Washington, Purna Warta – Mulai dari isolasi dan kecaman terhadap rezim pendudukan Israel di Majelis Umum PBB, temuan komisi PBB tentang genosida di Gaza, dan dukungan internasional terhadap Armada Sumud (Global Flotilla) yang berusaha menembus blokade laut, hingga keberhasilan militer perlawanan di medan tempur, semuanya menunjukkan bahwa rezim pendudukan telah terdesak.
Tanda-tandanya jelas: kejahatan rezim Zionis selama dua tahun terakhir telah ditolak oleh mayoritas dunia — dari Italia, Spanyol, hingga Amerika Serikat sendiri.
Bahkan di jantung kekuatan imperialis — AS dan sekutu Eropanya — generasi baru kini secara terbuka mendukung perjuangan Palestina dan hak perlawanan yang sah, menembus narasi Zionis yang telah lama mengakar dalam budaya Barat.
Sebagai tanggapan, rezim pendudukan justru meningkatkan genosidanya, menyerbu Kota Gaza, mengebom sisa-sisa bangunan perumahan, dan bekerja sama dengan pemerintahan Trump untuk memberlakukan perjanjian gencatan senjata yang tidak menjamin berakhirnya agresi, serta tidak menetapkan jalur menuju penentuan nasib sendiri bagi rakyat Gaza dan Palestina secara keseluruhan.
Apa yang disebut sebagai “Rencana 20 Poin” Trump sengaja dipenuhi kontradiksi dan area abu-abu untuk memaksa Hamas menyetujui kesepakatan, sambil tetap mengabaikan tuntutan utama perlawanan seperti penghentian pendudukan di Gaza dan pertukaran tahanan yang komprehensif.
Padahal, banyak tuntutan tersebut sebelumnya telah disetujui Hamas berkali-kali, namun setiap kali Israel-lah yang melanggar dan membatalkan kesepakatan.
Meskipun Trump memberi tenggat waktu hingga Minggu, 5 Oktober, bagi Hamas untuk menanggapi rencana gencatan senjata, gerakan perlawanan yang berbasis di Gaza itu memberikan jawaban terhitung pada Jumat malam.
Berikut isi pernyataan resmi Hamas:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Dalam upaya menghentikan agresi dan perang pemusnahan terhadap rakyat kami yang teguh di Jalur Gaza, dan berdasarkan tanggung jawab nasional serta kepedulian terhadap hak-hak dan kepentingan tertinggi bangsa kami, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) telah mengadakan konsultasi mendalam di dalam struktur kepemimpinannya, serta melakukan pembahasan luas dengan kekuatan dan faksi Palestina, juga dengan para mediator dan sahabat internasional, untuk mencapai posisi yang bertanggung jawab dalam menyikapi rencana Presiden AS Donald Trump.
Setelah kajian menyeluruh, gerakan ini memutuskan dan menyampaikan tanggapan berikut kepada para mediator:
Gerakan Perlawanan Islam, Hamas, menghargai upaya Arab, Islam, dan internasional, serta upaya Presiden AS Donald Trump, yang menyerukan penghentian perang di Jalur Gaza, pertukaran tahanan, masuknya bantuan segera, penolakan terhadap pendudukan di Jalur Gaza, dan penolakan terhadap upaya pengusiran rakyat Palestina dari tanah mereka.
Dalam konteks ini, dan demi mencapai penghentian penuh permusuhan dan penarikan total dari Jalur Gaza, gerakan ini menyatakan kesediaannya untuk membebaskan semua tahanan Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, sesuai formula pertukaran yang tercantum dalam usulan Presiden Trump, dengan syarat kondisi di lapangan memungkinkan pelaksanaan pertukaran tersebut. Dalam hal ini, Hamas menegaskan kesiapan untuk segera bernegosiasi melalui para mediator guna membahas rincian perjanjian tersebut.
Gerakan ini juga menegaskan kembali kesediaannya untuk menyerahkan administrasi Jalur Gaza kepada sebuah badan Palestina independen (teknokrat), berdasarkan konsensus nasional Palestina serta dukungan Arab dan Islam.
Isu-isu lain yang disebutkan dalam rencana Presiden Trump terkait masa depan Jalur Gaza dan hak-hak mendasar rakyat Palestina akan dibahas dalam kerangka nasional Palestina yang komprehensif, sesuai dengan hukum dan resolusi internasional yang relevan. Hamas akan menjadi bagian dari proses ini dan berkontribusi dengan penuh tanggung jawab.
Gerakan Perlawanan Islam – Hamas
Jumat, 11 Rabi’ul Tsani 1447 H / 3 Oktober 2025 M.”
Alih-alih menolak mentah-mentah rencana 20 poin Amerika-Israel, Hamas justru menerima secara strategis poin terkait pertukaran tahanan — kesepakatan yang sudah lama didukungnya — dengan syarat bahwa pendudukan Israel menghentikan agresinya untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan pertukaran secara aman.
Dengan menempatkan langkah kemanusiaan sebagai prioritas — gencatan senjata, penghentian serangan, distribusi bantuan, dan pemulangan warga yang terlantar — Hamas mengalihkan tanggung jawab atas kelanjutan agresi kepada rezim Zionis.
Langkah ini membalikkan narasi Barat yang selama dua tahun terakhir menggambarkan Hamas sebagai penghalang perdamaian.
Pada saat yang sama, tanggapan tersebut membuka ruang dialog mengenai masa depan Gaza, pemerintahan, dan persoalan Palestina yang lebih luas, dengan menegaskan komitmen terhadap “tanggung jawab penuh.”
Yang paling penting, Hamas menegaskan bahwa nasib Gaza harus ditentukan melalui konsensus nasional Palestina, bukan dipaksakan oleh pihak asing, termasuk Amerika Serikat.
Respons Hamas ini secara cerdas memanfaatkan ambiguitas yang terkandung dalam rencana 20 poin — yang semula dirancang untuk menjebak Hamas — kini justru menjadi tekanan terhadap poros Amerika–Israel untuk menghentikan perang genosida yang berlarut-larut.
Menariknya, Hamas tidak menyebut sama sekali soal perlucutan senjata, membiarkan isu itu tetap terbuka untuk dibahas dalam konteks pemerintahan Gaza di masa depan.
Tak lama setelah pernyataan Hamas dirilis, Trump justru menyambutnya, bahkan memposting pernyataan Hamas — yang secara eksplisit menyebut bahwa Israel sedang melakukan genosida — di akun media sosialnya, sembari meminta Israel menghentikan pemboman di Gaza.
Namun, siapa pun yang mengenal rezim Zionis tahu bahwa mereka tidak bisa dipercaya. Sejarah mereka penuh dengan kebohongan, pelanggaran perjanjian, dan manipulasi demi kepentingan sendiri.
Laporan dari Gaza menggambarkan serangan udara Israel justru meningkat di Kota Gaza dan sekitarnya tak lama setelah pernyataan Hamas dirilis dan diterima AS.
Meski Netanyahu mengeluarkan pernyataan samar tentang “pemenuhan pertukaran tahanan,” kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
Bahkan media Zionis sendiri mencerminkan kepanikan:
Seorang mantan juru bicara rezim menuduh Amerika “memberi hadiah kepada Hamas.”
Miliarder Zionis dan manipulator opini Bill Ackman menyebut tanggapan Hamas “tidak baik,” meskipun Trump sendiri menyambutnya.
Propagandis Zionis Emily Schrader, yang dikenal dengan ujaran rasis terhadap warga Iran, mengungkapkan frustrasi atas sikap Gedung Putih yang menerima tanggapan Hamas, dengan mengatakan bahwa “ini tidak membantu siapa pun.”
Namun, seperti biasa, kepanikan di pihak Zionis sering kali menjadi tanda kemajuan nyata — sesuatu yang disambut oleh sebagian besar masyarakat dunia.
Beberapa hari ke depan akan sangat krusial.
Detail pelaksanaan rencana itu akan menentukan segalanya. Sebagai contoh, entitas Zionis pernah menyetujui gencatan senjata dengan Hizbullah pada November 2024, tetapi sejak itu melanggarnya lebih dari 3.000 kali.
Bagaimana perkembangan dalam beberapa hari ke depan sepenuhnya bergantung pada rezim Zionis dan pendukung utamanya, Amerika Serikat.
Hamas kini telah menunjukkan komitmen diplomatik terhadap perdamaian, sesuatu yang telah berulang kali ditegaskannya.
Kombinasi antara kegagalan militer, isolasi politik, dan ancaman isolasi ekonomi mungkin akan memaksa rezim Zionis untuk mengubah arah dan menerima gencatan senjata permanen.
Namun, ada pula kemungkinan bahwa mereka akan kembali berkhianat, menolak ambiguitas tanggapan Hamas tanpa dialog, dan melanjutkan kampanye genosidanya.
Seiring perang udara ini memasuki tahun kedua, satu fakta tetap tak terbantahkan:
Tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan poros Amerika–Israel.
Musa Iqbal adalah peneliti yang berbasis di Amerika Serikat dan editor di Vox Ummah.