jalan yang benar adalah mendukung Revolusi, Republik Islam, dan Wali Faqih tanpa ragu atau reservasi. Anda, sebagai sumber harapan bagi Islam, tidak boleh membiarkan keraguan menyelinap masuk atau melumpuhkan Anda.”
Kata-kata ini, yang dipenuhi dengan keyakinan dan pandangan jauh ke depan, terus menjadi mercusuar bagi Perlawanan dan seruan bagi komitmen tak tergoyahkan terhadap iman, keadilan, dan pembelaan terhadap yang tertindas.
Julia Kassem adalah seorang penulis dan komentator yang berbasis di Beirut, dengan karya-karyanya diterbitkan di Press TV, Al-Akhbar, dan Al-Mayadeen English.