Purna Warta – Salah satu surat kabar analis dalam pengamatannya mengupas opsi-opsi AS dan Gerakan Sadr menanggapi sukses Syiah Irak membentuk pemerintahan dan jalan kemenangan politik di kancah regional Bagdad.
Surat kabar online Rai al-Youm dalam analisanya menuliskan bahwa Irak akhirnya memilih dan memandatkan seorang Presiden dan Perdana Menteri untuk menyusun Kabinet. Namun apakah Gerakan Sadr akan menerima kekalahan? Apa opsi-opsi pihak pemenang dalam upayanya menciptakan stabilitas dan mengentas negara dari krisis? Apa reaksi AS dari kondisi tenang ini? Apakah demonstrasi akan meluas di ibukota dan kota-kota lainnya?
“Penyelenggaraan konferensi darurat Parlemen pada tanggal 13 Oktober lalu dan pemilihan Abdul Latif Rashid menjadi Presiden Irak dan langkahnya dalam memilih Mohammed Shia’ al-Sudani untuk menyusun Kabinet merupakan satu langkah sukses pasca kekosongan pemerintahan lebih dari satu tahun dan jalan buntu politik, yang mana keberhasilan ini telah menciptakan ketenangan di Irak dan menghilangkan kekhawatiran beberapa pihak,” tulis Rai al-Youm.
“Gerakan al-Tansiqi, yang merupakan koalisi dari Daulah al-Qanun yang beranggotakan Nouri al-Maliki dan Fraksi al-Fath yang diwakili gerakan Muqawamah al-Hashd al-Shaabi dukungan Iran, telah memenangi pertarungan dengan Gerakan Sadr dengan mengeluarkan semua Wakil-nya di Parlemen dan mengunci setiap langkah politik mereka. Yang jelas harus dikatakan bahwa sekarang ini mereka telah menang. Dikatakan demikian karena kancah politik Irak dipenuhi oleh hal-hal mengejutkan,” hemat si analis Rai al-Youm.
Ada beberapa persoalan, menurut pengamatan Rai al-Youm, yang harus dipaparkan dalam kancah politik ‘sakit’ Irak.
Yang pertama: Apakah Gerakan Sadr, yang mundur dari Parlemen, menerima kekalahan ini dan menyerahkan medan ke pesaingnya yaitu al-Tansiqi dan Nouri al-Maliki, sosok pemimpin kondangnya?
Yang kedua: Apakah AS juga akan menerima kemenangan lawannya, yaitu sekutu Iran yang menolak setiap kerja sama dengan Washington dan menuntut akhir intervensi Pentagon lalu penutupan semua pangkalan militernya di Baghdad?
Yang ketiga: Apakah al-Sudani akan sukses membangun Kabinet sesuai dengan waktu yang telah ditentukan secara hukum negara serta berdasarkan pembagian kabilah-kabilah?
Yang keempat adalah apakah pemerintahan ini akan sukses meraih suara di konferensi Parlemen selanjutnya?
Rai al-Youm kemudian mengupas strategi-strategi Gerakan Sadr menanggapi kemenangan dalam upaya membentuk pemerintahan ini dan menjelaskan bahwa Gerakan Sadr melalui lisan Muhammad Salih al-Iraqi, orang dekat Sayid Muqtada Sadr, menegaskan penolakannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan ini. Gerakan Sadr menuntut para anggotanya untuk lepas tangan dalam upaya pembentukan pemerintahan baru.
Menurut keyakinan analis Rai al-Youm, pernyataan ini berartikan bahwa Gerakan Sadr tidak menerima secara resmi pemerintahan baru ini serta menganggap al-Sudani sebagai kaki tangan Nouri al-Maliki, musuh bebuyutan Muqtada Sadr beserta gerakannya yang demonstrasi di jalanan.
“Gerakan Sadr menganggap diri mereka sebagai pihak yang paling layak untuk menyusun pemerintahan, karena di Pemilu terakhir yang diselenggarakan setahun lalu, mereka berhasil meraih kursi paling banyak di atas lawan-lawannya. Akan tetapi pihak lawan juga meyakini hak untuk membangun pemerintahan dengan dasar kursi yang diraihnya di Parlemen,” jelas Rai al-Youm.
“Banyak analis dan pakar urusan Irak yang mengatakan bahwa untuk Gerakan Sadr, yang keluar dari medan politik, sangatlah sulit menerima kekalahan dan hidup bersama dengan opini-opini baru yang tercipta di antara semua pemain dan partai politik yang telah meninggalkan Gerakan Sadr yang menurut Sadr memukul dari belakang. Partai-partai ini yang telah memudahkan konferensi Parlemen darurat untuk lawan-lawan Sadr. Oleh karena itu, pertemuan darurat Parlemen memenuhi syarat dan pemungutan suara untuk pemilihan Presiden serta haknya untuk menunjuk seorang untuk membentuk Kabinet menjadi sah,” hemat Rai al-Youm.
Dengan situasi ini, menurut pengamatan Rai al-Youm, al-Sudani akan menemui kesulitan dalam upayanya menyusun Kabinet sesuai waktu, meskipun bukanlah hal mustahil.
“Karena sejarah sejak invasi AS ke Irak tahun 2003 menunjukkan bahwa koalisi-koalisi di Irak berubah secara cepat karena intervensi asing. Khususnya, mayoritas mereka bekerja di kamar tertutup, saling tawar-menawar, pembagian saham, perhitungan politik dan kadang ekonomi serta uang,” tulis Rai al-Youm.
Menurut keyakinan surat kabar kondang dunia Arab ini, Gerakan Sadr hanya memiliki dua pilihan pasca kemenangan lawan dan kontrol mereka di dua instansi eksekutif dan legislatif:
Pertama: Diam menjadi penonton, mengamati serta menunggu kehancuran opini baru dan penyelenggaraan putaran anyar Pemilu.
Kedua: Mendorong para pengikutnya agar kembali memenuhi jalanan yang dimungkinkan akan berubah ke perang saudara. Gerakan Sadr memiliki sejarah kental dengan urusan ini. Karena pada tanggal 13 Oktober kemarin merupakan titik sejarah Irak.
“Kancah dalam negeri Irak sekarang ini sedang menjalani ketenangan. Jelas bahwa ketenangan ini terbatas. Kekhawatiran dan kekeroposan dalam hal ini sangatlah jelas terlihat, khususnya para pemain asing yang sedang berupaya memancing di air keruh. Karena AS terus fokus pada Iran dan secara terang-terangan mendukung demonstrasi buatan kemarin, jadi sangatlah sulit bagi Washington menerima sekutu Tehran menguasai pemerintahan Baghdad setelah mereka membiayai upaya pendudukannya seharga 6 triliun dolar,” analisa Rai al-Youm.
“Ada banyak hal kejutan di Irak saat ini, namun memangnya kapan Irak pernah stabil, khususnya pasca pendudukan dan serangan AS? Target abadi AS adalah memecah Irak dan menghancurkan identitas sosial, persatuan nasional, kedaulatan dan mencegah hidupnya pengaruh serta kedudukannya di masa depan dan di Kawasan,” yakin analis Rai al-Youm.
“Kami di surat kabar Rai al-Youm berharap Irak melewati krisisnya dan melangkah di jalan keamanan, stabilitas dan persatuan dengan cepat, meskipun kami sangat menyadari bahwa impian adalah satu hal dan fakta adalah hal lain,” tutupnya.