Purna Warta – Think tank Zionis dalam catatannya mengulas faktor kedekatan negara-negara Teluk Persia dengan rezim Zionis. Bahkan think tank tersebut mengabarkan perjanjian Israel-Asia Barat yang akan ditandatangani karena AS yang enggan intervensi.
The Begin-Sadat Center for Strategic Studies dalam analisanya melalui tulisan profesor senior Shmuel Sandler melontarkan beberapa klaim tentang Iran, mengungkap sisi positif Tel Aviv dan kedekatan beberapa negara Arab Teluk Persia.
Sebagai pendahuluan, Shmuel Sandler membahas kerjasama Emirat-Bahrain dengan Israel dan tak lupa mengulas pertemuan PM Benjamin Netanyahu dengan Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman.
“Tak usah diragukan lagi bahwa kesepakatan Abraham, resolusi yang baru ditandatangani Emirat-Bahrain dan Israel, merupakan tanda prestasi bersejarah Israel dalam kedudukannya di Kawasan. Pertemuan rahasia yang bocor antara Netanyahu-MBS telah menguatkan adanya barisan baru di Timteng,” tulisnya menganalisa.
Anggota senior think tank Israel The Begin-Sadat tersebut mengklaim alasan di balik kedekatan Arab Teluk Persia dengan Zionis, “Faktor utama (kedekatan) Arab Teluk Persia adalah kesadaran akan bahaya Tehran, meskipun itu semua atas izin Saudi sebelumnya. Ada pepatah Timteng yang mengatakan, musuhnya musuhku adalah teman, terkhusus ketika membahas masalah koalisi internasional.”
“Kesepakatan baru terjalin dan akan melahirkan satu strategi urgen untuk menghadapi musuh bersama. Nilai kesepakatan ini semakin bertambah di saat Donald Trump, sang pelopor resolusi ini akan segera mengakhiri masa periodenya. Dan dalam beberapa bulan ke depan, Joe Biden akan memimpin Amerika setelah pelantikan.”
Shmuel Sandler juga menyisir kepentingan politik-ekonomi AS dalam menekan negara-negara Arab untuk mendeklarasikan normalisasi dengan Israel.
“Latar belakang prestasi ini adalah tekanan AS ke pihak-pihak yang telah merajut hubungan dengan penuh cinta. Beberapa dekade ini, Israel-Arab memiliki hubungan resmi. Kepentingan politik Donald Trump dan kebutuhan ekonomi pabrik senjata, kesemuanya butuh pada militer negara-negara Teluk Persia secara bersamaan.”
“Di tengah periode inilah, terjadi perubahan, termasuk agresi langsung pihak dukungan Iran ke kilang minyak Riyadh dan akhirnya Yaman (dukungan Iran) perang dengan Saudi, tapi AS merespon lemah. Lemahnya respon AS dalam membalas provokasi ini menimbulkan satu wacana baru di antara negara-negara Selatan Teluk Persia sehingga merekapun mencari dan memprediksi normalisasi dengan Israel yang mungkin akan berefek positif meskipun normalisasi dipandang buruk di mata dunia Arab dan Islam.
Di belakang semua analisa dan prediksi tersebut murni masalah kepentingan pertukaran teknologi canggih dan kerjasama ekonomi. Ini bernilai bagi Arab Teluk Persia, bahkan mereka mengumumkan sekutu yang sama memiliki taring nuklir. Sekutu itu satu sorotan tentang bahaya serta kendali Iran.”
Kemudian Sandler membahas keluarnya AS dari Barat Asia dan langkah mundur Washington dari situasi regional.
“Kawasan ini memiliki satu urgensi tersendiri, melihat langkah mundur AS dari wilayah regional secara perlahan namun tertib. Kemandirian energi AS, kelelahan yang terus bertambah dan ketidakberdayaan Washington di Kawasan memiliki sejarah satu dekade. Fakta ini, Republik dan Demokrat menjaga jarak dengan urusan Timteng menunjukkan bahwa ini adalah doktrin baru yang mungkin mewarnai pemerintahan Demokrat Joe Biden. Satu pemerintahan yang akan menjalin kasih sayang dengan negara-negara bagian Selatan Teluk Persia.”
“Blok-blok konservatif Timteng sedang menyorot dengan penuh kekhawatiran akan keluarnya AS. (Karena) hal tersebut akan menguatkan cengkraman Rusia dan Cina di Kawasan dan Iran-Turki bersiap menancapkan hegemoninya. Bentuk konflik ideologi-mazhabi di wilayah regional adalah satu bentuk perang yang mempertarungkan Syiah dan Sunni, Ikhwan al-Muslimin (Turkinya Erdogan) melawan Sunni moderat. Berdasarkan satu pokok utama dalam hubungan internasional (yang mengatakan tidak ada sekutu abadi), di sana ada satu keuntungan pasti dan Israel melihatnya dalam persekutuan dengan negara-negara Arab melawan sekutu lamanya (tahun 1950-1960) yaitu Iran-Turki kala itu.”
Selanjutnya, Sandler mengklaim penantian negara-negara Arab agar Israel menggantikan peran AS di Timteng dan menjelaskan, “Melihat geopolitik, para sekutu Israel mengharap Tel Aviv memperkuat tembok pencegah perubahan Iran menjadi imperialis atom. Jika AS terus melangkah mundur dari Kawasan, maka berat Israel akan semakin bertambah dalam koalisi regional ini. Akan tetapi rezim Zionis harus siap mengambil keputusan militer meskipun tidak mengancam eksistensi diri sendiri. Tidak menggubris langkah seperti ini akan mengakibatkan koalisi pecah, yang memungkinkan Arab memihak Iran atau mungkin ke Turki dan Ikhwan al-Muslimin.”
Di akhir analisa, pengamat Zionis tersebut meminta Israel untuk mempersiapkan penduduk Palestina Pendudukan menerima konsekuensi kesepakatan normalisasi dengan Arab Teluk Persia.
“Barisan baru ini mempersilahkan Israel, tapi ada konsekuensi resolusi. Rezim Zionis harus membangun persiapan untuk penduduk Israel menerima konsekuensi yang belum pernah ada sebelumnya, seperti contoh; memerankan peranan intervensi militeris AS yang mulai mundur dari Kawasan. Di waktu yang sama, Israel juga harus berusaha mengulur waktu penarikan mundur AS hingga menciptakan satu kemitraan kuat AS-Israel yang merupakan kunci kesuksesan barisan, makhluk baru Kawasan.”
Baca juga: Pasca Normalisasi, Emirat Jadi Pusat Gembong Narkoba Zionis