JCPOA atau Skandal Saudi, Joe Biden Pilih Mana Nih?

saudi

Purna Warta – Konfrontasi Saudi vs Amerika akhir-akhir ini telah menjadi buah bibir media. Tiada hari tanpa pernyataan Saudi atau Amerika tentang masing-masing permasalahan. Terdengar berbagai kesimpulan dan prediksi panas, sampai ada yang yakin Joe Biden akan menyingkirkan Putra Mahkota kontroversial.

Seandainya Donald Trump menang Pemilu 2020 kemarin, niscaya Mohammed bin Salman akan menjadi penguasan paling untung. Tapi sekarang sang Putra Mahkota harus berfikir untuk melenyapkan satu unit garda kerajaan. Satu unit yang bertanggung jawab atas keselamatan MBS dan Amerika yakin bahwa anggota unit terlibat dalam pembunuhan Jamal Khashoggi.

Yang jelas pemerintahan Joe Biden sangat berhati-hati menghadapi Istana Riyadh. Selain protes dan kritik keras Saudi, Washington juga sangat tidak mungkin mengambil keputusan untuk menghukum Bin Salman.

Aksi Amerika hanya terbatas pada laporan CIA yang disebar di dunia maya dan sanksi atas beberapa petinggi Riyadh. Bahkan Pentagon bersikukuh mendeklarasikan Riyadh sebagai sekutu dan melanjutkan kerjasama militer.

Aksi ini hampir sama dengan kebijakan Joe Biden menghadapi JCPOA. Sebagaimana tampak jelas gerak Gedung Putih untuk meraih poin-poin perlu menuju perundingan nuklir. Begitu pula saat menghadapi Saudi, AS bergerak pelan dengan tujuan pasti mempertahankan poin maksimal di depan sapi perah.

Dari Resolusi Hingga Talak Semu

Kira-kira 65 tahun lalu, resolusi Quincy ditandatangani Raja Abdulaziz, pendiri kerajaan keluarga Saud, dan Presiden AS kala itu, Franklin Roosevelt. Minyak versus keamanan adalah pertukaran paling berharga demi melindungi kerjasama Washington-Riyadh. Dengan demikian maka Arab Saudi mendapat dukungan keamanan-politik dalam jejak eksploitasi minyak.

Puncak kerjasama ini juga terlihat di masa perang Teluk Persia. Yaitu ketika Saddam Hussein menduduki Kuwait. Pasukan Irak sangat mungkin untuk maju terus hingga perbatasan Saudi dan daerah kaya minyak bagian timur, ini memaksa Amerika membentuk koalisi internasional demi memukul mundur. Irak langsung menarik mundur pasukan hanya dalam 40 hari, kalah melawan operasi Topan Padang Pasir. Operasi itu dibiayai oleh Arab Saudi dan hingga saat ini belum ada laporan jelas mengenai jumlah cuan yang ditransfer Saudi, namun kira-kira mencapai puluhan miliar dolar.

Semenjak hari itu sampai sekarang, situasi sangatlah berbeda. Dengan perubahan mata rantai energi fosil dunia dan aktifnya energi fosil inkonvensional, Saudi tidak lagi tertulis dalam agenda utama politik Amerika.

Bukti pertamanya terjadi di periode Barack Obama. Meskipun Barack Obama melapangkan jalan agresi Saudi ke Yaman untuk menutupi hal tersebut, tapi pemerintah Donald Trump menunjukkan bahwa Saudilah yang harus membayar Amerika Serikat.

Lembaran yang Tiba-tiba Terbalik

Siasat pemerintahan Donald Trump sedikit memutar balik posisi dan menguntungkan Saudi, tapi mereka harus membayar mahal. Berlawanan dengan agenda jangka panjangnya di bidang energi, Saudi menjadi kroni kuat bisnis Amerika.

Dalam pertarungan harga minyak antara Saudi-Rusia, semuanya jungkal hanya dengan sekali telpon Donald Trump. Harga minyak naik tajam memihak produksi kilang-kilang minyak inkonvensional. Di saat yang sama, Saudi terpaksa pergi ke pangkuan Amerika demi mempertahankan nilai positif ini.

Resolusi penjualan senjata dan investasi di AS seharga 450 miliar dolar adalah salah satu dari tebusan tak normal. Tapi Saudi sadar akan perubahan statusnya dalam mata rantai (politik AS). Usaha keras untuk mengubah Cina sebagai titik baru ekspor minyak dalam bentuk investasi konstruksi kilang minyak, penambahan nilai investasi di pasar minyak India, begitu juga pembangunan kota impian NEOM dan menciptakan kotak (investasi) 100 miliar dolar dari hasil penjualan saham Aramco di pasar bursa dunia adalah beberapa bagian dari siasat Riyadh untuk menghadapi perubahan status ini.

Sangat disayangkan sekali, semua tidak bekerja dengan baik. Penjualan saham Aramco gagal dan sekarang masuk gudang. Realisasi pembangunan kota metropolitan NEOM hanya berjalan sedikit. Impian untuk memutar pendapatan dari minyak ke yang lain menjauh dari alam nyata. Bin Salman yang menguasai Saudi kini harus memutar otak untuk menutupi kerugian dari kekalahan Pemilu Donald Trump.

Kasus-kasus anti HAM Bin Salman kini menjadi senjata Joe Biden untuk menekan Istana. Bukti kuatnya adalah pembahasan HAM dalam hubungan telpon Presiden Biden dan Raja Salman. Putra Mahkota Mohammed bin Salman hanya bisa membebaskan tahanan politik ternama agar jerat tekanan mengendor. Namun belum terlihat lorong keluar.

Menundukkan Riyadh, Tujuan Utama Joe Biden

Mungkin persoalan utamanya adalah apakah benar ada konfrontasi antara AS-Saudi? Di atas kertas jawabannya positif. Tapi apakah Presiden AS benar-benar ingin mengadili MBS dan menyingkirkannya? Kemungkinan besar, tidak.

Perbedaan dua pertanyataan di atas adalah AS tidak pernah ingin melepas Saudi dari kontrolnya. Gedung Putih butuh pada Saudi yang stabil untuk mendominasi Timur Tengah, bukan negara yang sedang menjalani revolusi atau perubahan radikal.

Jadi sorot pertama pemerintahan Joe Biden adalah mendikte Saudi di Kawasan. Hanya segelintir orang yang ragu bahwa AS mengidamkan akhir perang Yaman sebagai proyek terbesarnya di barat Asia. Satu perang yang semula dioperasikan demi menundukkan al-Houthi, tapi berevolusi menjadi perang hidup-mati. Pangkalan militer Saudi, yang dikenal sebagai green house untuk Amerika, sekarang menjadi sasaran empuk rudal dan drone Ansarullah. Kontrol medan darat sudah lepas dari tangan Saudi.

Semakin banyak MBS mengangkangi titah sang tuan, akhir perang Yaman akan semakin dekat. AS telah memulai konfrontasinya dengan membuka kasus pembunuhan Jamal Khashoggi dan pembatasan penjualan senjata untuk melihat reaksi Saudi.

Sementara Saudi tidak memiliki kekuatan untuk menolak titah AS. Jelas bahwa Riyadh telah meneropong opsi-opsi. Sebagai contoh, Cina adalah salah satu negara yang sejak lama menjalin kesepakatan energi dengan Saudi. Riyadh mengirim minyak ke Beijing sebanyak 2 juta barel, sedangkan ekspor minyak ke Amerika tak lebih dari 100 ribu barel.

Rusia juga memburu potensi lain dari Saudi. Meskipun Saudi-Rusia sama-sama aktor energi dan mereka tidak bekerja banyak dalam bidang ini, akan tetapi Moskow sangat fokus membuka investasi di Saudi di tengah amukan kasus Jamal Khashoggi dan banyaknya agenda Riyadh yang gagal tahun 2018.

Saudi juga mengincar Pemilu 2022. Saat terbuka satu indikasi bahwa partai Republik akan memenangi pemilihan tengah periode Kongres, mereka akan langsung bermain dalam politik luar negeri Amerika. Satu kemenangan yang membuka pintu pulang Donald Trump.

Tapi jelaslah bahwa ini bukan kategori rencana jangka pendek untuk menghadapi tekanan Joe Biden.

Satu Standar Dua Fungsi Menghadapi Iran dan Saudi

Semua permasalahan ini bergantung pada Iran. Saudi mungkin akan kehilangan semua poin, tapi titik urgennya adalah Iran. Untuk mereka berdua, Iran adalah garis merah.

Dalam kampanye, Joe Biden melontarkan dua janji politik: Bergerak ke arah resolusi nuklir dengan Iran. Kedua adalah menghadapi Saudi, khususnya Bin Salman.

Akan tetapi yang terlihat dari JCPOA adalah pegangan kuat Joe Biden pada struktur yang dikembangkan lawan Pemilunya. Dan ketika masalah sampai ke Saudi, Joe Biden tidak seserius janji kampanyenya. Terlihat jelas satu standar atau penyangga yang memiliki dua fungsi dalam siasat politik luar negeri Biden, satu meneruskan tekanan maksimal atas Iran dan kedua berfungsi untuk melonggarkan jerat skandal Saudi.

Saudi menganggap bahwa dirinya harus ikut serta dalam semua kesepakatan dengan Iran. Jangan sampai peristiwa 2013 terulang kembali. Rudal balistik Iran tidak boleh terus berada di luar dari resolusi. Dengan melihat perihal ini, bisa dikatakan bahwa Amerika tidak akan puas dengan perkawinan dua fungsi penyangga untuk menghadapi Iran dan Saudi.

Apapun itu, menghentikan rudal dan program Iran di Kawasan juga termasuk impian Amerika. Maka di satu hari nanti, janganlah terkejut melihat akhir skandal Saudi, tapi Iran tetap menjadi satu-satunya tersangka di regional.

Baca juga: Pejabat Senior Iran: AS Tanpa Memberi Kompensasi Kerugian Tak Bisa Kembali ke JCPOA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *