Efek Pembunuhan Yahya Sinwar: Pelajaran dari Hizbullah dan Pertaruhan Strategis Israel

yahya sinwar

Purna Warta – Pembunuhan Yahya Sinwar, pemimpin politik Hamas, telah menambah daftar panjang operasi Israel yang menargetkan tokoh-tokoh sentral dalam gerakan perlawanan. Namun, apakah kematian Sinwar akan menjadi pukulan fatal bagi Hamas, atau justru memicu resistensi yang lebih kuat? Untuk memahami dinamika ini, kita perlu menganalisis peran penting Sinwar dalam Hamas dan membandingkannya dengan pengalaman Hizbullah di Lebanon, terutama setelah pembunuhan Sayyid Abbas al-Moussawi dan kebangkitan Sayyid Hassan Nasrallah.

Pilar Hamas dan Arsitek Militer di Gaza

Yahya Sinwar bukan sekadar pemimpin politik; ia adalah simbol perjuangan dan ketahanan Hamas. Sebagai mantan komandan sayap militer Hamas, Izz ad-Din al-Qassam, Sinwar dikenal sebagai arsitek berbagai operasi militer yang mengubah wajah konflik di Gaza. Dalam perannya, ia merancang strategi yang menggabungkan perlawanan militer dengan diplomasi yang hati-hati, menjadikan Hamas sebagai kekuatan yang tangguh baik di dalam negeri maupun di arena internasional.

Pembunuhan Sinwar oleh Israel tampaknya merupakan bagian dari upaya untuk mematahkan semangat perlawanan di Gaza. Namun, logika ini menimbulkan pertanyaan: apakah kematian seorang pemimpin seperti Sinwar benar-benar dapat meruntuhkan Hamas, atau malah memperkuatnya? Teori Robert Pape dalam Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism memberikan panduan penting di sini. Pape berargumen bahwa pembunuhan pemimpin perlawanan sering kali justru memperdalam militansi, memperkuat ikatan internal, dan menciptakan martir yang semakin memperkuat semangat perjuangan (Pape, 2005).

Kematian Pemimpin Tidak Menghentikan Perlawanan

Contoh Hizbullah di Lebanon memberikan wawasan penting tentang efek jangka panjang dari strategi pembunuhan ini. Pada tahun 1992, ketika Israel membunuh Sayyid Abbas al-Moussawi, banyak pihak mengira bahwa Hizbullah akan melemah. Namun, pengganti Moussawi, Sayyid Hassan Nasrallah, bukan hanya mampu menjaga keutuhan gerakan, tetapi juga memperkuatnya. Di bawah kepemimpinannya, Hizbullah berkembang menjadi kekuatan militer yang lebih terorganisir dan berpengaruh, tidak hanya di Lebanon tetapi juga di seluruh Timur Tengah (Mansour, 2019).

Lebih jauh, meskipun Nasrallah sendiri terbunuh, gerakan Hizbullah tetap hidup dan bahkan bertambah kuat. Ini menunjukkan bahwa keberlanjutan gerakan perlawanan lebih bergantung pada struktur dan dukungan sosialnya daripada keberadaan seorang pemimpin. Dalam konteks ini, pembunuhan Sinwar kemungkinan besar tidak akan menghentikan perlawanan Hamas, melainkan mendorong munculnya pemimpin baru yang lebih tegas dan berpengalaman, seperti yang terjadi di Hizbullah.

Kelemahan Struktural dan Peluang Kemenangan Jangka Pendek

Meskipun sejarah menunjukkan bahwa pembunuhan pemimpin sering kali memicu kebangkitan gerakan perlawanan, ada pula argumen alternatif yang perlu dipertimbangkan. Beberapa analis berpendapat bahwa pembunuhan Sinwar bisa menimbulkan krisis kepemimpinan di Hamas, setidaknya dalam jangka pendek. Sinwar memiliki peran unik yang menggabungkan pengalaman militer dengan kemampuan politik yang tidak dimiliki oleh banyak pemimpin lain di Hamas. Kehilangan sosok sepertinya bisa menciptakan kekosongan kepemimpinan yang sulit diisi dengan cepat, menyebabkan keretakan internal dan melemahkan kemampuan Hamas untuk merespons serangan Israel secara efektif.

Selain itu, beberapa ahli strategi militer Israel berpendapat bahwa pembunuhan Sinwar bisa memberikan kemenangan psikologis jangka pendek. Sinwar adalah simbol penting, dan kematiannya bisa dianggap sebagai bukti kekuatan intelijen Israel dan kemampuannya untuk menargetkan tokoh-tokoh utama perlawanan. Ini mungkin sementara menggoyahkan moral Hamas dan memberi Israel ruang untuk bergerak di arena internasional, dengan dalih telah berhasil “menjinakkan” salah satu pemimpin paling berbahaya di Gaza.

Namun, seperti yang dijelaskan oleh Robert Pape, keuntungan ini sering kali hanya bersifat sementara. Sejarah menunjukkan bahwa kelompok-kelompok perlawanan dengan dukungan sosial yang kuat cenderung memiliki kemampuan untuk bangkit kembali, lebih militan dan lebih terorganisir daripada sebelumnya. Hamas, dengan jaringan sosial yang luas di Gaza dan di seluruh dunia, akan mampu mengatasi krisis kepemimpinan ini dan beradaptasi dengan cepat.

Pembunuhan Sinwar dalam Dinamika Gaza

Apa yang terjadi setelah pembunuhan Sinwar akan sangat menentukan arah perlawanan di Gaza. Jika kita mengikuti jejak Hizbullah, Hamas bisa saja menjadi lebih kuat, lebih terorganisir, dan lebih fokus pada perlawanan jangka panjang. Dukungan masyarakat Gaza yang masih kuat terhadap Hamas, terutama di tengah tekanan Israel, menunjukkan bahwa gerakan ini akan terus mendapatkan legitimasi, bahkan jika para pemimpinnya terbunuh.

Namun, di sisi lain, Israel mungkin melihat kesempatan untuk memanfaatkan kekosongan kepemimpinan ini guna memecah belah Hamas secara internal. Jika transisi kepemimpinan tidak berjalan mulus, kemungkinan ketegangan internal bisa meningkat, memberikan keuntungan bagi Israel untuk memperkuat kontrol di Gaza.

Pembunuhan Yahya Sinwar menunjukkan betapa kompleksnya dinamika konflik di Timur Tengah, di mana tindakan satu pihak dapat memicu efek yang tidak terduga. Sementara Israel merayakan keberhasilan taktis ini, sejarah dan logika perlawanan menunjukkan bahwa kemenangan strategis jangka panjang tetap sulit dipastikan. Seperti yang kita pelajari dari kasus Hizbullah dan teori Robert Pape, pembunuhan pemimpin perlawanan sering kali menjadi katalisator bagi kebangkitan yang lebih kuat, bukan runtuhnya gerakan.

Pada akhirnya, pembunuhan Sinwar bisa saja mengubah arah perlawanan Hamas, tetapi tidak akan memadamkan api perlawanan yang telah lama mengakar di Gaza. Sebagaimana yang terjadi di Lebanon dengan Hizbullah, Hamas juga pasti akan menemukan kekuatan baru dalam menghadapi tantangan ini, membuktikan sekali lagi bahwa perlawanan terhadap pendudukan tidak akan berhenti dengan jatuhnya satu pemimpin. [MT]

Referensi:

1. Mansour, R. (2019). Hezbollah: A Short History. Yale University Press.
2. Pape, R. A. (2005). Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. Random House.
3. Hoffman, B. (2006). Inside Terrorism. Columbia University Press.
4. Khalidi, R. (2013). Brokers of Deceit: How the U.S. Has Tamed the Palestinian-Israeli Conflict. Beacon Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *