Tel Aviv, Purna Warta – Para analis mengamati keanggotaan Israel di Uni Afrika. Mereka menyindir warna anti-Zionis di Benua Hitam yang sedang memudar dan menganggapnya sebagai ancaman yang akan menghapus nilai-nilai Palestina dari benak bangsa Afrika.
Al-Mayadeen memulai catatannya pada hari Senin (26/7), dengan kalimat berikut bahwa untuk pertama kalinya, sedari tahun 2002 hingga saat ini, Aleli Admasu, Duta Israel untuk Ethiopia mengajukan surat diplomanya sebagai anggota pengamat Uni Afrika.
Yair Lapid, Menlu rezim Zionis, dalam hal ini mengatakan, “Hari ini adalah hari pesta hubungan Israel dengan Afrika. Hal tersebut akan membantu kami mengembangkan aktifitas di Benua Afrika bersama negara-negara anggota UA.”
Dengan istilah ini, secara resmi rezim Zionis mendeklarasikan diri sebagai anggota UA dan menyatakan bahwa langkah ini adalah hasil upaya diplomatis para politikus rezim sekitar satu dekade sebelumnya.
Baca Juga : 14 Negara Afrika Sepakat Cabut Status Israel di Uni Afrika
Menurut sejarah, al-Mayadeen menjelaskan, bahwa negara-negara Afrika, yang berada di bagian Selatan sahara, telah memutus hubungan mereka dengan Israel di sela perang antara tahun 1967 dan 1973. Akan tetapi, relasi ini kembali terjalin pada tahun 2002. Semenjak tahun itu hingga kini, Israel masih belum menegaskan hubungan ini dan hanya menjalankan strategi penyambutan Afrika.
Tel Aviv memulai perang dari halaman belakang dan dari beberapa negara Afrika, khususnya wilayah Tanduk Afrika yang mencakup Eritrea dan Etiopia. Perang ini dioperasikan melalui politik senyap dan berbentuk bantuan serta dukungan pembangunan bendungan Sad al-Nahda.
“Hal yang mengherankan dari keputusan ini adalah negara-negara Afrika termasuk negara-negara utama yang anti dan perang dengan rasisme, apartheisme dan segregasi rasial. Bahkan belum lama ini, mereka masih berdiri mendukung Palestina. Mereka menuntut Israel untuk menghentikan kolonialisme dan pendudukan di tanah Palestina. Akan tetapi, bagaimana rezim Zionis sampai pada perubahan ini?,” tulis al-Mayadeen menelusuri.
Surat kabar Lebanon tersebut menjelaskan, “Israel menginjakkan kakinya di Afrika di saat negara-negara Arab mengarungi masa erosi. Palestina sedang krisis dan perang antar negara Afrika juga semakin membara. Meskipun Tel Aviv menghadapi banyak rintangan dalam jalan menuju titik ini, namun Israel terus berupaya dalam tahun-tahun sebelumnya dan berhasil memasuki wilayah Afrika secara tahap demi tahap hingga sampai pada titik sekarang ini. Satu titik dimana diakui sendiri oleh Kemenlu rezim Zionis yang menyatakan bahwa Israel memiliki relasi dengan 46 negara Afrika dan bekerjasama luas dalam beberapa bidang seperti perdagangan dan bantuan. Setelah mendapatkan kedudukan sebagai pengawas di Uni Afrika dan keanggotaannya, maka Israel bisa bekerjasama dalam bidang-bidang lainnya.”
Baca Juga : Presiden Tunisia: Saya Bukan Diktator
Menurut analisa al-Mayadeen, keanggotaan Israel di UA adalah satu episode berbeda. Satu episode yang menunjukkan ketamakan Israel bukan hanya terbatas pada pendudukan Palestina. Rezim pembantai anak-anak tersebut telah melangkah demi kepentingan privasi secara langsung dan tanpa bantuan Amerika di Kawasan. Itupun dengan eksploitasi kondisi memburuk dan lemah dunia Arab dengan tujuan pengembangan strategi rasis, arogan dan pencurian SDA negara-negara Afrika.
Al-Mayadeen meneruskan analisanya dengan memaparkan tiga pertanyaan: Bagaimana penyusupan Israel ini berdampak pada bangsa Palestina? Apa bentuk efek gebrakan Israel ini atas Palestina? Dan Bagaimana taktik ini memengaruhi dunia Arab?
“Keanggotaan Israel di UA bukan satu gebrakan biasa, namun itu adalah ledakan untuk Palestina, hak-hak bangsa dan nilai-nilai keadilan mereka. Bisa dikatakan bahwa al-Quds akan melewati satu belokan berbahaya pasca keanggotaan ini,” tulis al-Mayadeen melanjutkan.
“Masalah ini memperlihatkan kacamata Uni Afrika terkait Palestina, yang merupakan buah dari beberapa hal, salah satunya kesepakatan normalisasi dengan Tel Aviv yang ditandatangani di periode Donald Trump,” hemat al-Mayadeen.
Baca Juga : Hari-Hari Buruk Tunisia, Krisis Pasca Melawan Diktator 2011
Surat kabar Lebanon tersebut meneruskan, “Efek lain dari keputusan ini atas urusan Palestina adalah terlembagakannya politik dangkal di atas kesepakatan hukum dan etika. Resolusi demi mendukung hak-hak manusia dan bangsa di bawah kolonialisme adalah satu bagian dari tanggungjawab organisasi-organisasi internasional. Keputusan (UA) ini akan mendorong kontinuitas kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran Israel di Palestina. Di medan internasional ini, posisi Israel akan lebih kental dan hal ini tentu berdampak negatif atas urusan al-Quds (karena politiknya didukung di Afrika).”
Menurut hemat surat kabar Lebanon tersebut, yang menjadi faktor pendorong Israel berambisi terus mengembangkan kolonialismenya adalah (dari satu sisi) kelemahan langkah resmi Palestina atau dengan kata lain, lemahnya aktifitas organisasi Pembebasan Palestina, instansi dan jaringan-jaringan organisasi tersebut serta pudarnya peran serta efektifitas mereka di kancah diplomasi. Dan dari sisi lain, faktor pendorong kolonialisme Israel adalah perselisihan dalam tubuh Palestina, pudarnya nilai-nilai Palestina dan eksploitasi Israel akan perselisihan tersebut di kancah internasional.
“Dengan yakin Israel mengetahui bahwa mereka sedang mengarungi krisis eksistensi dan terus berkecamuk dalam upaya mengatasinya. Keanggotaan rezim Zionis di UA merupakan satu gebrakan dalam ambisi pengembangan relasi dengan negara-negara Afrika dan Islami pasca taktik normalisasi dengan dunia Arab Teluk Persia. Gerak ini membuat Israel merasakan diri sebagai negara normal seperti negara-negara lainnya di Kawasan,” tambah al-Mayadeen.
Kemudian al-Mayadeen menyorot kunjungan terakhir Benjamin Netanyahu, mantan PM Israel, ke negara Afrika, Chad dan melaporkan, “Tujuan dari kunjungan ini tak lain dari upaya menambah poin politik dan diplomatik serta usaha keluar dari krisis eksistensi dan isolasi. Krisis tersebut merupakan efek dari satu fakta yang didasarkan pada kemajuan poros Muqawamah dan kesuksesan mereka dalam beberapa tahun terakhir yang merupakan ancaman nyata baik di medan utara Lebanon maupun di selatan Palestina dukungan Iran.”
Baca Juga : Akhir Bulan Madu Saudi-Emirat
Al-Mayadeen melaporkan bahwa pada tahun 1990, Benua Afrika memiliki 1400 suara kontra dengan politik rasisme rezim Zionis. Dan sekarang, setelah menjadi anggota Uni Afrika, Israel berharap angin perubahan yang memihaknya dan menjadikan perpecahan Afrika sebagai satu hal positif untuk Tel Aviv.
Pudarnya peran dunia Arab di Afrika membuat Tel Aviv berani melangkah. Dalam 20 tahun terakhir, negara-negara Arab bukan hanya diam, tidak mengambil langkah-langkah diplomatik di Afrika, bahkan mereka juga tidak berbuat apa-apa untuk mencegah hegemoni Israel di Benua Hitam. Lebih buruk lagi, karena dengki dengan Iran, dunia Arab merapat ke normalisasi di bawah program Amerika.
Urusan Palestina bukan hanya terancam karena keanggotaan Israel di UA, akan tetapi bahaya ini akan menjalar ke dunia Arab regional. Keamanan nasional negara-negara Arab akan terancam, khususnya negara-negara seperti Sudan, Mesir dan lainnya.
Bahaya lebih besar, menurut analisa al-Mayadeen, adalah pembangunan basis agen intel rezim Zionis atau Mossad, yang salah satunya dibangun di wilayah Eritrea. Basis intel tersebut akan mengintai Bab al-Mandeb. Di basis tersebut, Israel akan mengamati apapun yang terjadi di Laut Merah, termasuk pengiriman senjata Muqawamah.
Baca Juga : Dering Telpon Mesir-Hizbullah, Bahas Gaza dan Krisis Lebanon
Keanggotaan Israel di UA akan menghadapkan Kawasan pada fakta baru. Satu fakta antara perubahan yang akan segera terlihat dalam kebijakan Afrika terkait Palestina dan perubahan kebijakan negara-negara Arab dan kontrolnya. Perubahan ini harus disorot luas oleh negara-negara Benua Hitam dan sebagian Arab yang merajut normalisasi dengan Tel Aviv.
Masalah ini butuh pada aksi lapangan demi mencegat hegemoni Israel di Benua Afrika dengan mengaktifkan hubungan serta merangkai relasi hancur Arab dengan negara-negara Afrika.
Di akhir, surat kabar al-Mayadeen mengusulkan, di al-Quds harus ada telaah akan langkah-langkah organisasi Pembebasan Palestina, secara politik-diplomatik. Opsi Intifada dan perlawanan versus Israel harus dihidupkan. Upaya-upaya diplomatik Palestina untuk mempertahankan nilai-nilai al-Quds di benak-benak bangsa kedaulatan Islami dan Afrika harus dikuatkan.