Purna Warta – Dalam serangan terbarunya, Israel memborbardir Rumah Sakit di Gaza yang menewaskan 500 orang seketika. Itu adalah kejahatan perang yang terang-terangan dimana aturan internasional menyebutkan, rumah sakit adalah fasiltas yang harus dilindungi dalam perang. Dengan catatan kejahatan perang yang terus bertamaha, banyak yang bertanya-tanya di mana posisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengapa PBB tidak melakukan apa pun untuk menghentikan genosida mengerikan yang dilakukan Israel di Gaza?
Baca Juga : Rusia dan Tiongkok Kecam Serangan Rumah Sakit di Gaza
Mari kita analisa alasan mengapa komunitas internasional memilih untuk diam dan tidak berdaya dalam mencegah ribuan ton bom menghujani warga sipil di Jalur Gaza atau dalam memastikan bahwa masyarakat di sana memiliki akses terhadap kebutuhan dasar. Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa malah sudah menggerakkan perangkat perang tercanggih mereka ke Mediterania untuk memastikan Israel tetap aman melakukan kejahatannya.
Yang harus kita harus pahami terlebih dahulu, apa yang disebut “rules-based international order“, tatanan internasional berbasis aturan yang diciptakan untuk melindungi kepentingan negara-negara hegemoni Barat dengan mendirikan organisasi internasional tertentu dan merumuskan aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh dunia. Dan PBB merupakan bagian integral dari apa yang disebut “tatanan internasional berbasis aturan” tersebut.
Ketika kita memeriksa badan dunia ini dan alasan di balik pendiriannya, banyak hal yang dapat dipahami. Tujuan utama PBB dinyatakan sebagai “menjaga perdamaian dan keamanan internasional dan melindungi hak asasi manusia, serta memberikan bantuan kemanusiaan.” Secara umum, kenyataannya nampaknya sangat berbeda.
PBB didirikan oleh Sekutu segera setelah Perang Dunia II. Akar organisasi ini tidak didasarkan pada penerapan kesetaraan di antara negara-negara anggota atau bahkan memiliki perwakilan berdasarkan jumlah penduduk, namun pendiriannya diciptakan untuk melindungi kepentingan Sekutu, terutama Amerika Serikat.
Baca Juga : Utusan Tiongkok untuk PBB Kecam Veto AS terhadap Resolusi DK PBB
Negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB adalah lima negara yang menjadi Sekutu selama Perang Dunia II – Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Uni Soviet (sekarang Rusia), dan Tiongkok.
Memiliki hak veto berarti ketika saat ini terdapat 193 negara anggota Majelis Umum PBB, maka jika semuanya memilih resolusi dan hanya satu anggota Dewan Keamanan yang menolak resolusi tersebut, maka tidak ada yang akan dilaksanakan. Resolusi tersebut tidak akan mencapai tujuannya.
Menjadi jelas bahwa PBB bukanlah entitas egaliter yang berupaya melindungi hak asasi manusia dan memberikan yang terbaik bagi semua negara anggota. Ini adalah badan elitis yang dibentuk untuk melindungi kepentingan negara-negara bekas Sekutu.
Namun, yang terjadi segera setelah pembentukannya adalah kepentingan kelima negara anggota tersebut berubah dengan adanya Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Amerika Serikat pada dasarnya kembali berkuasa sebagai raja dunia tanpa banyak perlawanan dari anggota Dewan Keamanan lainnya, memaksakan agendanya sendiri, hingga Rusia mulai mengklaim kembali kedaulatannya pada awal tahun 2000an.
Dan saat ini, terdapat perpecahan di blok tersebut seiring dengan transisi dunia dari dunia unilateral ke dunia multilateral dan adanya penjajaran kekuasaan. Oleh karena itu, kita sekarang melihat lebih banyak perpecahan di antara anggota Dewan Keamanan, yang misalnya menghalangi PBB untuk menerapkan sanksi terhadap Rusia terkait perang di Ukraina, karena Rusia dapat memveto resolusi apa pun yang tidak disetujuinya.
Baca Juga : Iran: Dunia Muslim Tidak Pernah Mentolerir Kejahatan Israel terhadap Anak-anak dan Perempuan Gaza
Ada bias bawaan di PBB dan ada contoh nyata bagaimana hal ini terjadi secara global, mulai dari negara mana yang terkena sanksi dan mana yang tidak, hingga pemimpin mana yang diadili di Pengadilan Kriminal Internasional dan mana yang tidak. Marzieh Hashemi, jurnalis Press TV dalam laporannya, secara praktis PBB hanya bertindak cepat dalam dua kasus.
Pertama, apa yang terjadi di Irak. Pada bulan Oktober 1990, rezim pimpinan Saddam Hussein menginvasi Kuwait. Empat hari setelah invasi, PBB menerapkan blokade terhadap Irak, bukan karena PBB terlalu mengkhawatirkan warga Kuwait, namun karena khawatir dengan minyak Kuwait. Sanksi terhadap Irak sangat berat dengan blokade total terhadap transaksi keuangan serta embargo yang diberlakukan oleh Resolusi 661 Dewan Keamanan PBB.
Bahkan kemudian, sanksi akan meningkat, ketika PBB mulai menyerukan penghapusan senjata pemusnah massal (WMD) di Irak, yang tidak pernah ditemukan. Sanksi awal ini datang bersamaan dengan pelaksanaan aksi militer pimpinan AS melalui darat dan udara. Tujuan awal dari sanksi tersebut adalah agar Irak meninggalkan Kuwait.
Invasi Irak ke Kuwait berakhir pada bulan Februari 1991. Namun, blokade ekonomi terhadap Irak berlangsung hingga setelah invasi AS dan penggulingan Saddam Hussein pada tahun 2003. Selama 13 tahun, negara Arab tersebut berada di bawah kendali ekonomi yang ketat oleh komunitas internasional. Menurut perkiraan UNICEF, lebih dari 1,5 juta warga Irak, sebagian besar anak-anak, meninggal akibat sanksi yang melumpuhkan ini.
Tampaknya ketika PBB ingin menerapkan kekerasan terhadap suatu negara, hal itu dapat dilakukan dengan cepat dan bahkan menimbulkan penderitaan yang luar biasa, seperti yang terjadi di Irak.
Baca Juga : Dukung Total Israel, AS Kirim Perangkat Tempur Canggih, Apa Saja?
PBB sepertinya tidak punya masalah dalam mengabaikan konsekuensinya, bahkan jika hal itu memakan korban jiwa 1,5 juta orang. Mungkin itu hanya dianggap sebagai kerusakan tambahan.
Kedua, mari kita beralih ke Libya. Pada tanggal 15 Februari 2011, komunitas internasional mengatakan perang saudara dimulai di negara itu. Pada tanggal 17 Maret 2011, Dewan Keamanan PBB telah menerapkan resolusi tahun 1973. Resolusi tersebut membuka jalan bagi intervensi militer di Libya, bersamaan dengan penerapan zona larangan terbang. Dengan izin PBB, NATO melancarkan agresi mematikan dan menyeluruh ke Libya.
Pada bulan Oktober, mantan penguasa Libya, Moammar Qaddafi terbunuh dan pada tanggal 23 Oktober 2011, perang dinyatakan berakhir. Sebelum perang tersebut, Libya memiliki perekonomian terkuat di Afrika. Setelah perang, negara ini tidak pernah sama lagi, terjerumus ke dalam kemiskinan, perang saudara, dan bahkan perbudakan.
Ketika menyangkut PBB dan krisis-krisis di seluruh dunia, pendekatannya cukup selektif, mulai dari mengambil tindakan cepat dan tegas hingga sekadar mengeluarkan pernyataan kecaman atau sama sekali mengabaikan suatu situasi.
Dalam kasus rezim Israel, sering kali mayoritas anggota Majelis Umum PBB ingin mengutuk rezim tersebut atas pendudukan dan kekejamannya atau menerapkan tindakan tegas terhadap rezim tersebut, namun tindakan tersebut dengan cepat dihalangi.
Baca Juga : Malaysia Kecam Sikap Menekan Barat yang Menyalahkan Hamas
Amerika Serikat akan menggunakan hak vetonya untuk memblokir segala kecaman terhadap rezim di Tel Aviv. Sejak tahun 1972, setidaknya sudah 53 kali AS memblokir resolusi anti-Israel di PBB. Dengan demikian, menjadi lebih jelas bahwa PBB bukanlah pilihan yang dapat digunakan untuk menjamin keadilan dan melindungi hak asasi manusia secara menyeluruh.
Tujuannya bukan untuk mewakili kaum tertindas namun untuk melindungi tujuan hegemoni global. Di tengah transisi dari dunia unipolar ke dunia multipolar, terdapat harapan bahwa struktur internasional yang lebih layak dapat diciptakan untuk benar-benar mencerminkan kebutuhan negara-negara tersebut dengan cara yang lebih representatif.
Sementara itu, bagi masyarakat tertindas di seluruh dunia, terutama mereka yang mengalami kejahatan perang dan genosida seperti warga Palestina, tidak perlu berharap resolusi internasional akan dikeluarkan untuk menyelamatkan mereka dan membantu mereka mendapatkan kembali kebebasan dan kedaulatan mereka.
Baca Juga : Presiden Iran: Penolakan DK PBB atas Resolusi Gaza adalah Penindasan Ganda atas Palestina
Apa yang sejarah ajarkan kepada kita adalah bahwa perlawanan adalah satu-satunya cara. Negosiasi serta perubahan yang sejati hanya akan mungkin terjadi bila semua pihak diberdayakan dan diperlakukan sama secara adil. Selama PBB masih melanggengkan oligarki dalam strukturnya, selama itu pula PPB tidak bisa diharap mewujudkan perdamaian yang adil bagi bangsa-bangsa.
Ismail Amin, pemerhati isu-isu Timur Tengah