Purna Warta – Perang Gaza, yang kini memasuki tahun ketiga, telah memicu gelombang reaksi global terhadap Israel.
Opini publik dan pemerintah di seluruh Eropa dan sekitarnya semakin berpihak pada Palestina, dengan isolasi ekonomi, budaya, militer, dan diplomatik terhadap Israel yang semakin intensif.
Apa yang bermula sebagai protes di kota-kota besar di seluruh dunia telah berkembang menjadi boikot resmi, pembatalan kontrak, dan larangan menghadiri acara internasional.
Perusahaan, LSM, dan pemimpin politik kini memandang pemutusan hubungan dengan Israel sebagai tanda legitimasi, alih-alih risiko.
Laporan dari media berbahasa Ibrani mengonfirmasi bahwa perusahaan-perusahaan Israel telah menghadapi “boikot diam-diam” dari mitra asing karena khawatir akan kerusakan reputasi.
Namun setelah tahun kedua perang, dengan jumlah korban jiwa Palestina yang melampaui 65.000, keengganan diam-diam itu berubah menjadi penolakan terbuka.
Di Eropa, organisasi budaya dan olahraga bergerak untuk mengecualikan Israel.
Belanda mengancam akan memboikot Eurovision jika Israel berpartisipasi, bergabung dengan Irlandia dan Slovenia.
Lebih dari 1.200 tokoh Hollywood menandatangani pernyataan yang mengecam “genosida dan apartheid” Israel, yang kemudian bertambah menjadi 4.000 penandatangan.
Lebih dari 400 musisi menuntut penghapusan karya mereka dari platform Israel, dengan menyatakan bahwa “budaya harus menolak normalisasi kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Baca juga: Keluarga Israel Membayar Harga yang Sangat Mahal Akibat Perang yang Menekan Masyarakat
UEFA telah memulai diskusi tentang pelarangan tim Israel dari kompetisi Eropa, menggemakan perlakuan terhadap Rusia.
Spanyol telah meningkatkan tekanan dengan membatalkan kontrak militer Israel senilai hampir €1 miliar dan melarang kapal-kapal yang terkait dengan Israel untuk berlabuh.
Perdana Menteri Pedro Sánchez mengatakan Madrid tidak akan mengizinkan pelabuhannya melayani “mesin perang Israel.”
Protes publik telah mengganggu partisipasi Israel dalam berbagai acara, sementara Kementerian Pertahanan Spanyol membatalkan beberapa kesepakatan senjata, termasuk rudal Spike milik Rafael.
Inggris juga telah memberlakukan pembatasan, melarang perwira Israel berlatih di Royal College of Defense Studies dan melarang Kementerian Pertahanan Israel menghadiri pameran senjata DSEI di London.
Awal tahun ini, perusahaan-perusahaan Israel juga dilarang menghadiri Paris Air Show.
Italia mengusir Israel dari pameran pariwisata terbesarnya setelah pejabat setempat mengecam promosi “zona perang sebagai tujuan liburan.”
Di Asia, Filipina mengumumkan tidak akan melanjutkan pembelian senjata dari Israel, memecahkan rekor sebelumnya sebagai salah satu klien pertahanan terbesar Israel.
Langkah ini menyoroti meningkatnya tekanan pada ekspor senjata Israel, pilar utama perekonomiannya.
Secara ekonomi, isolasi semakin dalam.
Turki telah mengakhiri semua perdagangan dengan Israel, melarang kapal-kapal Israel dari pelabuhannya, dan menuntut jaminan bahwa kapal-kapal yang melewati perairan Turki tidak membawa senjata ke Israel.
Keputusan tersebut bahkan telah memblokir pengiriman tidak langsung, sehingga memutus jalur perdagangan utama.
Para eksportir Israel kini menghadapi pembatalan kontrak di seluruh Eropa dan Amerika Serikat.
Menurut Asosiasi Produsen Israel, 71% eksportir melaporkan kehilangan kesepakatan karena alasan politik.
Lebih dari separuhnya mengatakan klien baru menolak untuk bekerja sama.
Masalah logistik, keterlambatan bea cukai, dan pembatalan pesanan tersebar luas.
Seorang eksportir senior Israel mengakui: “Kami dikutuk untuk terisolasi sepenuhnya. Kami merasa dipinggirkan di mana-mana.”
Bahkan lembaga-lembaga kredit pun membunyikan alarm.
Para analis Moody’s yang berkunjung ke Israel memperingatkan bahwa melonjaknya biaya perang, meningkatnya utang, dan hilangnya pendapatan akibat menyusutnya ekspor menimbulkan risiko serius bagi stabilitas keuangan Israel.
Para eksekutif industri pertahanan Israel sendiri mengakui bahwa krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Boaz Levy, kepala Industri Dirgantara Israel, mengatakan: “Apa yang kami alami sekarang memiliki satu nama sandi: sanksi. Ini bukan hanya tentang penolakan untuk membeli produk Israel, tetapi juga penolakan untuk memasok komponen-komponen penting kepada kami.”
Gerakan sanksi yang meluas, mencakup budaya, olahraga, perdagangan, dan pertahanan, menandai isolasi internasional paling serius yang dihadapi Israel dalam beberapa dekade.
Bagi banyak orang, ini menandakan tahap awal embargo global terkoordinasi terhadap apa yang secara global disebut sebagai rezim apartheid dan genosida.