Yerusalem, Purna Warta – Institut Penelitian Keamanan Nasional universitas Tel Aviv memperingatkan Badan Politik dan Keamanan rezim Zionis untuk terus mempertahankan Mahmoud Abbas dan mencegah pelengserannya.
Surat kabar Arab48 dalam hal ini mencatatkan sebuah analisa bahwa langkah dan siasat salah Badan Keamanan Otoritas Keamanan Otoritas Palestina dan peningkatan bentrok warga Palestina dengan militer Israel hingga kemartiran beberapa sipil al-Quds telah membuat khawatir Tel Aviv.
Baca Juga : Menlu Yaman Undang Amir Abdollahian Kunjungi Sana’a
Meskipun masih jauh konflik ini untuk bisa menjatuhkan Mahmoud Abbas, namun Israel harus memiliki satu taktik dan membangun skenario sterilisasi kemungkinan tersebut.
3 bulan perang terakhir Gaza telah berlalu dan kini terlihat bahwa kedudukan Ketua Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas terus terguncang. Kemarahan penduduk Palestina terus meningkat. Ketidakpercayaan terhadap Otoritas Palestina dan badan keamanan mereka semakin naik di tangah-tengah masyarakat.
Para petinggi Otoritas juga terancam dengan kasus korupsi sehingga para peselancar Medsos al-Quds mengejek mereka dengan kalimat-kalimat keras. Ditambah lagi kondisi krisis dan setiap kelompok sosial berkerja dengan sangat keras hingga memanaskan persaingan, bahkan dilaporkan bahwa pihak keamanan enggan turun melerai.
Mengutip dari Arab48, kemarahan penduduk tidaklah terkait dengan politik ataupun kegagalan satu kebijakan, akan tetapi para pendemo menuntut Otoritas Palestina untuk mundur, tak lagi meneruskan aktifitasnya yang dengan kata lain, Otoritas harus segera berakhir atau membongkar struktur dasar.
Baca Juga : Mahar Bin Salman Untuk Normalisasi dengan Israel
Berdasarkan pengamatan Institut Penelitian Keamanan Nasional universitas Tel Aviv, keputusan Otoritas Palestina, dalam mencegah Pemilu Parlemen pada bulan April kemarin, telah menunjukkan satu fakta kepada masyarakat Palestina bahwa Mahmoud Abbas tidak memiliki poin dan peranan penting untuk sosial al-Quds sejak terpilihnya pada tahun 2005.
Selain itu, bersikeras Mahmoud Abbas bersama orang-orang dekatnya untuk terus bekerjasama keamanan dengan Zionis telah menghilangkan kepercayaan masyarakat dan menerjunkan elektabilitas politik mereka di mata warga.
Kepada petinggi Israel dan Keamanan rezim Zionis, Institut Penelitian Keamanan Nasional tersebut mengingatkan bahwa Mahmoud Abbas membawahi sebuah jaringan yang mengadopsi satu larangan gerakan bersenjata melawan Israel dan yakin akan kerjasama keamanan dengan Tel Aviv. Bahkan Mahmoud Abbas bersama yang lain menolak segala jenis demonstrasi versus Zionis sebab keluar kontrol dan hanya menambah korban sipil.
Akan tetapi di mata sosial Palestina, kebijakan dan keputusan ini hanyalah satu bukti akan kelemahan Mahmoud Abbas dan sikap menyerah mereka. Di mata penduduk al-Quds, Mahmoud Abbas adalah pihak yang membebaskan Israel berbuat apapun di Tepi Barat dan mencegah warga untuk menekan Tel Aviv.
Baca Juga : Yordania Banting Halauan ke Suriah, Apa Rahasianya?
Inilah, menurut laporan Arab48, yang menjadi faktor demonstrasi versus Mahmoud Abbas dan Otoritas Palestina pasca perang 12 hari kemarin. Aksi tak rasional unsur keamanan Otoritas Palestina telah menambah faktor lain penyulut api kemarahan sipil untuk turun ke jalanan Ramallah dan Tepi Barat. Mereka meneriakkan yel-yel anti Mahmoud Abbas.
Di sisi lain, kerasnya bentrokan antara penduduk Palestina dengan unsur keamanan Israel dan warga ekstrim Zionis telah mempengaruhi kemarahan warga kepada Otoritas Palestina. Setiap hari terjadi pertarungan dan terus meningkat dibanding dengan jumlah tahun lalu. Militer rezim Zionis melaporkan bahwa sedari awal tahun 2021 hingga sekarang, lebih dari 40 warga mati dalam bentrok. Inilah sebab naiknya emosi penduduk Tepi Barat.
Hamaslah Wakil Palestina, Bukan Otoritas Palestina
Institut Penelitian Keamanan Nasional tersebut menambahkan sebuah catatan bahwa penduduk kota Bita di Jenin terus menolak pembangunan pemukiman Zionis. Terkadang bentrokan terjadi di waktu malam.
Dalam laporan Institut tersebut dijelaskan bahwa peta pertarungan tersebut digariskan oleh Hamas. Sedangkan kontrol unsur keamanan Otoritas Palestina sangatlah lemah dalam situasi ini. Krisis mencuat seiring dengan keluarnya izin pembangunan pemukiman baru di beberapa titik.
Baca Juga : Mengenal 10 Pilar Utama Taliban Pengontrol Afganistan
Institut mengklaim bahwa Hamas sekarang lebih diidamkan warga Palestina untuk menjadi wakil al-Quds dari pada Otoritas Palestina.
Meskipun Institut Penelitian Keamanan universitas Tel Aviv masih menulis sebuah catatan bahwa prediksi dan indikasi situasi ini masih jauh untuk menjadi faktor keruntuhan Otoritas Palestina. Namun harus dikatakan bahwa Otoritas Palestina wajib menjaga kursinya dan kekuatan keamanan mereka masih mampu menjadi tembok pencegah.
Di periode kepemimpinan Mahmoud Abbas, menurut analisa Institut Penelitian Keamanan Nasional, tingkat menengah sosial semakin meluas dan banyak sehingga masyarakat lebih merasakan dan bisa merencanakan masa depan dengan memanfaatkan stabilitas ekonomi dan pemasukan. Mereka bisa meminjam di bank dan berani menerima perjanjian keuangan. Semua ini memihak Mahmoud Abbas dan sangatlah sulit bagi siapapun yang ingin merusak stabilitas Tepi Barat.
Tak lama ini, chanel 12 televisi Tel Aviv menyiarkan demonstrasi versus Mahmoud Abbas dan kekhawatiran Israel akan pelengserannya. Kemudian chanel tersebut melaporkan bahwa indikasi terbesar suksesor Mahmoud Abbas adalah Jibril Rajoub, Sekjen Komiter Eksektif Organisasi Pembebasan Palestina.
Surat kabar al-Akhbar, tertanggal 13 Agustus, dalam satu catatan laporannya menelisik kunjungan William Burns, Direktur CIA Amerika, ke Palestina dan pertemuannya dengan Mahmoud Abbas dan menuliskan bahwa dalam pertemuan ini, William membahas transisi kekuasaan dalam Otoritas Palestina.
Baca Juga : Inggris Incar Boikot Taliban di Konferensi G7
Direktur CIA kepada Mahmoud Abbas mengkonfirmasikan bahwa pemerintah Amerika sekarang ingin menguatkan kursi Majed Faraj, Ketua Intelijen Otoritas Palestina, baik di dalam tubuh gerakan Fath maupun di Otoritas sendiri.
Kunjungan dilakukan pasca Majed Faraj mengadukan situasi tak menunjang ekonomi Ramalallah kepada Gedung Putih.