Purna Warta – Analis Inggris dalam makalah geopolitiknya menyatakan manipulasi dan permusuhan dengan Amerika Serikat sebagai salah satu alasan negara-negara Barat Asia netral menanggapi sanksi atas Rusia.
Middle East Eye melansir jurnal Christopher Philips, seorang Dosen Hubungan Internasional universitas Queen Mary (Queen Mary University of London) yang mengupas faktor-faktor pendorong di balik kebijakan negara-negara Barat Asia menanggapi krisis Ukraina dan agresi Rusia. Sang analis menanyakan kenapa pemerintahan-pemerintahan ini secara umum memutuskan netral?
Baca Juga : Mengapa Orang Kaya Rusia yang Melarikan Diri ke Dubai?
Di awal analisa dijelaskan, “Dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB, sebagian negara-negara Barat Asia, kecuali Suriah, menyatakan anti serangan Rusia dan sebagian lain abstain. Namun tidak ada satupun dari negara-negara ini yang menggandeng poros Barat dalam hal sanksi versus Rusia. Negara-negara ini tidak pernah satu haripun memusuhi Amerika seperti Iran, bahkan pemerintahan seperti Turki, Arab Saudi dan Emirat merupakan sekutu AS di Kawasan Timur Tengah.”
“(Namun) Arab Saudi dan Emirat tidak menyepakati atau menolak tuntutan AS untuk meningkatkan produksi demi stabilitas harga karena perang Ukraina, sehingga netralitas negatif mereka menjadi pertanyaan,” tulis Christopher Philips.
“Faktor geopolitik merupakan salah satu alasan yang mendesak negara-negara ini untuk mengambil keputusan seperti ini. Sebagian berdalih bahwa tidak ada satupun dari pemerintahan Kawasan, selain Suriah, yang mengiyakan keputusan Rusia. Sebagian juga menyatakan bahwa perkara ini menunjukkan kegagalan Washington dalam meyakinkan para sekutunya untuk menkudeta Vladimir Putin. Di mana hal ini juga menggambarkan peta kemunduran poros Barat di Barat Asia,” tambahnya.
Baca Juga : Media Israel Akui Operasi Muqawamah Hancurkan Target Perundingan Negev, Turki dan Mesir
Semua pro-kontra ini bisa terselesaikan, akan tetapi tidak boleh satu dari mereka yang hiperbola. Yaitu meskipun kekuatan poros Barat telah tertinggal dan menurun di Timteng, namun penarikan mundur secara keseluruhan dari regional Timteng bagi Barat tidaklah mungkin. Kedaulatan-kedaulatan sekutu AS di Teluk Persia membangun keamanan strategisnya dengan pondasi eksistensi Gedung Putih di basis-basis militernya.
“Seandainya Rusia sukses di Ukraina, maka Moskow bisa menjadi aktor utama di Timur Tengah dalam beberapa waktu ke depan. Namun, investasi Rusia di Kawasan sangatlah kecil dibandingkan dengan Amerika Serikat. Basis militer Rusia hanya terbatas di Suriah,” jelas analis berdarah Inggris tersebut.
Perang Ukraina Sebagai Kesempatan
“Kami telah mengungkap faktor geopolitik. Namun ini bukan semuanya, ada sebagian faktor iklim yang mempengaruhi dan negara-negara Timur Tengah melihat krisis Ukraina sebagai kesempatan,” lanjutnya.
Baca Juga : Intifada Menanti, Israel Suap dengan Proyek Ekonomi Palsu
Dalam hal ini, Dosen bidang Hubungan Internasional tersebut memberikan contoh, seperti Arab Saudi yang menantikan penurunan tensi kritik Joe Biden terhadap Putra Mahkota Mohammed bin Salman sebelum menuntut peningkatan kuantitas produksi emas hitam atau membela Istana dalam perang Yaman.
Begitu pula dengan Emirat. UEA siap memenuhi kebutuhan AS dengan syarat Washington mempersenjatai Abu Dhabi menghadapi serangan Sanaa.
Di tengah-tengah fenomena ini, Iran khawatir konfrontasi Amerika versus Rusia akan mempengaruhi perjanjian nuklir di Wina.
“Permusuhan lama dengan Amerika telah mengakibatkan sebagian negara seperti Aljazair, Irak dan Iran menunjukkan kekentalan persekutuannya dengan Kremlin lebih dari sebelumnya dan di Majelis Umum juga memutuskan suara negatif. Negara-negara ini menyebut kecaman Barat atas agresi Rusia sebagai langkah munafik, karena kedaulatan-kedaulatan Barat sudah sangat terkenal dengan intervensi militernya di Timteng. Mayoritas negara-negara Kawasan menganggap kecaman terhadap Putin sebagai sikap tak adil,” akhir Dosen universitas Queen Mary tersebut.
Baca Juga : Ini Alasan Petinggi Israel Bergerak Lebih Gesit di Barat Asia