Purna Warta – Surat kabar kondang Israel dalam makalahnya menelisik sikap keras nan ekstrim Tel Aviv terhadap Iran dan memprediksikan ancaman ekstrimisme tersebut yang bisa merusak hubungan mesranya dengan Amerika Serikat.
Isu dan tuduhan tak berbukti semakin marak di dunia jurnalis di sisa hari menuju perundingan nuklir JCPOA di Wina. Perundingan akan dihadiri oleh wakil dari Iran, Inggris, Prancis, China, Rusia, Jerman dan wakil secara virtual dari Amerika.
Haaretz mengupas klaim serta tuduhan petinggi Israel mengenai program nuklir Iran. Naftali Bennett, PM Israel, menyatakan, “Meski ada jalan kembali ke JCPOA, tapi Israel bukanlah bagian dari resolusi tersebut dan tidak akan menjalankannya.”
Baca Juga : Ansarullah Yaman Kutuk Sebutan Teroris untuk Hizbullah
Sebenarnya, menurut pengamatan Haaretz, ini sebuah pesan kepada Presiden AS, Joe Biden, dan petinggi Barat lainnya.
Pesan rezim Zionis adalah Israel bebas untuk melakukan apapun, yang dianggapnya pantas, dalam menghadapi ancaman Iran. Dan menurut pandangan PM Bennett, upaya diplomatik tidak ada nilainya untuk membatasi program nuklir Tehran.
Begitu pula Gedung Putih, menurut laporan Haaretz, mengirim pesan melalui surat kabar New York Times. Beberapa hari lalu, NY Times mengutip pernyataan salah satu petinggi senior pemerintahan Amerika yang memperingatkan Israel dengan mengatakan, “Serangan berkali-kali ke situs nuklir Iran bisa saja memuaskan dari segi strategi, namun akhirnya memendam satu hasil yang bertolak belakang (dengan target).”
Dalam kelanjutan analisanya ini, Haaretz membahas perang lisan antara Tel Aviv dan Washington. Satu perang mulut, yang biasanya hanya dilakukan di balik pintu ini menunjukkan bahwa urusan bukan hanya karena satu perbedaan pendapat tentang taktik. Tetapi ini adalah sebuah pesan dari pihak Gedung Putih kepada Tel Aviv akan batas kesabaran AS yang mungkin saja berakhir.
Baca Juga : Washington ke Riyadh: Ansarullah Tidak Akan Mundur, Pikirkan Solusi Baru!
“Jika dianggap sampai sekarang bahwa Amerika Serikat menyadari kepentingan rezim Zionis bahkan hanya berdiam melihat serangan Israel ke Iran, tapi sepertinya saat ini kebebasan Zionis memikulkan dampak yang berat,” tulis Haaretz.
Menurut laporan Haaretz, hanya tersisa beberapa hari sebelum 29 November dan perundingan JCPOA di Wina. Mengupas pernyataan Benny Gantz di potongan waktu ini sangatlah penting.
“Kesepakatan bisa lebih baik, tapi separuh gelas penuh minuman harus dilihat. Mengundur program nuklir Iran selama 10 tahun atau 15 tahun adalah hal yang baik,” kata PM Bennett kala itu.
“Dua bulan yang lalu, Gantz dalam wawancaranya dengan Foreign Policy menjelaskan, “Rezim Zionis bisa (saja) menjalin satu kesepakatan nuklir dengan Iran dan saya memahami kebijakan AS dalam upaya membatasi program nuklir Iran,” tulis Haaretz.
Baca Juga : SDF Siap Bebaskan Ratusan Anggota ISIS dari Penjara
Surat kabar berbahasa Ibrani tersebut kemudian membahas perang psikologis petinggi Israel yang mengancam serangan militer ke Tehran dan menuliskan, “Jalinan diplomatik, ekonomi dan sejarah antara Tel Aviv dan Washington mengharuskan rezim Zionis untuk berdiri mendukung Joe Biden dan tidak meletakkan ranjau darat di jalan.”
Sudah sering kali petinggi Zionis mengklaim hal-hal tak terbukti tentang program nuklir Iran. Dalam perang psikologis terbarunya, Benny Gantz, Menteri Perang-Pertahanan Israel, menuntut dunia untuk terjun ke medan melawan Iran.
Sebelumnya, PM Naftali Bennett memperingatkan upaya kembalinya Amerika Serikat ke resolusi nuklir Iran.
“Seandainya terjalin kesepakatan antara Iran dengan negara-negara besar dunia, Israel bukan salah satu bagian dari kesepakatan tersebut dan tidak akan pernah melaksanakannya,” tegas PM Bennett dalam orasinya.
Baca Juga : Penerbangan Langsung Pertama antara Damaskus dan Abu Dhabi
Bahkan ada laporan yang menuliskan acara kunjungan Yair Lapid, Menlu Israel, pada pekan depan ke Inggris dan dilanjutkan ke Prancis. Menlu Israel menjadwalkan pertemuan dengan kedua petinggi negara anggota JCPOA.