Jakarta, Purna Warta – Penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia akhirnya resmi dibatalkan. Dilansir dari Serambinews, banyak yang menilai pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah kejuaraan itu disebabkan karena banyak penolakan terhadap Timnas Israel yang akan berlaga. Namun dalam surat resmi FIFA tersebut, Badan Sepak Bola Dunia ini tidak mengatakan soal penolakan Timnas Israel sebagai alasannya. FIFA hanya menyebutkan secara implisit “karena keadaan saat ini” dalam suratnya itu. FIFA malah menyinggung tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Oktober 2022 lalu, dan menyebut Indonesia sedang melakukan tansformasi sepak bola.
Terlepas jelas atau tidaknya pembatalan itu dikarenakan tragedi Kanjuruhan, masalah tentang tragedi itu memang masih jadi sorotan FIFA sampai sekarang. Pertanggungjawaban pihak PSSI masih dinilai belum cukup serius, pengamat sepak bola Tommy Welly pun menyatakan penegakan hukum yang terjadi dalam tragedi Kanjuruhan mencederai kepercayaan insan sepak bola.
Ini penting bagi FIFA karena bagaimana jika tragedi mengerikan itu terulang lagi di ajang Piala Dunia U-20 Indonesia? Betapa banyak warga asing bisa menjadi korban. Ketidakseriusan Indonesia untuk berbenah pasca tragedi itu juga terlihat ketika tetap tidak mematuhi larangan FIFA atas dua konser yang digelar di SUGBK sebelum Piala Dunia U-20 digelar. Wajar jika profesionalisme sepak bola kita dipertanyakan.
Bagaimanapun penolakan publik terhadap Timnas U-20 Israel adalah topik utama. Bagi mereka yang tetap mendukung kedatangan Timnas Israel ke Indonesia, banyak hal yang harus diluruskan terkait ketidakpahaman mereka sendiri soal bagaimana pendudukan Israel atas Palestina itu terjadi, sehingga menimbulkan berbagai disinformasi dan penyesatan opini mengenai Palestina-Israel itu sendiri. Pakar HI dan pengamat politik Timur Tengah Dina Sulaeman juga sudah memberi pencerahan seputar Palestina-Israel ini dengan baik yang dimuat di situs ini.
Prinsip Konstitusi
Lagi-lagi yang pertama sekali harus kembali dipahami, masalah Palestina-Israel bukanlah seperti orang yang bertikai, sehingga perlu didamaikan, apalagi bersikap netral. Menolak penjajahan adalah pendirian resmi Indonesia, mampu atau tidaknya itu soal lain. Paling tidak kita memerlukan keadilan yang diawali dari keadilan dalam berpikir.
Apalah artinya tidak mengakui rezim ilegal pendudukan Israel tanpa adanya boikot terhadap ekesistensinya sebagai “negara” yang tentu mencakup urusan-urusan internasionalnya?
Coba tengok Iran yang terus didera berbagai tekanan internasional karena dukungannya kepada perlawanan Palestina dari dulu sebagai aliansi muqawamah, sudah banyak boikot yang dilakukannya pada Israel dalam banyak ajang dan cabang olahraga bila akan menemui tim atau atlet Israel.
Timnas Argentina saja pernah membatalkan kunjungannya ke Israel untuk laga persahabatan karena pembunuhan tentara Israel terhadap orang-orang Palestina, meskipun persiapan panjang Argentina yang sudah dilakukan termasuk penggalangan dana sebesar $2,5 juta untuk membiayai pertandingan itu, dan Argentina mendapat apresiasi dari Asosiasi Sepak Bola Palestina.
Cristiano Ronaldo juga pernah menolak tawaran menjadi bintang iklan Pepsi, setelah diketahui Pepsi termasuk produk yang mendonorkan dana besar dari ke Israel dari profitnya.
Jangan lupa, Bung Karno pernah menarik Timnas Indonesia dari bertandang ke Israel dalam penyisihan Piala Dunia 1958, Indonesia juga pernah tolak undang Israel pada Asian Games 1962, hingga disanksi tidak bisa ikut olimpiade musim panas Tokyo 1964. Namun, Indonesia mengadakan olimpiade tandingan GENAFO sebagai respons. Malaysia saja bisa bersikap seperti Bung Karno, tidak memberi izin visa bagi Israel untuk ikut turnamen squash di negaranya tahun 2021 silam. Haruslah jadi motivasi kita yang serumpun.
Indonesia memang belum memiliki kesiapan apabila mau melawan arus internasional yang dibentuk atas hubungan kultural, ekonomi dan politik dengan kekuatan-kekuatan adidaya kapitalis yang jadi beking Israel selama ini. Maka gampang saja untuk menunjuk hal-hal yang dianggap mengusik zona nyaman negara-negara periferi seperti Indonesia pada “tatanan internasional” pascakolonial hari ini yang jadi kerangka dalam melanggengkan politik unipolar Barat. Namun setidaknya, saya rasa jika hanya tidak memberi izin Timnas Israel U-20 ke Indonesia bukanlah sesuatu yang berat. Yang mengatakan ini bukan urusan politik hanyalah mereka yang tidak ingin terganggu kepentingannya, termasuk pihak-pihak yang diuntungkan secara profit, dan orang-orang pasifis yang justru diperdaya aturan main politik mereka yang tidak ingin dipersoalkan itu sendiri.
Sepak Bola dan politik
Mereka yang mendukung diterimanya Timnas Israel ke Indonesia selalu mengatakan olahraga bukan urusan politik. Anggapan ini memang muncul dari orang-orang awam politik, mereka tidak memahami situasi.
Sudah jadi upaya Israel mencari validasinya dalam berbagai perhelatan internasional, guna meningkatkan posisi diplomatisnya di dunia internasional, khususnya negara yang tidak punya hubungan resmi dengan Israel, termasuk ajang olahraga yang turut menormalisasi pengakuan Israel. Jangan naif kalau hal ini tidak memiliki muatan politis, terutama dari kepentingan Israel sendiri yang ingin diterima eksistensinya.
Jika memang benar-benar menganggap olahraga tidak berurusan dengan politik, nyatanya FIFA dan UEFA membekukan Rusia dan Belarus dari semua ajang internasional, yang tanpa malu disuarakan oleh dukungan negara-negara Barat pula. Lantas bagaimana pelanggaran-pelanggaran hukum Internasional terkait jejak kejahatan dan perlakuan Israel di Palestina yang sudah lama dipersoalkan? Boro-boro satu patah kata pun dari FIFA, yang ada malah impunitas bagi Israel. Sama halnya jejak kejahatan perang negara-negara NATO. Munafik! Sudahlah akui saja FIFA pun berpolitik.
Penjajahan bukan “konflik”
Saya yakin, faktor utama bagi mereka yang tidak mempermasalahkan kedatangan Timnas Israel ke Indonesia, akibat sudah begitu dibuai dengan narasi yang memperlihatkan bahwa masalah Palestina-Israel selama ini “konflik” belaka, atau paling tidak melihat “penjajahan” Israel hanya secara situasional, ketika ada berita tentang tentara Israel yang cari gara-gara kepada warga Palestina.
Dari sini saja pandangan mereka sudah salah kaprah, ahistoris, justru penjajahan bukan sekedar perang atau konflik, itu hanya faktor yang timbul di dalamnya: sistem. Kita bicara tentang pendudukan atas sebuah bangsa yang dipertahankan legitimasi politiknya dengan tak hanya senjata tapi juga partisipasi-partisipasi mereka secara sosial yang selama ini menormalisasi pengakuannya di mata publik dunia, seperti diberikan keanggotaan PBB, termasuk Piala Dunia U-20 yang jelas akan menunjukkan Israel di situ memiliki identitas nasional juga.
Sangat bisa ditebak, mereka selama ini pasti berpikir simpel: kan cuma olahraga, bukan konflik, atau perang, maka tidak ada hubungannya dengan penjajahan. Logika receh yang mengira kolonialisme itu seperti pertikaian antar warga kampung atau tawuran antar anak sekolah. Padahal usaha yang dilakukan selama ini baik dari Palestina sendiri, dan kalangan aktifis, juga melakukan berbagai boikot sebagai wujud nyata delegitimasi yang katakan tidak! pada pengakuan Israel.
Perumpamaan simpelnya begini, ada sekelompok orang merampas rumahmu, mereka memperoleh rumah itu jelas melanggar hukum, maka sudah seharusnya tidak bisa diakui sebagai warga perumahan setempat. Tapi, ada beberapa tetanggamu yang tidak mempermasalahkannya, bahkan ada yang mendukungnya, dan keikutsertaan mereka dalam kegiatan-kegiatan warga juga tidak dipedulikan. Alhasil rumahmu akan terus dikuasai, kehadiran para perompak itu tetap “dinormalisasi” dengan terlibatnya mereka dalam berbagai urusan sosial warga, misalnya arisan RT. Apakah kamu mau bilang, ini cuma arisan kok, bukan konflik atau dalam keadaan perang? Kan tidak bisa begitu.
Mereka yang memungkiri penjajahan di Palestina itu buta sejarah dan realita, sejak pendirian Israel 1948 yang dilakukan dengan perebutan wilayah itu saja sudah dipermasalahkan secara hukum internasional dan penuh pertumpahan darah. Mungkin mereka pikir wilayah Palestina sampai bisa tersisa tinggal Gaza dan Tepi Barat hari ini karena diajak main Hompimpah sama Israel dan siapa yang kalah harus pergi. Berbagai kekerasan aparat Israel pun selalu terjadi sampai sekarang, seperti yang sering diliput di IG eye.on.palestine, perluasan pemukiman Yahudi terus dilakukan tanpa henti yang menggusur rumah-rumah warga Palestina, diskriminasi status sosial di wilayah pendudukan juga berlaku, blokade jalur Gaza yang menyengsarakan kehidupan ekonomi warganya masih berlangsung, banyaknya pelanggaran HAM Israel yang dicatat oleh HRW sendiri, dan serangan-serangan militer Israel yang menciptakan eskalasi besar, dll.
Kalau mau tahu gambaran sebenarnya Palestina jangan dari orang Palestina bayaran atau agen normalisasi pendudukan Israel seperti NAS Daily, tipikal londo ireng zaman kolonial Belanda. Cobalah follow aktifis-aktifis ternama Palestina langsung, ada Huwaida Arraf yang Kristen Palestina, ada Ali Abunimah, dan Ahed Tamimi yang sudah terjun jadi aktifis sejak belia, atau aktifis kemanusiaan Indonesia yang tinggal dan berkeluarga di sana, seperti bang Onim yang aktif memberitakan Palestina di IG Nusantara Palestina Center atau Muahammad Husein di IG gazamedianet.
Sebetulnya ini semua sudah memperlihatkan penjajahan Israel yang nyata, dengan adanya pengakuan orang-orang Israel sendiri yang memilih jadi pembela Palestina, seperti Gilad Atzmon, penulis Yahudi yang selama ini gigih mengkritik Israel dan membela Palestina dan menyatakan “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama [yaitu Israel],” Miko Peled yang menyebut tentara Israel (IDF) adalah organisasi teroris yang terbaik dan terlatih di dunia, direktur eksekutif B’Tselem Hagai El-Ad yang membuat pernyataan tentang serangan warga Israel di kota-kota Palestina sebagai hasil dari “penindasan, pendudukan dan apartheid Israel selama beberapa dekade.”
Politik bebas aktif
Sering kali mereka yang antipati kepada Palestina, beretorika dengan ungkapan “bebas-aktif” untuk menunjukkan seolah-olah netral, dan ini dijadikan pembenaran untuk menerima kedatangan Timnas U-20 Israel. Padahal, penjelasan pasal 3 dalam UU Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, bebas-aktif adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik yang didasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, demi terwujudnya ketertiban dunia.
Oleh karena itu, jawaban pada pendudukan Israel atas Palestina jelas soal keberpihakan Indonesia kepada mereka yang justru berjuang untuk kemerdekaan, melawan ketidakadilan, sehingga perdamaian barulah dapat diraih. Justru demikian pendirian bangsa kita dari dulu terhadap Palestina. Seperti ketika kita mengusir Belanda di Indonesia, akhirnya perdamaian bisa dilangsungkan bagi keduanya sebagai negara berdaulat, karena Belanda sudah sepakat untuk tidak menjajah lagi.
Logika tidak peduli
Jika Anda tidak peduli pada Palestina, bahkan terang-terangan berkawan dengan Israel, tidak penting! Ini bukan tentang Anda dan negara Anda, ini tentang Israel yang sudah lama menjadi persoalan internasional, terutama oleh mereka yang berhadapan langsung dengan pendudukannya di sana.
Jika Anda tidak peduli, apa pula hak Anda yang memang tidak peduli, untuk mempersoalkan mereka yang sangat berhak mempersoalkan masalah yang menunjang legitimasi kekuasaan yang merepresinya? Jika Anda benar-benar tidak peduli, bukankah logika yang seharusnya dilakukan tinggalkan saja segala sesuatunya di antara mereka? Seperti berurusan dengan Israel yang otomatis berkaitan dengan Palestina itu sendiri.
Maka jangan munafik, Anda punya hak untuk tidak peduli dengan adanya realisasi hubungan yang dilakukan dengan Israel, hanya karena bukan Anda yang dijajah, tidak membuat Anda lebih berhak dari mereka yang dikuasai untuk menolak apa yang menjadi persoalan eksistensinya. Mereka juga punya hak untuk tidak peduli dengan Anda yang tidak peduli dengan berlakunya eksistensi Israel yang jadi masalah bagi mereka yang berhak untuk dipersoalkan itu sendiri. Jadi, Anda pun yang merasa terganggu karena tidak peduli bukan menjadi urusan mereka juga yang berhak bersuara mengenai eksistensi Israel itu sendiri.
Kita juga tidak boleh melupakan jasa bangsa Palestina yang kala itu masih dijajah tetap tidak cuek untuk menunjukkan solidaritasnya kepada bangsa Indonesia yang sedang berjuang untuk kemerdekaannya. Pada tahun 1945, para pejuang kemerdekaan Palestina melakukan upaya-upaya untuk mengusir Inggris dan menghalangi didirikannya sebuah negara ilegal yang didukung Inggris dan Zionis di atas tanah mereka.
Para pejuang Palestina saat itu bersatu bersama pejuang negara-negara terjajah lainnya, antara lain berkumpul di Mesir. Saat Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia butuh pengakuan (recognition) sehingga diplomat Indonesia yang datang ke Mesir sedang mengupayakan dukungan untuk pengakuan itu. Dan para tokoh dan aktivis Palestina adalah di antara yang gigih menyuarakan dukungan agar kemerdekaan Indonesia diakui. Mereka turut mendesak pemerintah Mesir sampai akhirnya Mesir secara resmi mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat.
Bukan tentang Piala Dunia U-20
Mereka yang mendukung kedatangan Timnas Israel kerap memakai pemikiran yang dikatakan sebagai ‘whataboutism,’ karena sebelum-sebelumnya Israel juga ikut dalam ajang dan cabang olahraga lain di Indonesia. Justru seharusnya permasalahan ini berbalik kepada mereka yang kemana saja selama ini? Orang-orang yang menolak kedatangan Timnas U-20 Israel ini pada umumnya beranjak dari masalah munculnya usaha-usaha untuk normalisasi hubungan Indonesia dengan Israel sejak lama.
Sudah banyak diketahui umum bahwa meski Indonesia dan Israel tidak punya hubungan diplomatik formal, tetapi bekerja sama dalam perdagangan, pariwisata, militer sejak era Orde Baru. Hal itu selalu dibicarakan di kalangan masyarakat. Pada tahun 2018 ketika pejabat Wantimpres Yahya Cholil Staquf datang diundang ke Israel juga mendapat kecaman baik dari kalangan politikus maupun masyarakat kita, bahkan dikecam oleh Palestina juga.
Mereka pikir penolakan pada Timnas Israel itu memepermasalahkan ajang sepak bola semata. Bukan sama sekali. Justru bukankah di sini mereka sedang mengakui betapa bobrok pemerintahan ini yang tidak amanah konstitusi? Mereka justru sedang menyetujui kalau negara ini sedang tidak baik-baik saja yang memang jadi alasan harus ditentang keras oleh para penentang kedatangan Timnas Israel tersebut. Siapa yang “radikal” sesungguhnya yang selama ini jualan “radikal-radikul” tapi tidak mempermasalahkan radikalisme skala penjajah seperti Israel? Poin kita di sini adalah untuk memahami penjajahan Israel, dan pendirian konstitusi.
Dubes Palestina dan pelatih orang Israel
Ada pernyataan dari salah satu anggota komite eksekutif PSSI Arya Sinulingga, bahwa pelatih Timnas Palestina itu orang Israel, dengan maksud supaya tidak perlu diributkan kedatangan Timnas U-20 Israel nanti. Sebagai seorang yang juga politikus, Arya seharusnya pelajari dulu tentang Palestina-Israel, misal bertanya-tanya pada ibu Dina Sulaeman yang dari dulu mengkaji politik Timur Tengah, supaya tahu duduk persoalan dari Timnas Palestina yang dilatih orang Israel. Pernyataan Arya menunjukkan dirinya tidak paham bagaimana situasi pendudukan Israel yang terjadi.
Palestina itu terpecah sistem divisi sepak bolanya antara Tepi Barat dan Gaza. Masing-masing punya liga sendiri. Timnas yang dilatih oleh orang Israel adalah yang dari Tepi Barat. Tepi Barat ini kawasan Palestina yang dipegang oleh badan yang dianggap resmi Israel, yaitu Otoritas Palestina (PA). Situasinya sama seperti Timnas orang-orang Indonesia era Hindia Belanda yang dilatih orang Belanda. Apakah berarti kolonialisme dibenarkan? Nah di sini hal penting yang harus Anda ketahui, dan kaitannya dengan dubes Palestina di Indonesia.
Tahukah Anda yang diakui sebagai kedubes Palestina itu tidaklah mewakili seluruh rakyat Palestina? Mereka hanya perwakilan dari badan yang disebut Otoritas Palestina (PA), badan yang kini cuma diberi wewenang di sebagian kecil wilayah Tepi Barat Palestina. Statusnya pun bukan seperti pemerintahan negara merdeka, tapi semi-otonom yang terikat Kesepakatan Oslo 1993 bersama Israel. Kesepakatan apa sih itu?
Yang jelas, ketika kesepakatan itu diumumkan sudah menuai protes keras dari masyarakat Palestina sendiri, karena dianggap deklarasi sepihak untuk kepentingan hubungan Israel-PLO, dan diteken di AS pula. Pecah kongsi internal pergerakan Palestina juga gara-gara kesepakatan Oslo, yang ingin mengusahakan Solusi Dua Negara, yang sama saja memaksa orang-orang Palestina untuk menerima aneksasi wilayah yang massif sejak 1948, memberi pengakuan pada Israel sebagai negara berdaulat di tanah air sendiri yang sejak awal didirikan saja sudah jelas-jelas merupakan agresi yang nyata, penuh pertumpahan darah dan sudah bermasalah secara hukum internasional.
Posisi PA tak lebih dijadikan perpanjangan tangan Israel, serupa situasinya dengan status quo kerajaan-kerajaan pribumi di bawah naungan Hindia Belanda dulu, sebagai subordinasi kolonial yang diberikan otoritas secara lokal.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, kesepakatan Oslo pun masih juga dilanggar Israel sendiri, antara lain melanjutkan perluasan pemukiman Yahudi dan berbagai kekerasan. Hal ini seharusnya sudah menggugurkan kesepakatan, tidak sah lagi, sesuai Konvensi Geneva, dan memberi hak Palestina untuk menuntut penuh dikembalikan tanah airnya. Tapi sudah rahasia umum, impunitas Israel ini kuat karena dibeking para adidaya.
Makanya, Hamas yang berkuasa di Gaza, dan berbagai pihak lain yang kontra PLO, menolak Solusi Dua Negara selama ini. Wajarlah dubes Palestina ikut menyetujui datangnya Timnas Israel, itu sudah politiknya untuk melegitimasi pengakuan Israel. Yang jelas, di Tepi Barat sangat sering ada aksi-aksi demo besar-besaran warga Palestina mengecam PA. Indonesia dalam hal ini memang tak bisa berbuat banyak selain membangun hubungan dengan PLO untuk urusan Palestina, karena PLO organisasi yang dianggap “resmi” di mata Zionis Israel dan negara-negara Barat, keadaan kita serba terbatas dan lebih memilih bermain aman.
Negara-negara Arab yang damai dengan Israel
Mereka juga selalu membawa-bawa normalisasi hubungan antara sejumlah negara Arab dengan Israel, ibu Dina Sulaeman juga sudah sangat baik menanggapi ini dalam twitter beliau.
Negara-negara monarki Arab yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel memang tidak demokratis, keputusan-keputusan mereka selaku monarki absolut tidak berada di tangan mayoritas rakyatnya. Ada banyak warga di negara-negara Arab yang memprotes kebijakan pemeritahnya terkait normalisasi hubungan tersebut. Contoh yang sudah lebih dari cukup menunjukkan ini, waktu Piala Dunia Qatar 2022, banyak supporter dari negara-negara Arab yang memperlihatkan antipatinya kepada Israel dengan perlakuan tak ramah kepada kalangan jurnalis Israel yang sedang meliput di Qatar. Ini sampai dimuat dalam media Israel dengan headline: Piala dunia kebencian (bagi yahudi).
Semua kontributor “Israel” -tanpa terkecuali- yang sedang bertugas di Qatar untuk meliput piala dunia sepakat bahwa “tidak ada satupun di sini yang menerima kami, semua yang berada di sini membeci Israel, bukan hanya bangsa Arab, tapi semuanya tanpa terkecuali.” Apa yang menjadi fakta terbaik dalam gelaran Piala dunia Qatar sejauh ini, bahwa Palestina tetap hadir di hati bangsa Arab, umat Islam dunia, dan masyarakat intenasional, adapun normalisasi dan pengakuan sejumlah negara-negara terhadap “Israel” tidak akan mampu mengubah fakta ini.
Negara-negara Arab yang berdamai dengan Israel memang tidak pernah jadi aliansi perlawanan Palestina, politik mereka bertentangan, seperti Mesir, Maroko, Oman, UAE, Yaman, bahkan Saudi walau tidak resmi punya hubungan diplomatik formal dengan Israel, menjalin hubungan dengan Israel secara terselubung. Buktinya Palestina mengecam tindakan normalisasi hubungan dengan Israel itu. Hanya segelintir negara seperti Iran, kelompok-kelompok pergerakan terutama Hizbullah Lebanon, dan aktifisme global akar rumput seperti BDS, yang merupakan aliansi Palestina sesungguhnya.
Otak mereka yang sebenarnya “kearab-araban” asalkan sesuai dengan pandangan mereka akan langsung dilegitimasi untuk pembenaran yang terkait umat Islam, yang penting ada “Arab”-nya, tapi giliran orang Indonesia yang patuh syariat agamanya sedikit aja langsung dituduh kearab-araban. Latah Islamofobia memang begitu. Sudah jelas tidak pernah juga selama ini orang-orang Arab sendiri menganggap pemerintah negaranya pasti benar. Jangankan negara Arab, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, PLO pun yang sesama Palestina juga ditentang oleh orang-orang Palestina, bahkan PLO pernah perang konflik panjang dengan Hamas.
Ini bukan akhir sepak bola Indonesia
Ada yang mengatakan batalnya Indonesia jadi host Piala Dunia U-20 telah mengubur impian sepak bola kita. Ini adalah logika sesat dan pembenaran atas masih belum jelasnya blue print proyek sepak bola masa depan Indonesia.
Coba tengok Iran yang tidak pernah jadi tuan rumah Piala Dunia, toh terhitung jadi salah satu raksasa Asia. Malaysia yang tahun 1997 pernah jadi host Piala Dunia U-20 juga tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan sampai sekarang sepak bolanya, yang sudah terlihat bagus perkembangannya di ASEAN itu hanya sepak bola Vietnam dan Singapura, selain Thailand, padahal ketiganya tidak pernah jadi host Piala Dunia. Maroko juga tidak pernah jadi host Piala Dunia tapi buktinya jago Timnasnya.
Gagal jadi host Piala Dunia bukan kiamat bagi sepak bola Indonesia, ini pun masih yang lapisan U-20 saja, kecuali bagi orang yang menganggap normalisasi hubungan dengan Israel adalah langkah maju bagi sepak bola kita, dan tidak ada yang normal dengan itu.
Lagipula jika kita mau pakai rasionalisasi paling sederhana: siapa bilang menjadi ahli sepak bola mesti ikut ajang Piala Dunia? Tanpa adanya Piala Dunia pun pemain sepak bola tetap bisa bermain kapan saja dan di mana saja, masih bisa olahraga agar badan sehat, mengadakan pertandingan sendiri juga bisa, tidak harus ikut Piala Dunia untuk bermain dengan tim-tim papan atas, banyak alternatif lain seperti laga persahabatan. Aktifitas perekonomian negara tetap akan normal, dan kita masih bisa bekerja dan cari makan. Tidak bikin kehidupan kita terpuruk.
Ibu Dina Sulaeman mengungkapkan bahwa FIFA selama ini juga tidak pernah membela timnas Palestina, padahal mereka jadi korban rasisme: pemain bola Palestina dikenai pembatasan perjalanan internasional, mereka tidak bisa bangun stadion dan fasilitas di area yang diduduki Israel, mereka sulit mengimpor masuk peralatan olahraga ke Palestina, dan bahkan, pemain bola Palestina pun ada yang dibunuh Israel.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di https://islamadani.wordpress.com/ dengan judul: Penolakan Timnas U-20 Israel: Menjawab seputar isu yang beredar