oleh: Ismail Amin Pasannai
Purna Warta – Di Iran, hari kelahiran Imam Ali bin Abi Thalib tidak hanya diperingati sebagai hari besar keagamaan, tetapi juga dijadikan Hari Ayah. Keputusan ini tentu memiliki narasi historis dan kultural yang begitu kaya, sekaligus mencerminkan pandangan dunia yang khas dari bangsa Persia. Namun, hal ini kerap mengundang pertanyaan: mengapa bukan kelahiran Nabi Muhammad, sosok yang dalam Islam diakui sebagai teladan utama, yang dijadikan Hari Ayah?
Imam Ali, menantu sekaligus sepupu Nabi Muhammad, adalah figur yang dihormati oleh semua Muslim, meski dengan warna pemaknaan yang berbeda-beda. Dalam tradisi Syiah yang menjadi mazhab mayoritas di Iran, Imam Ali dipandang sebagai puncak teladan keberanian, kebijaksanaan, dan spiritualitas. Sebagai seorang ayah, ia dikenal memiliki hubungan yang mendalam dengan anak-anaknya, baik secara emosional maupun intelektual. Ali adalah pengasuh yang penuh kasih, seorang pendidik yang mendorong pencarian ilmu, dan seorang pemimpin keluarga yang menghadirkan keadilan di rumah tangganya. Maka, memilih hari kelahiran Imam Ali sebagai Hari Ayah adalah sebuah upaya untuk menonjolkan dimensi kebapakan yang menyatukan kasih sayang dengan integritas moral.
Mengapa Bukan Kelahiran Nabi yang Dijadikan Hari Ayah?
Namun, mengapa bukan Nabi Muhammad yang dijadikan simbol Hari Ayah? Bukankah Nabi adalah figur teladan utama untuk semua aspek kehidupan? Jawabannya terletak pada pembagian peran simbolik dalam tradisi Iran. Nabi Muhammad saw., dalam segala universalitasnya, telah dijadikan rujukan untuk hampir semua aspek kehidupan: dari akhlak hingga politik. Sementara itu, Imam Ali memberikan dimensi yang lebih spesifik, lebih terfokus pada kualitas-kualitas tertentu yang ingin ditonjolkan, dalam hal ini, kebapakan. Momen ini juga mencerminkan penghayatan spiritual yang mendalam: Imam Ali, sebagai bagian dari Ahlul Bait, dianggap sebagai pintu menuju pemahaman lebih luas tentang nilai-nilai yang diajarkan Nabi.
Hari kelahiran Nabi Muhammad saw. atau Maulid Nabi, di Iran itu lebih difokuskan pada perayaan universal kepribadian Nabi sebagai pembawa risalah Islam. Penekanannya bukan hanya pada satu aspek, seperti peran sebagai ayah, tetapi mencakup seluruh aspek kenabiannya: sebagai pembimbing, pemimpin, dan rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah saw. sebagai Ayah Universal Umat. Ia dalam Islam tidak hanya dianggap sebagai ayah biologis atau peran keluarga, tetapi juga sebagai ayah spiritual dan pemimpin seluruh umat manusia. Nabi memiliki hubungan khusus dengan umatnya, bukan hanya dalam konteks keluarga, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual seluruh manusia.
Karena itu Iran menjadikan Hari Maulid Nabi, sebagai Hari Persatuan Islam, sebab poros umat Islam adalah kecintaan pada Nabi, kalau cinta Nabi, sudah, kita sesama muslim, dan wajib bersatu apapun mazhab dan firkahnya. Yang diinginkan dikenang dari kelahiran Nabi adalah sosoknya yang pemersatu umat, yang kelahirannya membawa rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi bangsa yang sebelumnya berpecah belah.
Memilih kelahiran Imam Ali sebagai Hari Ayah mencerminkan penghormatan mereka terhadap figur yang dianggap sebagai model kepemimpinan dan keluarga dalam Islam. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi kedudukan Nabi Muhammad saw., melainkan sebagai upaya untuk memberi penghormatan pada Imam Ali dalam konteks perannya yang lebih spesifik, sementara Nabi Muhammad saw. melebihi peran ayah. Ia dikenal lebih sebagai “Bapak Umat” daripada sekadar “ayah” dalam keluarga. Sementara itu, Imam Ali sering dikenang melalui peran-perannya dalam lingkup keluarga yang lebih dekat, seperti hubungannya dengan anak-anaknya yang menjadi panutan umat Islam. Sedangkan Nabi Muhammad saw. memiliki posisi universal yang mencakup semua aspek kehidupan umat Islam, sehingga perayaan atas kelahirannya memiliki cakupan yang lebih luas.
Bagaimana Iran Memperingati Hari Ayah?
Ketika hari kelahiran Imam Ali tiba, suasana di Iran berubah menjadi perayaan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Kota-kota dihiasi lampu-lampu berwarna-warni, dan masjid-masjid dipenuhi dengan acara doa bersama serta pembacaan puisi-puisi tentang keagungan Imam Ali. Anak-anak sekolah biasanya diajak membuat kartu ucapan untuk ayah mereka, sementara media nasional menayangkan program-program khusus yang membahas peran seorang ayah dalam membangun keluarga dan masyarakat. Tepat 13 Rajab, hari kelahiran Imam Ali, menjadi hari libur nasional di Iran. Memberi kesempatan kepada para ayah untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.
Di rumah-rumah, perayaan ini diwarnai dengan makan malam keluarga yang penuh kehangatan. Anak-anak memberikan hadiah kepada ayah mereka sebagai simbol penghormatan dan rasa terima kasih. Tak jarang, para ayah juga mengambil kesempatan ini untuk memberikan nasihat atau cerita inspiratif tentang kehidupan Imam Ali kepada anak-anak mereka. Sebuah tradisi yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai keluarga ditanamkan secara lintas generasi.
Ada pula aktivitas sosial yang digerakkan oleh pemerintah maupun masyarakat. Panti asuhan, rumah jompo, dan rumah sakit sering menjadi tempat berbagi kebahagiaan. Relawan datang membawa makanan, hadiah, atau sekadar menemani mereka yang tidak bisa merayakan bersama keluarga. Aktivitas semacam ini mencerminkan semangat Imam Ali yang tak pernah membiarkan mereka yang membutuhkan terabaikan. Figur Imam Ali oleh masyarakat Iran dikenal sebagai ayahnya para anak yatim. Sehingga meneladani penyantunan Imam Ali pada anak-anak yatim adalah bagian terintegrasi dari upaya mengikuti jejak kebaikan sang Imam.
Hari Ayah di Iran adalah lebih dari sekadar perayaan simbolik. Ini adalah momen untuk merenungkan makna tanggung jawab, kasih sayang, dan pengorbanan seorang ayah, sebagaimana diteladankan oleh Imam Ali. Dalam setiap keluarga, terselip harapan agar nilai-nilai tersebut tak hanya hidup dalam kenangan, tetapi terus menjadi bagian dari realitas kehidupan sehari-hari. Sebuah perayaan yang menggugah hati, mempertegas makna cinta, dan menyatukan jiwa-jiwa dalam harmoni keluarga.
Maka, ketika Anda melihat seorang ayah Iran menerima ucapan selamat dari anak-anaknya pada hari itu, Anda sedang menyaksikan pertemuan yang dalam antara tradisi dan spiritualitas. Sebuah pesan yang mungkin tidak diucapkan secara langsung, tetapi bergema dalam tindakan: bahwa menjadi ayah adalah sebuah anugerah sekaligus tanggung jawab, dan tidak ada teladan yang lebih sempurna untuk itu selain Ali bin Abi Thalib.
*Seorang WNI sementara menetap di Iran