HomeAnalisaJenderal Soleimani Sebagai Penggagas Pemulihan Hubungan Iran dengan Saudi dan Emirat

Jenderal Soleimani Sebagai Penggagas Pemulihan Hubungan Iran dengan Saudi dan Emirat

Tehran, Purna Warta Liputan media arus utama memberitakan tentang kesepakatan antara Republik Islam Iran dan Kerajaan Arab Saudi untuk memulihkan hubungan diplomatik setelah tujuh tahun kehilangan elemen kunci – peran instrumental Jenderal Qasem Soleimani untuk mewujudkannya.

Mantan Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi dalam sebuah artikel baru-baru ini menyoroti peran komandan anti-teror di belakang layar dalam mendorong kesepakatan hubungan damai antara Iran dan Arab Saudi, tetapi hal itu belum mendapat perhatian yang diperlukan.

Baca Juga : Rusia Buka Kasus Pidana terhadap Kepala Jaksa ICC

Jenderal Soleimani tanpa lelah melakukan mediasi untuk mencoba mencapai terobosan diplomatik baik dengan Saudi maupun Emirat, keduanya memutuskan hubungan dengan Iran setelah eksekusi ulama Syiah Saudi Sheikh Nimr al-Nimr pada tahun 2016.

Mediasi inilah yang menyebabkan terjadinya pembunuhan terhadapnya oleh pemerintahan Trump di Baghdad pada Januari 2000. Kejahatan pengecut tersebut merupakan upaya untuk mencegah penyelesaian diplomatik konflik regional.

New York Times mengungkapkan bahwa Jenderal Soleimani bertemu dengan otoritas Emirat setidaknya sekali pada September 2020 untuk menengahi perdamaian.

Begitu orang Amerika Serikat mengetahui pertemuan itu, “alarm berbunyi di dalam Gedung Putih,” seperti yang dilaporkan oleh pemberitaan NYT.

Menurut sebuah laporan, selama periode yang sama, Jenderal Soleimani melakukan upaya serius untuk mencapai kesepakatan diplomatik dengan Arab Saudi dengan mediasi Pakistan dan Irak.

Menurut Abdul-Mahdi, Jenderal Soleimani telah merencanakan untuk bertemu dengannya secara resmi selama perjalanannya ke Baghdad pada Januari 2002 untuk memberi tahu dia tentang negosiasi dengan Saudi.

Baca Juga : Moskow: Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman Tidak Dapat Menengahi Penyelesaian Krisis Ukraina

Upaya Iran, yang dipersonifikasikan dalam sosok Jenderal Soleimani, tidak hanya membuat khawatir Amerika Serikat tetapi juga mengejutkan rezim Zionis.

Zionis merasa terancam oleh upaya diplomatik komandan tertinggi Iran, yang akan berhasil menempa stabilitas regional intra-Islam dan memukul hegemoni AS.

Pemulihan diplomatik tersebut akhirnya tercapai berkat mediasi China minggu lalu di Beijing.

Visi Ummat, baik Jenderal Soleimani maupun Republik Islam Iran menyoroti salah satu prinsip dasar Revolusi Islam 1979 yakni seruan untuk persatuan di antara umat Islam.

Salah satu ciri dasar Revolusi Islam Iran yang didefinisikan oleh Imam Khomeini adalah pendiriannya yang “Lintas mazhab”, sebuah upaya untuk menjembatani kesenjangan antara Sunni dan Syi’ah.

Pencarian persatuan Islam ini sangat penting untuk memahami representasi diri Republik Islam Iran sebagai rumah politik semua Muslim, semacam kekuatan besar yang mampu mempertahankan seluruh komunitas Islam dari serangan Barat.

Pencarian persatuan Islam inilah yang coba diganggu oleh Amerika Serikat, serta entitas Zionis yang tidak sah, sejak tahun 1979.

Persatuan Islam, dengan Iran sebagai pusat politiknya, akan berarti kegagalan agenda politik Zionis dan Amerika Serikat, yang telah dilemahkan sebagai wacana politik sejak kemenangan Revolusi Islam Iran dan pembentukan Republik Islam Iran.

Baca Juga : Putin: Rusia dan China Memiliki Banyak Tujuan yang Sama

Jika revolusi 1979 adalah revolusi melawan tatanan Eurosentris yang berhasil menggeser hegemoni pro-AS di kawasan, upaya Jenderal Soleimani untuk mencapai kesepakatan diplomatik dengan Saudi dan Emirat dibingkai di bawah prinsip anti-Eurosentris yang sama.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa upaya politik Jenderal Soleimani sejalan dengan pemikiran revolusioner yang digariskan oleh Imam Khomeini: pembangunan identitas politik Muslim yang otonom, relevansi umat sebagai cakrawala politik, dan kebutuhan Islam untuk berpolitik dan menangai yang jauh dari politik, seperti yang kita lihat di Arab Saudi atau Azerbaijan, hanyalah elemen ritual yang tidak memiliki kapasitas untuk mengubah dunia.

Itulah ancaman yang diwakili Jenderal Soleimani terhadap proyek Barat – sebuah proyek yang juga mencakup Zionisme – dan yang pada akhirnya nyawanya menjadi korban di Baghdad.

Komandan anti-teror yang hebat mencontohkan keinginannya untuk mengubah wilayah tersebut dalam kancah politik. Proyek perubahannya termasuk menolak paradigma Barat, yang merupakan bencana dalam istilah ontologis.

Dengan kata lain, paradigma Barat yang membagi populasi menurut derajat kemanusiaan mereka yang berbeda. Dalam piramida ontologis ini, puncaknya ditempati oleh orang Barat dan oleh semua bentuk makhluk yang termasuk dalam rantai kesetaraan “Barat”, yakni kelompok sekuler, modern, dan liberal.

Baca Juga : Lieberman: Netanyahu Lebih Berbahaya Bagi Israel daripada Iran dan Hizbullah

Makhluk lainnya, dalam paradigma ini, keluar dari kategori manusia, sehingga pengusiran dan kekejaman merupakan jalan yang mendukung paradigma tersebut.

Sikap Jenderal Soleimani adalah sikap seorang mustadh’afin – dalam konteks Islam bukan dalam pandangan barat – yang memposisikan dirinya sebagai bagian darinya dan dengan demikian menyangkal piramida ontologis yang diciptakan oleh paradigma Barat tersebut.

Dominasi Barat mencegah mustadh’afin memperoleh bagian dalam status paramida tersebut, dan mencegahnya menjadi aktor politik yang independen dan otonom.

Ketika Jenderal Soleimani muncul sebagai mostadh’afin yang bangkit, hal itu telah mengorbankan nyawanya karena gerakan mostadh’afin adalah proyek kolektif di mana mustadh’afin melihat diri mereka mampu, sebagai aktor politik, mengubah dunia yang diciptakan dan dibentuk oleh Barat.

Proyek yang diwakili oleh syahid besar perlawanan adalah proyek untuk membangun dunia lain, sebuah dunia yang diartikulasikan dalam bahasa Islam, tetapi terbuka untuk berbagai solidaritas yang dapat kita sebut sebagai lintas ummat, seperti Venezuela.

Paradigma Barat mencoba membuat mustadh’afin tidak mungkin relevan dalam arti politik. Hal ini dicapai melalui serangkaian mekanisme penyingkiran mereka dari dunia politik.

Oleh karena itu, upaya Jenderal Soleimani dipandang sebagai ancaman terhadap upaya menjaga mustadh’afin di zona “non-makhluk“ dalam artian barat.

Jenderal Soleimani meletakkan dasar untuk mengartikulasi ulang baru revolusi Islam, sebuah revolusi epistemik yang tujuan utamanya adalah menghentikan penindasan Barat terhadap umat manusia.

Baca Juga : Unjuk Rasa Berlanjut di Prancis, Kebrutalan Polisi Semakin Menjadi

Meneruskan jalan politik yang dibuka oleh Jenderal Soleimani berarti melanjutkan jalan dekolonisasi, jalan otonomi politik, dan jalan membuka dunia bagi berbagai bentuk makhluk di dalamnya.

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa Jenderal Soleimani meletakkan dasar untuk perjanjian diplomatik saat ini dengan Saudi dalam sebuah gerakan yang disifati dengan keberanian politiknya dan keinginannya yang gigih untuk mengubah kawasan dan kehidupan masyarakat.

Mengakui pekerjaannya yang tak kenal lelah, yang mengorbankan nyawanya, adalah cara lain untuk tidak melupakan perannya sebagai mustadh’afin yang bangkit.

 

Xavier Villar adalah Ph.D. dalam Studi Islam dan peneliti yang membagi waktunya antara Spanyol dan Iran.

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here