Tel Aviv, Purna Warta – Ehud Barak, mantan Perdana Menteri Israel, baru-baru ini menerbitkan sebuah opini di majalah Time di mana dia menyimpulkan bahwa Iran mampu “dalam beberapa hari lagi” untuk mencapai apa yang dia sebut sebagai “ambang status nuklir”, yaitu memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk memproduksi satu perangkat nuklir.
Barak mengakui bahwa jika Iran mengumpulkan stok uranium yang diperkaya yang diperlukan untuk melewati ambang batas ini, Iran masih perlu 18-24 bulan “untuk memoles keterampilan mereka dan mengembangkan uranium logam, serta mengemasnya menjadi hulu ledak rudal.” Ini, menurut Barak, hanyalah masalah teknis yang bisa diatasi Iran kapan saja. Barak berpendapat, “Iran akan melewati titik, dimana pihaknya tidak bisa tertolak untuk menjadi anggota ‘klub nuklir’.” Barak pun tidak mengatakan sebuah fakta bahwa Israel sendiri adalah anggota dari ‘klub’ ini, yang telah membangun program senjata nuklir di luar kerangka perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT). Inilah kemunafikan tanpa mengenal batas dari Israel.
Baca Juga : Komite PBB Prihatin Atas Penyiksaan UEA Terhadap Yaman
Selalu ada perbedaan antara kemampuan dan niat ketika menilai program nuklir Iran. Di sisi lain, Iran secara konsisten mempertahankan kemampuan teknologi nuklirnya, dan Iran telah berusaha untuk menguasai siklus bahan bakar nuklir, termasuk pengayaan uranium skala besar. Iran menegaskan bahwa kemampuan ini tidak untuk tujuan militer. Memang, Iran telah mengaitkan kebijakan teknologi ini dengan dasar inti dari perjuangan sebuah bangsa yang berdasarkan keyakinan Islam.
Republik Islam Iran telah memiliki dua Pemimpin Tertinggi dalam sejarah, yakni Sayyid Ruhullah Musawi Khomeini dan Sayyid Ali Husseini Khamenei, keduanya telah menjelaskan dengan tegas melalui kata-kata dan perbuatan mereka bahwa pembuatan dan penggunaan senjata nuklir adalah terlarang dan bertolak belakang dengan ajaran dan keyakinan Islam, oleh karena dasar keyakinan demikian itu, Iran tidak akan pernah melakukan pengayaan nuklir untuk tujuan militer.
Barat mungkin meremehkan sikap pemimpin Iran terhadap publik seperti itu, karena mereka telah terbiasa dengan kebohongan dari praktik umum para pemimpinnya sendiri untuk mengatakan satu hal dan melakukan hal lain. Namun, di negara seperti Iran, di mana para pemimpin agama diberdayakan oleh Hawza atau lembaga resmi pendidikan agama, untuk mengeluarkan fatwa atau keputusan agama, yang berdasarkan dari keyakinan hukum mereka, seperti yang diungkapkan melalui risalah amaliyah yang diterbitkan melalui buku atau manual aplikasi praktis sebagai sebuah bentuk dari keyakinan agama yang diterapkan pada masyarakat. Konsep Pemimpin Tertinggi yang melekatkan secara signifikansi pada ajaran agama dapat memberikan suatu keputusan, yang mana pihak lain tidak mampu untuk melakukannya.
Baca Juga : Penyiksaan terhadap Para Tahanan di Penjara UEA di Yaman
Sementara Amerika Serikat, selama pemerintahan Obama, memang memperhatikan referensi lewat pentingnya fatwa yang dikeluarkan oleh Pemimpin Tertinggi Iran tentang senjata nuklir. Kebijakannya tidak pernah mencerminkan pemahaman yang dangkal. Strategi yang digunakan Obama adalah mengalihkan perhatian dari kebijakan yang dirancang untuk melemahkan Iran daripada mempromosikan ambisi energi nuklirnya.
Israel tidak pernah terlibat dalam strategi seperti itu. Sejak awal mereka telah mengarahkan bahwa Iran sedang mengejar program senjata nuklir, dan telah melangkah lebih jauh dengan mendefinisikan “kemampuan senjata nuklir” sebagai hal yang dikaitkan dengan agenda pengayaan uranium resmi di Iran. Dengan menggunakan logika Israel ini, senjata nuklir tidak bisa ada tanpa kapasitas seperti yang dimiliki Iran.
Barak, dalam artikel opininya, mengabaikan peran yang dimainkan Israel dalam membuat kasus terhadap Iran terkait program nuklirnya. Barak menganggap keliru strategi Joint Comprehensive Plan of Action, atau JCPOA sebagai perjanjian nuklir antara Iran, Rusia, Cina, Jerman, Inggris, Prancis, Uni Eropa dan, terakhir Amerika Serikat. JCPOA disepakati pada bulan Juli 2015, dimana Iran setuju untuk melakukan pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya secara sementara, disertai inspeksi pemantauan permanen dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi yang terkait dengan program nuklirnya.
Karena gagal melangkah cukup jauh untuk membatasi kemampuan nuklir Iran. Dia mengabaikan fakta bahwa, sebagai bagian dari perjanjian ini, masyarakat internasional, dengan kerja sama Iran memiliki hak untuk menyelidiki secara menyeluruh berkas tuduhan mengenai niat militer Iran dalam program nuklirnya. Dimana sebelumnya terdapat tuduhan berdasarkan keterangan intelijen Israel, sebagai aspek kunci, yang ternyata merupakan kebohongan murni. Dilihat dari sudut pandang ini, pembatasan yang dikenakan pada Iran oleh JCPOA didasarkan pada realitas programnya, bertentangan dengan fantasi jahat yang diumumkan oleh Israel.
Baca Juga : Pendukung Sadr Bersumpah Untuk Tetap Berada Di Dalam Parlemen
Dan sementara Barak mengecam keputusan Amerika Serikat untuk menarik diri dari JCPOA pada tahun 2018, keluhan utamanya adalah bahwa baik Amerika Serikat maupun Israel tidak menyiapkan “Rencana B” untuk kemungkinan ini, seperti dengan melakukan serangan militer skala besar yang menargetkan totalitas infrastruktur nuklir Iran. Solusi Barak bukanlah mencari cara untuk bekerja sama dengan Iran untuk menciptakan kepercayaan di masyarakat internasional mengenai niat Iran, tetapi lebih fokus pada mempersiapkan kemampuan militer yang memadai, sehingga Israel akan mampu menghilangkan kemampuan nuklir Iran sama sekali dengan menghancurkan segala fasilitasnya.
Ini, tentu saja bukan solusi sama sekali.
Pada titik tertentu, Barat harus menerima program teknologi nuklir Iran yang tak terhindarkan, dan terbatas hanya dalam ruang lingkup tujuan sipil, termasuk kemampuan pengayaan uranium yang berasal dari penguasaan siklus bahan bakar nuklir secara keseluruhan. Program ini dapat dipantau oleh komunitas internasional sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam JCPOA, atau dengan cara yang tidak terlalu mengganggu, sesuai kewajiban Iran yang ada di bawah NPT. Pilihan ada di tangan Barat. Bagaimanapun, Iran akan menggunakan haknya di bawah NPT untuk mengejar program nuklir damai. Dan ancaman dari Israel atau Amerika Serikat tidak bisa menghentikan program ini.