Purna Warta – Sepanjang sejarah organisasi gerakan-gerakan perlawanan, tidak ada kesepakatan tunggal terkait penargetan “warga sipil Israel”. Setiap gerakan dan organisasi memiliki pemikiran, ideologi, dan orientasi politik yang berbeda, yang memengaruhi tindakan mereka. Namun, terdapat kesamaan di antara organisasi-organisasi perlawanan ini, yaitu: tindakan mereka tidak terikat oleh perjanjian internasional, seperti Konvensi Jenewa (1949), yang menekankan perlindungan terhadap personel non-militer di medan perang.
Israel lebih tepatnya disebut sebagai sekelompok entitas, daripada sebuah “negara”, mengingat fakta bahwa “negara” ini didirikan di atas tanah yang bukan miliknya, yakni Palestina, dan sering kali melanggar perjanjian internasional. Israel menerapkan kekerasan dalam berbagai bentuk, sementara sekutunya, Amerika Serikat dan Eropa, membenarkan tindakan tersebut dengan istilah ambigu dan bias. Menariknya, organisasi-organisasi perlawanan yang tidak menandatangani konvensi internasional itu berusaha untuk menghormati isi Konvensi Jenewa, sedangkan Israel, yang menandatanganinya, justru terus menerus melanggar perjanjiannya.
Terkait dengan penamaan “warga sipil”, Hizbullah memiliki pandangan berbeda jika dikaitkan dengan entitas Israel. Gerakan Perlawanan asal Lebanon ini memahami, tidak ada istilah warga sipil di “Israel”. Karena pada kenyataannya, mayoritas pemukim Israel dilengkapi dengan senjata, dengan lebih dari 42.000 perempuan Israel mengajukan izin kepemilikan senjata pada 2023, dan banyak di antara mereka merupakan cadangan militer yang berjumlah 465.000 tentara.
Dalam konteks peperangan, warga sipil didefinisikan sebagai individu yang tidak memiliki nilai strategis, tetapi hal ini tidak relevan di “Israel”. Meskipun demikian, Hizbullah tetap memegang kendali moral; kelompok ini berperang tanpa membunuh warga sipil, dan itu bisa disaksikan dalam serangan-serangan yang diluncurkan di utara perbatasan dengan Palestina yang Diduduki.
Visi dan etika Hizbullah berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan yang diajarkan oleh agama dan sistem internasional. Sebaliknya, entitas pendudukan dan tentara Israel memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Hizbullah. Seorang peneliti Yahudi, Israel Shahak (nama lahirnya, Israel Himmelstaub), dalam bukunya “Jewish History, Jewish Religion: The Weight of Three Thousand Years” (1994), menukil percakapan antara seorang tentara dengan seorang rabi. Menurut Halakha (sistem hukum Yudaisme), militer Israel diizinkan untuk membunuh warga sipil non-Yahudi selama perang, meskipun tidak berpotensi membahayakan nyawa pasukan, atau bahkan warga sipil yang baik.
Secara strategis, Israel mengadopsi “Doktrin Dahiya” yang diterapkan pada 2006, yang merupakan strategi untuk menghancurkan semua yang mungkin, termasuk infrastruktur sipil, dengan tujuan menimbulkan penderitaan di kalangan warga sebagai bentuk pencegahan. Namun, pendekatan ini terbukti gagal; dampak negatifnya lebih banyak dirasakan oleh warga sipil, sementara gerakan Perlawanan terus berlanjut dan semakin besar.
Hizbullah juga memahami apa yang bakal dapat merugikan rezim Israel dengan menargetkan konsentrasi militer, seperti pangkalan udara, bandara, dan gudang senjata, yang dapat menimbulkan kerugian besar serta melumpuhkan fasilitas yang digunakan untuk serangan dan logistik. Menargetkan dan membunuh tentara juga akan menyebabkan kerugian signifikan di institusi vital bagi entitas Pendudukan. Hal yang membuat banyak tentara Israel menolak untuk ditugaskan di garis depan.
Sisi lain, menargetkan “warga sipil Israel” bagi Hizbullah, mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan; malah bisa meningkatkan solidaritas di antara mereka. Setiap operasi yang menargetkan warga sipil, sangat berisiko memicu kemarahan internasional, seperti yang terjadi dalam “Operasi Badai al-Aqsa” oleh Brigade al-Qassam. Meskipun pada dasarnya, operasi itu menargetkan kelompok militer, barak, dan pangkalan-pangkalan strategis Israel.
Saat ini, demonstrasi terus berlangsung di kota-kota besar Israel, menuntut pembebasan tahanan yang ditahan oleh Hamas. Hampir setiap akhir pekan, ratusan ribu pengunjuk rasa menentang pemerintahan Netanyahu turun ke jalan-jalan di Tel Aviv dan Yerusalem. Massa yang besar menggelar aksi di kediaman Netanyahu dan di depan gedung parlemen Israel (Knesset), menuntut tindakan yang lebih tegas dan transparansi dalam kebijakan pemerintah terkait situasi keamanan nasional serta perlakuan terhadap tawanan. Ironisnya, tidak ada satupun pejabat Israel yang merespons tuntutan pengunjuk rasa tersebut.
Sementara, sejarah telah menunjukkan pengaruh kuat gerakan perlawanan, terutama dalam membangkitkan gerakan penentangan yang dimobilisasi oleh keluarga prajurit Israel. Contohnya adalah gerakan “Fathers Against Silence”, yang muncul pada Mei 1983 setelah invasi Israel ke Lebanon. Gerakan ini menuntut agar semua pasukan Israel mundur dari Lebanon hingga pada 1985, dan akhirnya pasukan Israel menarik diri. Gerakan Fathers Against Silence awalnya merupakan sebuah gerakan protes kecil yang terdiri dari orang tua para tentara Israel untuk menentang kebijakan pemerintah dan militer yang gagal melindungi anak-anak mereka yang bertugas di militer, serta memperpanjang konflik dengan Palestina.
Gerakan lain muncul yang diberi nama “Four Mothers”, muncul di Israel pada 1997, setelah insiden bencana helikopter di tahun yang sama. Gerakan ini diprakarsai oleh empat orang wanita dari Israel utara, yang juga merupakan ibu dari tentara yang ditugaskan di Lebanon. Fokus utama gerakan ini adalah mendesak pemerintah untuk menarik seluruh pasukan IDF dari zona keamanan di Lebanon Selatan, yang juga didukung oleh SLA (Tentara Lebanon Selatan). Gerakan ini akhirnya berhasil mengubah opini publik Israel secara signifikan, sehingga pemerintah Israel memutuskan untuk menarik pasukan IDF dari Lebanon Selatan secara sepihak pada Mei 2000.
Ditambah lagi, gerakan “Prisoner” yang dibentuk antara tahun 2000 dan 2004 untuk memprotes pembunuhan massal yang dilakukan oleh tentara Israel di Jalur Gaza.
Hizbullah, sebagai gerakan Perlawanan Islam, hingga saat ini belum melakukan tindakan berdasarkan logika respons yang secara sengaja menargetkan warga sipil. Namun, jika perang terus meluas dan Israel terus melancarkan pembantaian terhadap warga sipil, baik di Lebanon maupun di Gaza, Palestina, maka batasan antara sasaran sipil dan militer dapat semakin kabur.
Dalam kondisi seperti ini, logika Hizbullah bisa berubah menjadi “pembalasan setara atas pembunuhan”, yang dipandang sebagai tindakan keadilan, sehingga perlakuan yang sama akan diberikan sebagai balasan yang setimpal. [MT]
Referensi:
1. Nprillinois. Israel’s Government is Encouraging Gun Ownership by Loosening the Rules
2. Times of Israel. Shocked by Oct. 7 Failures, Israelis Rush to Buy Guns, with Government Encouragement
3. Shahak, Israel. Jewish History, Jewish Religion: The Weight of Three Thousand Years. Pluto Press, 1994.
2. “Hezbollah’s Strategy: Resisting Israel and U.S. Influence.” The Middle East Institute, 2021.
3. “Israel’s Dahiya Doctrine: A Strategy of Destruction.” The Washington Institute, 2022.