Hari-Hari Buruk Tunisia, Krisis Pasca Melawan Diktator 2011

Tunis, Purna Warta – Kais Saied, Presiden Tunisia, menggusur pemerintah dan menon-aktifkan Parlemen disaat Tunis menghadapi krisis paling berat di masa pemerintahan demokrasi pasca keruntuhan diktator Zine El Abidine Ben Ali 10 tahun lalu di tangan revolusi.

Gebrakan Sang Presiden

Tunisia
Presiden Kais Saied

Minggu, 25 Juli 2021, Presiden Tunisia, Kais Saied menegaskan bahwa dirinya telah mencabut jabatan Perdana Menteri Hisham al-Mashishi berasaskan Undang-Undang Dasar. Aktifitas Parlemen juga dinon-aktifkan hingga 30 hari dan akan kembali aktif bersama Perdana Menteri pilihannya.

Kais Saied menyatakan, “Berdasarkan UUD pasal 80 Tunisia, kami telah memutuskan untuk mengambil kepemimpinan urusan Kabinet sampai terpilihnya Perdana Menteri baru. Karena Parlemen tak lagi aktif, maka kekebalan politik para Wakil juga akan digugurkan”.

Para oposisi Presiden Tunisia menyebut kebijakan Presiden Kais sebagai kudeta dan bentuk pelanggaran terhadap UUD. Bahkan mereka juga mengajak warga untuk demo karena telah menantang tuntutan rakyat.

Baca Juga : Israel Masuk Anggota Uni Afrika, Lonceng Bahaya untuk Palestina

Beberapa jam pasca deklarasi sang Presiden, sejumlah pendukungnya turun ke jalan dan meneriakkan syiar-syiar dukungan. Militer dan pasukan keamanan juga mengamankan gedung pemerintahan dan gedung media televisi.

Keputusan Presiden ini diambil pasca demonstrasi besar warga kontra pemerintah dan partai moderat dan Islam al-Nahdah, sebagai partai mayoritas di Parlemen. Alasan demonstrasi warga dikarenakan kenaikan positif Corona, kemarahan akan perpecahan politik dan masalah ekonomi.

Sumber keamanan juga menyatakan bahwa Presiden Kais telah memandatkan Khaled Yahyaoui, Kepala Garda Keamanan Kepresidenan, sebagai Menteri Dalam Negeri.

Isi Pasal 80 UUD Tunisia

Tunisia

Sana Ben Achour, salah seroang Dosen dan ahli hukum Tunisia, menyebut keputusan Presiden Kais Saied sebagai pelanggaran terhadap UUD dan menjelaskan, “Undang-undang sangatlah jelas dan transparan. Semua yang diumumkan oleh Presiden Kais Saied bertentangan dengan UUD.”

Dalam wawancaranya dengan salah satu stasiun radio Tunis, Sana Ben Achour menyatakan, “Pasal 80 UUD, yang dijadikan sandaran keputusan Presiden malam itu, sama sekali tidak bisa dijadikan dasar atas keputusannya. Presiden sedang menipu kami… Saya mengkhawatirkan masa depan yang tak jelas yang sedang menanti kami.”

Baca Juga : Presiden Tunisia: Saya Bukan Diktator

“Berdasarkan pasal 80, Presiden bisa membangun manajemen lazim setelah bermusyawarah dengan Perdana Menteri, Ketua Parlemen serta keputusan Kepala Mahkamah UUD di situasi pengecualian ini, yaitu di saat ada ancaman dan bahaya terhadap negara, keamanan atau kemerdekaannya yang bisa menghentikan aktifitas serta roda alami negara.

Manajemen ini harus ditujukan dan dimaksudkan untuk mengembalikan roda negara dalam waktu secepat mungkin. Dan Parlemen di tahap ini terus bekerja. Di saat inilah Presiden tidak diizinkan untuk menon-aktifkan Parlemen atau mengajukan surat aduan kontra Parlemen,” jelasnya.

Berasaskan pasal 80 UUD Tunisia, setelah 30 hari atau di waktu kapanpun setelahnya, Mahkamah UUD di bawah tuntutan Parlemen atau 30 Wakil harus mengambil keputusan apakah situasi darurat masih berlaku atau tidak. Kemudian Mahkamah harus mengambil keputusan terkait hal tersebut dalam waktu paling lama 15 hari. Dan manajemen tersebut secara otomatis juga tidak berlaku di saat situasi dan syarat-syaratnya telah hilang.

Baca Juga : 14 Negara Afrika Sepakat Cabut Status Israel di Uni Afrika

Oposisi Sebut Keputusan Presiden dengan Kudeta

Tunisia
Ketua Parlemen Rached Ghannouchi

Rached Ghannouchi, Kepala Parlemen Tunisia yang juga memimpin partai al-Nahdah, menyebut keputusan Presiden Kais dengan keputusan tanpa dalil dan mengatakan bahwa Parlemen dipilih oleh rakyat.

“Oleh karena itulah Parlemen akan terus bekerja dan masih valid,” jelasnya.

Bersama dengan beberapa Wakil di Parlemen, Rached Ghannouchi pergi menuju gedung Parlemen pada hari Senin, 26/7. Mereka mengatakan bahwa mereka dilarang masuk gedung. Para Wakil yang bersama Ghannouchi meminta surat perintah larangan masuk gedung, akan tetapi pasukan keamanan tidak bisa menjawab.

Baca Juga : New York Times: Tidak Satupun Dari Tentara AS yang akan Meninggalkan Irak

Kepala Parlemen, Rached Ghannouchi mengecam keputusan tak berdemokrasi Presiden yang akan mengancam negaranya dan mendorong pasukan bersenjata untuk mendukung politik rusuh Presiden.

Dalam sebuah kesempatan, Ghannouchi juga menolak kabar yang menyebut persetujuannya dengan kebijakan Kais Saied, meskipun dirinya mengakui kebiasaan Presiden yang selalu bermusyawarah untuk memutuskan situasi darurat negara.

Rached Ghannouchi menegaskan bahwa dirinya menolak jika semua kekuasaan negara berada di satu tangan. Dan sebelumnya, Ghannouchi juga meminta warga Tunis untuk turun ke jalan dan berdemo sebagaimana yang telah mereka lakukan pada tahun 2011 untuk mengambil kembali revolusi yang hilang.

Dua partai Tunisia, Qalb Tunis dan al-Karamah, memutuskan untuk bergabung dengan partai al-Nahdah sebagai bentuk protes atas keputusan Presiden dan menyebut gebrakan ini dengan upaya kudeta.

Baca Juga : Covid-19 Menghantui Tahanan Palestina dan Yordania di Jeruji Saudi

Partai Qalb Tunis menuntut Parlemen untuk mengadakan pertemuan darurat. Bahkan mereka menuntut PM al-Mashishi untuk meneruskan aktifitasnya sebagai Perdana Menteri. Karena dalam pandangan mereka, keputusan Presiden telah melanggar UUD.

Moncef Marzouki, mantan Presiden Tunisia, juga menyebut upaya Presiden kali ini sebagai ambisi kudeta. Di tengah kecamannya, mantan Presiden tersebut menegaskan, “Situasi ekonomi, politik dan sosial Tunis akan semakin buruk.”

Satu organisasi bernama Organisasi HAM dan Kebebasan di Tunisia juga mengkategorikan keputusan Presiden sebagai pelanggaran atas UUD dan tidak valid.

Partai Demokrasi Tunisia juga mengeluarkan sebuah pernyataan dan mengatakan bahwa mereka menolak tafsir dan pendekatan Presiden Kais atas pasal 80 Undang-Undang Dasar Tunisia.

Baca Juga : Psyware Pegasus, Fasilitas Israel ke Negara Supresor

Pro-Kontra Keputusan Presiden

Ada banyak gambar dan video yang memperlihatkan keributan puluhan orang dari pendukung partai al-Nahdah versus pendukung Presiden Kais Saied di dekat gedung Parlemen. Polisi berupaya untuk memisahkan kedua kubu dan menghentikan perkelahian.

Oposisi Presiden Tunisia menuding Kais gagal dalam upaya menengahi perselisihan politik dirinya dengan pemerintah.

Sementara Presiden Saied menegaskan alasan kegagalannya yang menurutnya dikarenakan adanya wakil busuk dan kelalaian pemerintah.

Media televisi Tunis juga mengabarkan perkelahian yang melibatkan kubu pro dan kontra, mulai dari keributan mulut, fisik hingga lemparan batu.

Baca Juga : Bagaimana Nasib JCPOA Sekarang?

Demo Ghannouchi dan Beberapa Anggota di Gedung Parlemen

sebagaimana dikabarkan bahwa Rached Ghannouchi beserta beberapa Wakil Parlemen pergi ke gedung pada jam 3 dini hari Senin. Mereka menghadapi halangan keamanan dan merekapun berdiam diri di depan gedung.

Dunia warta Tunisia juga mengabarkan kehadiran ratusan pendukung keputusan Presiden di depan gedung Parlemen. Mereka meneriakkan slogan kontra partai al-Nahdah dan pemerintah. Bahkan pendukung Presiden menghadang pendukung kubu Ghannouchi di gedung Parlemen dan sebgain mereka juga melempari batu kendaraan Ghannouchi.

Presiden Saied Tolak Tuduhan Kudeta

Tunisia
Ilustrasi Presiden bersama Kabinet

Di tengah krisis politik ini, Presiden Kais Saied menolak tuduhan upaya kudeta dan mengatakan, “Keputusan diambil berasaskan pasal 80 UUD. Dan keputusan ini adalah satu respon kerakyatan atas rekor buruk ekonomi dan politik Tunisia dalam beberapa tahun terakhir.”

Kepada para demonstran, Presiden Kais Saied memperingatkan bahwa jika mereka ingin melawan kedaulatan dengan senjata, maka akan dijawab dengan senjata dan menegaskan, “Setiap orang yang berfikir memegang senjata, pasukan keamanan akan menghadapinya dengan senjata.”

Baca Juga : Ancaman Muqamawah di Timur Furat

Para pendukung keputusan Presiden Kais Saied menganggap penurunan Perdana Menteri dan non-aktif Parlemen sebagai kesempatan terbaik setelah melawan diktator tahun 2011.

Perdana Menteri dan Parlemen terpilih setelah Pemilu dua kali tahun 2019. Hisham al-Mashishi bekerja sebagai Perdana Menteri dan sejak tahun lalu tumbuhlah perselisihan politiknya dengan Presiden Kais Saied di tengah krisis ekonomi, keuangan dan kegagalan menangani pandemi Covid-19.

Berdasarkan UUD, Presiden bertanggungjawab atas urusan Luar Negeri dan Militer. Namun setelah keributan di pusat vaksinasi dalam pekan-pekan kemarin, Presiden meminta pasukan bersenjata untuk mengambil tanggungjawab penanganan Corona.

Di sela hiruk-pikuk ini, partai Gerakan Rakyat Tunisia mendukung keputusan Presiden dan menegaskan Kais Saied tidak melanggar batasan UUD.

Baca Juga : Hati-hati Ansarullah, Perangkat Spionase Israel Juga Menargetkan Anda

Partai Persatuan Demi Tunisia juga menegaskan bahwa mereka menyerahkan stabilitas dan keamanan kepada pasukan keamanan, militer dan instansi pemerintah. Mereka juga menuntut Presiden untuk meyakinkan rakyat bahwa situasi berjalan dalam jalan demokrasi.

Absen Mencurigakan Hisham Al-Mashishi

Tunisia
Perdana Menteri Hisham al-Mashishi

Dalam beberapa waktu terakhir, Hisham Mashishi, Perdana Menteri Tunisia, belum pernah menunjukkan eksistensinya sejak diturunkan dari kursi PM. Tidak dirinya dan tidak pula kantornya mengeluarkan pernyataan.

Absen ini menimbulkan beberapa pertanyaan, khususnya di tengah situasi kompleks ini. Beberapa indikasi akan penahanan juga beterbangan di media-media.

Ali Laarayedh, Wakil partai al-Nahdah, mengatakan bahwa ada beberapa informasi yang menunjukkan penahanan al-Mashishi di Gedung Kepresidenan.

Baca Juga : Masih Tentang Spionase, Ternyata NSO Israel Akad Kerja dengan Saudi

Beberapa sumber juga mengatakan bahwa Mashishi sudah keluar dari Istana Carthage. Namun sumber Arabi21 mengatakan bahwa al-Mashishi masih dalam penahanan.

Salah satu anggota Parlemen mengatakan bahwa Presiden telah memberikan izin ke Hisham al-Mashishi untuk meninggalkan Istana setelah tuntutan dari pihak Komando keamanan dan militer.

Reuters juga melaporkan bahwa Hisham al-Mashishi tidak dalam penahanan, akan tetapi diam di rumahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *