Purna Warta – Meskipun Israel mengaku bersikap netral dalam konflik Ukraina, namun apa yang terjadi di lapangan, terutama di bidang penjualan dan pengiriman senjata ke berbagai pihak, menunjukkan bahwa Israel hanya sedang berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya dari konflik Ukraina.
Dengan dimulainya invasi Rusia ke Ukraina dan pecahnya perang di negara itu, rezim Zionis berusaha untuk mengambil sikap hati-hati dan konservatif dan tetap menjaga kedekatan dengan Amerika Serikat maupun Rusia. Israel berupaya menjadi penengah dengan tetap menekankan padadukunganya pada keutuhan wilayah Ukraina dan membea Amerika Serikat, namun selalu menekankan hubugan persahabatan dengan Rusia di sisi lain. Namun saat kita memperhatikan gerak-gerik Israel, terutama soal penjualan dan pengiriman senjata ke berbagai negara, semua menunjukkan kebalikan dari “sikap hati-hati” itu.
Baca Juga : Keruk Cuan dari Perang, Turki Desak Kerjasama dengan Israel Kirim Gas ke Eropa
Mengaku penengah, tapi bagikan senjata
Lebih dari sebelumnya, koflik di Ukraina telah membuat rezim Zionis terjebak dalam dilema politik. Sebab, sikap apapun yang diambil akan mempunyaki konsekuensi besar terhadap kepentingan rezim ini. Dengan kata lain, mendukung Rusia maupun mendukung musuhnya, Ukraina dan AS sama-sama memiliki keuntungan dan resiko yang besar.
Misalnya, ketika Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid mengeluarkan pernyataan untuk mendukung Amerika Serikat dan menegaskan “tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam situasi ini”, disambut dengan reaksi dari Rusia dengan menyatakan tak mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Selain itu, Israel sangat membutuhkan kordinasi Rusia berkaitan dengan keamanan di perbatasan Suriah untuk diketahui, segala serangan yang dilakukan Israel terhadap Suriah dilakukan dengan koordinasi dengan Rusia. Maka dari itu, sejak awal, para komandan tentara Israel menyerukan agar pemerintah Naftali Bennett bersikap netral dalam krisis Ukraina. Dengan begitu kepentingan Israel di sektor keamanan di perbatasan Suriah dapat terjamin.
Baca Juga : Melengos dari Emas Hitam Rusia, AS Dekati Venezuela
Israel jalankan siasat satu atap dan dua udara
Dengan mengejar kebijakan satu atap, dua udara, Israel, di satu sisi, menekankan dukungannya untuk Amerika Serikat dan dukungannya untuk Ukraina, dan menyatakan keprihatinan atas situasi ribuan orang Yahudi di negara itu. Namun di sisi lain, Israel tak memberikan suara setuju terhadap resolusi yang diusulkan Amerika di Dewan Keamanan PBB untuk menyudutkan Rusia. Selain itu, permintaan Zelensky untuk mengirim senjata ke Ukraina juga mendapat tanggapan negatif dari Naftali Bennett. Padahal negara-negara seperti Jerman dan Belanda telah mengirim senjata anti-tank ke Ukraina, yang sebenarnya dibuat oleh perusahaan Israel Rafael. Selain itu, Israel telah menyetujui permintaan Finlandia untuk membeli sistem pertahanan udara rezim tersebut.
Persetujuan untuk menjual sistem pertahanan udara ke Finlandia oleh Israel datang pada saat negara tetangga Rusia dan anggota non-blok Uni Eropa itu meningkatkan anggaran militernya bersama dengan bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam tanggapan atas tindakan Rusia di Ukraina. Dan pihak berwenang negara ini telah setuju untuk mengirim senjata ke Ukraina; “Bantuan senjata ini akan mencakup 2.500 senjata ofensif, 150.000 butir amunisi, 1.500 peluncur rudal dan 70.000 granat lapangan,” katanya.
Tidak boleh dilupakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, senjata-sejata berjenis Tavor berlisensi Israel telah digunakan oleh neo-Nazi, kelompok sayap kanan radikal dan Batalyon Azov di Ukraina. Kelompok-kelompok ini dianggap sebagai ancaman bagi keamanan Rusia. Maka dari itu tindakan Israel ini sangat mengganggu kepentingan Rusia dan itu bertentangan dengan klaim Israel yang berkomitmen untuk terus melangsungkan hubungan baik dengan Rusia.
Baca Juga : Kesempatan yang Diberikan Perang Ukraina kepada Bin Salman: Memainkan AS
Secara umum, pengiriman dan penggunaan senjata oleh rezim Zionis selama perang Ukraina menjadi perhatian Moskow, dan negara itu jelas ingin Israel menghentikannya. Mengingat situasi ini, dapat dikatakan bahwa Tel Aviv, seperti Amerika Serikat, seperti biasa, melihat krisis saat ini sebagai peluang untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, dan meskipun mengklaim diri sebagai penengah.