Purna Warta – Tanpa menggubris tuntutan Ansharullah, Dewan Kerja Sama Teluk Persia menyatakan bahwa perundingan untuk menyelesaikan krisis Yaman akan diselenggarakan di Riyadh, Saudi. Para pakar menegaskan bahwa Dewan tidak sedang mencari solusi krisis.
Sebagian petinggi Dewan Kerja Sama Teluk Persia pada hari Selasa, 8/3, pekan lalu mengabarkan keputusan Dewan untuk mengundang semua pihak Yaman dalam acara penyelenggaraan konferensi di ibukota Arab Saudi.
Baca Juga : Jerusalem Post: Kunjungan Presiden Suriah ke Emirat, Fase Baru Damaskus
Surat kabar Barat, Reuters menuliskan laporan dengan mengutip dari sumber yang tak disebutkan namanya bahwa surat undangan resmi untuk merundingkan krisis Yaman akan segera dikirim dalam beberapa hari ke depan. Dan petinggi Dewan masih membicarakan gerakan perlawanan rakyat, yang tertampung dalam gerakan Ansharullah, untuk menjadi salah satu pihak undangan.
Surat kabar resmi Yaman, Saba, Rabu, 16/3, kemarin mengutip pernyataan petinggi Kementerian Luar Negeri Yaman dan melaporkan bahwa Yaman menyambut semua bentuk perundingan dengan negara-negara anggota koalisi yang diselenggarakan di negara-negara netral yang tidak partisipasi dalam agresi versus Yaman.
Sementara Nayef al-Hajraf, Sekjen Dewan Kerja Sama Teluk Persia, hari Kamis, 17/3, tanpa melihat situasi Sanaa menegaskan, “Perundingan ini akan diselenggarkan di Riyadh, Arab Saudi.” Adapun petinggi Sanaa tidak setuju dengan menyatakan bahwa negara agresor tidak bisa menjamu perundingan.
Mohammed Ali al-Houthi, Anggota Dewan Tinggi Politik Yaman bersama dengan beberapa petinggi Sanaa lainnya tidak menerima inovasi atau ide serta rancangan Dewan Kerja Sama Teluk Persia untuk perundingan antara pihak-pihak agresor perang di Riyadh.
Baca Juga : Darurat, AS-Prancis Bersama Eksploitasi Gas Alam Yaman di Wilayah Selatan
Dikutip dari Masa Press, 18/3, melaporkan bahwa pada tahun 2015, tak lama setelah dimulainya agresi Saudi-Emirat dukungan Amerika dan Barat, di Riyadh diselenggarakan pertemuan bertajuk “Konferensi Riyadh”. Dalam konferensi tersebut Riyadh bermaksud untuk mendiktekan kepada semua para hadirin dalam pertemuan ini bahwa mereka adalah para wakil semua pihak-pihak di Yaman. Sedangkan faktanya kontras dengan klaim Saudi, karena yang hadir dalam konferensi tersebut adalah para politikus yang bermukim di Riyadh, mereka bukanlah wakil bangsa Yaman.
Masa Press melanjutkan pengamatannya, “Dokumen Riyadh juga merupakan hasil atau buah dari konferensi ini. Dalam berkas tersebut diklaim bahwa Yaman akan segera menghidupkan hubungan regional dan internasionalnya. Pemerintahan Federal dan Demokratik akan terbentuk dengan target menciptakan keamanan untuk Kawasan. Namun hari ini, setelah lewat 7 tahun perang versus Yaman dan pendudukan beberapa wilayah luas negara ini oleh pasukan bayaran Saudi dan Emirat, tidak ada satupun dari warga Yaman yang melihat bagaimana pihak-pihak ini membangun pemerintahan Federal di tanah-tanah pendudukan mereka.”
Dengan segala target yang dijelaskan dalam konferensi Riyadh ini, hal yang terlihat di daerah-daerah pendudukan Saudi-Emirat di Yaman adalah satu perbedaan yang sangat mencolok. Karena klaim-klaim negara-negara koalisi ini tidak ada yang terealisasi.
Baca Juga : Terungkap, Ini Alasan Iran Serang Markas Intel Israel di Irak
Seperti contoh, target pertama konferensi Riyadh adalah menjaga keamanan dan stabilitas Yaman. Namun pertanyaannya adalah apakah tujuan ini sudah terlaksana?
Masa Press terus menambahkan contoh berikutnya yang berkaitan dengan senjata. Tentang senjata dan pengembaliannya ke pemerintah, juga terlihat bahwa sipil bersenjata atau militan pimpinan Tareq Saleh memegang senjata di garis pinggiran wilayah barat dan selatan Yaman. Pertanyaannya adalah apakah pasukan bayaran ini merupakan pemerintahan? Apakah militan Dewan Transisi Selatan Yaman sekutu Emirat termasuk dalam struktur pemeritahan?
Dokumen Riyadh juga mengklaim bahwa Emirat dan Saudi akan mengentas Yaman dari krisis paling sulit. Namun hingga sekarang, daerah-daerah pendudukan dua negara agresor tersebut, di bagian selatan Yaman, menderita karena kenaikan harga yang terus melonjak, bahkan hasil produksi minyak maupun gas rumahan tidak sampai dinikmati warga.
Perundingan, yang ingin diselenggarakan di Riyadh, merupakan kasus ulangan dari Konferensi Riyadh yang diagungkan pada tahun 2015. Sebagaimana Konferensi Riyadh adalah konferensi formalitas, maka konferensi inovasi Dewan Kerja Sama Teluk Persia jilid dua ini hanya akan menjadi ajang pertemuan legalisasi intervensi militer asing di Yaman.
Baca Juga : Riyadh Tangkis Kabar Kunjungan Menlu Amerika ke Saudi dalam Waktu Dekat
Target konferensi, menurut analisa Masa Press, yaitu meresmikan dan melegalkan perubahan rancangan Riyadh yang telah disepakati bersama dengan Emirat tentang pemerintahan sah.
Target kedua, menurut analis Masa Press, adalah pengesahan kontinuitas intervensi militer koalisi di Yaman di bawah dukungan pihak-pihak Yaman partisipan dalam perundingan ini.
Melengkapi pengamatan Masa Press ini, surat kabar kondang al-Khabar al-Yemeni mengutip pernyataan dari salah satu sumber di antara petinggi dalam pemerintahan Abd Rabbuh Mansur Hadi, yang membongkar propaganda Teluk Persia.
“Berdasarkan strategi propaganda Teluk Persia ini, akan dibentuk dewan kepemimpinan yang disepakati di antara pihak-pihak bayaran Saudi-Emirat,” jelasnya kepada al-Khabar al-Yemeni.
Baca Juga : Detail Baru Media Zionis Tentang Pertemuan Segitiga Mesir-Israel-Emirat
Konferensi di Riyadh ini, menurut penjelasan sumber petinggi pemerintahan Abd Rabbuh Mansur Hadi kepada al-Khabar al-Yemeni, ditujukan untuk menentukan Wakil-Wakil Abd Rabbuh Mansur Hadi, Pemimpin pemerintahan terusir Yaman. Bahkan mereka akan membahas penangguhan kekuasaan Mansur Hadi. Konferensi ini adalah manuver pertemuan kelanjutan para utusan PBB di Yaman.
Dewan Kerja Sama Teluk Persia mengetahui secara seksama bahwa gerakan Muqawamah Ansharullah tidak akan bersedia berpartisipasi dalam konferensi ini. Akan tetapi, mereka tetap mengundang Houthi dengan tujuan klaim setelahnya, yaitu Ansharullah telah menolak perundingan politik.
Akan tetapi kenyataannya adalah Konferensi Riyadh jilid II ini merupakan berkas rentetan rancangan negara-negara Arab Teluk Persia tahun 2011, di mana mereka memilih Abd Rabbuh Mansur Hadi berdalilkan deklarasi akhir konferensi tahun itu.