Purna Warta – Beberapa bulan terakhir, hal yang paling menjadi perhatian dunia warta dari negeri para sultan Emirat adalah kebijakan normalisasi dengan musuh bangsa Arab secara umum yaitu rezim Zionis. Normalisasi ini mendapatkan respon negatif dari berbagai pihak dunia Islam dan Arab, hanya sekutu Amerika saja yang diam.
Yang harus diperhatikan adalah reaksi negatif bukan hanya dari luar, tetapi dari dalam Emirat juga. Sebagian Sheikh Dubai menganggap kebijakan ini bertentangan dengan kepentingan para sultan lainnya.
Faktanya adalah beberapa kebijakan luar negeri Emirat merupakan hasil dari politik langsung Mohammed bin Zayed Al Nahyan, Putra Mahkota Abu Dhabi dan Wakil Komando militer bersenjata Emirat.
Sejak Khalifa bin Zayed sakit tahun 2014, kemudi politik luar negeri dan keamanan Emirat disetir oleh Mohammed bin Zayed. Dan semenjak tahun 2014 pimpinan MBZ ini, fulus Emirat dikeluarkan untuk perluasan hegemoni dan kekuatan di Timteng.
Untuk Apa Politik Agresif Abu Dhabi di Kawasan?
Politik agresif ini memiliki beberapa pondasi struktur, yang terpokok adalah kontrol aliran air dan pelabuhan strategis di regional. Poros politik ini adalah penerjunan pelabuhan Dubai ke pasar internasional, sebagai motor untuk evolusi Emirat menjadi emperator Kawasan.
Aplikasi, ya Emirat butuh pengaplikasian atau realisasi politik di atas. Karena hal inilah, Emirat meluncurkan kekuatan militer ke berbagai titik di Timur Tengah. (Contoh) Libya, mendukung pemerintah Khalifa Haftar, menyepakati resolusi pembangunan wilayah bebas, Somalia Land, demi pengembangan pelabuhan serta pangkalan udara, bahkan mengirim militer ke Sudan. Ini semua adalah langkah-langkah aplikatif politik Emirat.
Titik puncak dari politik militeris Emirat ini adalah ikut dalam penjarahan negeri saudara sendiri selama bertahun-tahun, yaitu Yaman. Terlihat sangat jelas politik Emirat di daerah ini, yaitu mengambil kontrol jalur Bab al-Mandeb dan wilayah strategis lainnya, Aden.
Socotra pula menjadi daerah jajahan Emirat dan ada banyak warta pendukung yang menandakan bahwa Abu Dhabi sedang membangun pondasi penyokong pengembangan militer di daerah pohon Darah Naga ini. Dan jelas, Abu Dhabi memiliki dukungan Israel dan Amerika untuk hal ini.
Bertahun-tahun lamanya Abu Dhabi menjadi pendukung finansial lobi anti-Iran di Washington. Selain itu, Abu Dhabi juga melakukan upaya global bersama Israel untuk membatasi wilayah kekuasaan Iran di regional, yang diimplementasikan dalam kerjasama dan pembukaan Kedubes Zionis di Emirat.
Selain politik luar negeri ini, perlu juga disorot dinamika politik para sultan dalam tubuh Emirat.
Krisis yang Menjadikan Abu Dhabi menjadi Wilayah Kuat di Emirat
Perlu diketahui bahwa Emirat terdiri dari wilayah-wilayah kekuasaan Sheikh. Abu Dhabi dan Dubai adalah dua wilayah Uni Emirat Arab yang menjadi wajah implementasi politik para Sheikh.
Salah satu perihal yang menjadi penghalang ambisi Mohammed bin Zayed untuk meraih kekuasaan penuh di Abu Dhabi adalah perkelahian atau kontroversi antara Abu Dhabi dengan wilayah-wilayah Uni Emirat Arab lainnya tentang politik hegemoni di atas. Pesaing tangguh Abu Dhabi adalah Emirat Dubai.
Dubai tidak seperti Abu Dhabi, tidak begitu menikmati keuntungan minyak. Dubai lebih bergantung pada pendapatan wisata dan perdagangan. Tidak seperti Abu Dhabi, Dubai memiliki hubungan baik dengan para tetangga UEA sehingga menjadikannya salah satu pedagang dan pasar lalu-lintas keuangan Timteng.
Dubai tidak memiliki alasan untuk mengadakan eksplorasi ke Kawasan. Berdasarkan hukum pemerintah Emirat, 7 Sheikh memiliki kebebasan dalam berkebijakan tentang wilayahnya masing-masing, bahkan mereka memiliki sistem keamanan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Berasaskan hak politik merdeka serta kesuksesan perdagangan inilah, Dubai meraih keseimbangan dan stabilitas kekuasaan.
Namun demikian, balance serta keseimbangan ini semakin hari semakin menyurut semenjak tahun 2009. Pada tahun 2009 krisis ekonomi dunia dimulai dari ledakan pasar keuangan di Amerika, krisis ini memukul keras bisnis konstruksi Dubai.
Banyak yang kehilangan mobil dan gedung-gedung karena hutang. Dubai tidak memiliki kekayaan alam yang bisa menopang kerugian yang timbul dari krisis ini.
Di tengah kondisi inilah, Abu Dhabi datang dan mengusulkan pinjaman 20 miliar dolar di atas meja Emir Dubai.
Gelontoran hutang telah membebani Dubai. Emir Dubai terpaksa kehilangan beberapa poin penting dan menghadiahkannya kepada Abu Dhabi, salah satunya adalah menyerahkan kebijakan politik unilateralisme dan eksplorasi Abu Dhabi di berbagai titik Kawasan.
Dengan ikut sertanya beberapa perusahaan besar finansial Abu Dhabi, membuat kota pimpinan MBZ tahu lebih banyak mengenai seluk beluk tranksaksi keuangan Dubai. Dalam hal inilah, unit investigasi kriminal Bank Sentral Abu Dhabi turun menjelajahi transaksi-transaksi keuangan bank-bank Iran. Buruknya, unit Bank Sentral ini dikuasai oleh pihak-pihak Amerika.
Satu persatu dengan tekanan Amerika, bank-bank Dubai memutus hubungan dengan Iran. Dan karena putusnya Bank Noor di Dubai dengan bank Tehran, pasar mata uang Iran mengalami goncangan dalam waktu lama yang memuncak pada tahun 2001-2002. Hal yang hampir sama kembali terjadi pasca Amerika pimpinan Donald Trump keluar dari JCPOA.
Sejarah Kembali Terulang
Situasi di atas ditambah kondisi pandemi Corona, menandakan indikasi pengulangan cerita. Pandemi bukan hanya memaksa Dubai untuk menutup kedai wisata dalam jangka lama, tetapi penurunan wisatawan mencetak rekor sejarah Dubai.
Statistik menyebutkan penurunan investasi Dubai hingga 74%. Kebijakan paket penyelamatan keuangan telah menambah kuantitas hutang hingga 65%, bahkan terdengar suara sirine bahaya dari asuransi.
Bisnis pembangunan atau konstruksi Dubai juga tidak mengarungi hari indah. Sekitar 1 juta unit rumah kosong di kota metropolitan Dubai. Penurunan harga sewa yang terus-menerus juga melemahkan pembayaran kontan para pembisnis dan perusahaan.
Lepas dari hutang pemerintah dan bank-bank Dubai, perusahaan-perusahaan di bawah dukungan Emir Dubai, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, sebelumnya telah berhutang lebih dari 6.8 miliar dolar. Perusahaan-perusahaan tersebut juga menjual surat-surat hutang senilai 3.1 miliar dolar.
Musibah ekonomi ini menunjukkan tanda-tanda pengulangan cerita krisis di tahun 2006. Dengan agenda hemat, Dubai berupaya menghadang krisis moneter ini, namun nyatanya para Emir dan Sheikh Dubai terpaksa menjulurkan tangannya ke Abu Dhabi, si saudara kaya.
Hingga saat ini belum diketahui nilai paket bantuan Abu Dhabi ke Dubai. Namun sepertinya peleburan dan inkorporasi badan-badan keuangan Dubai-Abu Dhabi menjadi hal utamanya, seperti bursa. Tahun 2009 lalu, peleburan ini hanya terbatas pada perusahaan-perusahaan industri seperti aluminium dan sekarang peleburan ini akan semakin mendalam nan lebar.
Peleburan ini menunjukkan Dubai yang akan semakin terjerat dalam pelukan Abu Dhabi. Dubai akan semakin patuh pada Abu Dhabi.
Apa Dampaknya ke Iran?
Meskipun situasi ini menandakan perubahan peta dalam negeri UEA. Namun melihat Dubai sebagai pusat transaksi keuangan Iran, maka Tehran tentu akan terdampak.
Seperti disinggung di atas mengenai kontrol Amerika atas bank sentral Abu Dhabi, maka kepatuhan Dubai ini akan menjadi senjata bagi Kemenkeu AS, yang sewaktu-waktu bisa menjadikannya tekanan lebih untuk Iran.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, kebergantungan Iran pada pasar Emirat semakin menurun, namun hingga kini pasar mata uang Dubai masih sangat berperan dalam transaksi harian pasar mata uang Iran.
Hal lainnya di balik kepatuhan ini adalah upaya rezim Zionis untuk masuk ke sistem Dubai, terkhusus ke masyarakat Iran mukim Dubai. Jelas bahwa para Sheikh Dubai tahu dan sadar akan sensitifitas hal ini, dan situasi terakhir menunjukkan adanya tanda-tanda dibukanya Gedung Konsulat Israel di Dubai.
Meski demikian Iran memiliki banyak opsi, salah satu yang terpenting adalah menentukan batas merah Iran-Emirat. Mencari pasar transaksi lainnya adalah salah satu upaya yang harus Tehran lakukan agar mengurangi dampak negatif tersebut.
Baca juga: Tokoh Israel Kecam Pernyataan Kepala Staf IDF Soal Penyerangan ke Iran