Drama Kudeta di Yordania, Kenapa Saudi yang Takut?

yordania

Purna Warta – Sebagian pakar menyebut peristiwa di Yordania ini dengan drama kudeta, yang disandiwarai oleh rezim Zionis dengan tujuan merubah raut kebijakan Amman menghadapi situasi Kawasan dan lebih tunduk pada politik AS-Israel di bagian Asia Barat dan Utara Afrika. Di tengah gonjang-ganjing ini, semua telunjuk mengarah ke Saudi sebagai pelopor krisis melalui penangkapan Penasihat Bin Salman, yaitu Bassem Awadallah.

Pasca berita kudeta di Yordania, Saudi berupaya menelusuri akar permasalahan. Hanya berjarak satu jam pasca warta kudeta, Istana Riyadh langsung mendeklarasikan dukungannya terhadap pemerintahan sah Yordania pimpinan Raja Abdullah II.

Satu hari setelahnya, selain mengeluarkan deklarasi kedua, Raja beserta Putra Mahkota Saudi dalam hubungan terpisah menegaskan bahwa mereka mendukung sistem perpolitikan Yordania. Setelah itu, Menlu Saudi langsung terbang ke Amman.

Salah satu surat kabar Prancis mengungkap kekhawatiran Saudi ini dan menulis dalam analisanya bahwa Riyadh menolak setiap semilir angin isu perselisihannya dengan kerajaan Amman. Namun penangkapan Bassem Awadallah, Penasihat dekat Mohammed bin Salman, telah membuat takut Riyadh. Dan kabar terakhir melaporkan tekanan Riyadh agar Amman segera melepas anak buahnya.

Pada tanggal 4 April, pemerintah Yordania menangkap mantan Putra Mahkota, Pangeran Hamza, 41 tahun, bersama dengan 20 orang lainnya atas tuduhan kudeta. Salah satu dari 20 pihak tersebut, tertera nama Bassem Awadallah, mantan kepala kantor kerajaan Yordania.

Bassem Awadallah juga pernah menduduki kursi Menteri Program kerajaan Yordania. Dia memiliki peran utama dalam manajemen ekonomi Amman. Pada tahun 2008, Bassem Awadallah mengadakan kunjungan ke Dubai dan mengaktifkan perusahaan perdagangan bernama Tamouh. Dia memiliki jaringan dengan petinggi Riyadh dan Amman.

Kerajaan Saudi menepis segala isu dan tudingan media Barat mengenai intervensi Riyadh dalam perselisihan keluarga kerajaan Yordania, antara Raja Abdullah II dan Pangeran Hamza. Riyadh menyatakan bahwa perkelahian seperti ini akan memiliki dampak negatif terhadap sistem kerajaan seantero Kawasan. Oleh karena inilah, Riyadh mendeklarasikan dukungannya terhadap kerajaan Amman.

Analisa media Prancis, yang terjemahannya disebar oleh al-Quds al-Arabi, menjelaskan bahwa krisis di Yordania telah membangkitkan rasa takut Arab Saudi. Ditambah lagi, krisis muncul di tengah kekhawatiran Yordania akan kedekatan relasi Israel dan Saudi.

Satu sisi, Yordania juga memiliki satu kekhawatiran akan kedekatan Riyadh-Tel Aviv, karena kedekatan mereka akan mengancam hegemoni Amman di al-Quds, Bait al-Muqaddas dan Masjid al-Aqsa.

Dengan demikian, tidak aneh jika sutradara kudeta dikaitkan dengan Riyadh dan Tel Aviv karena hasrat Saudi menancapkan hegemoninya di al-Quds dan nafsu Israel untuk mencabut pengaruh Yordania di Bait al-Muqaddas dan Masjid al-Aqsa. Kemarahan Amman ini terungkap pasca antipati mereka terhadap program normalisasi Israel dengan beberapa negara Arab, sehingga indikasi permusuhan dengan kerajaan Amman semakin kuat dari waktu-waktu sebelumnya.

Pekan lalu, untuk pertama kalinya pasca krisis, Raja Abdullah II dan Pangeran Hamza menghadiri bersama acara ulang tahun kerajaan Amman yang ke-100.

Salah satu sumber di Riyadh mengatakan bahwa Arab Saudi tidak akan diuntungkan dari sisi manapun atas krisis di Yordania. Karena hal inilah, Faisal bin Farhan, Menlu Saudi, minggu lalu langsung terbang ke Amman bersama delegasi tingkat atas demi mendeklarasikan dukungannya atas kerajaan Yordania.

Kunjungan dilaksanakan pasca adanya satu indikasi bahwa Raja Yordania mendengarkan pernyataan-pernyataan dari berbagai pihak. Menolak secara hadir di depan mata lebih dibutuhkan dari pada sekedar telpon.

Namun sumber yang lain menyatakan bahwa tim Saudi mengadakan kunjungan ke Amman untuk mendesak kerajaan agar melepas Bassem Awadallah yang memiliki dua kewarganegaraan, Saudi-Yordania.

Sebelumnya, dunia maya menyaksikan foto-foto Bassem Awadallah dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman di acara investasi di Arab Saudi, bahkan foto sholat jamaah keduanya juga tersebar. Padahal diketahui bahwa Putra Mahkota hanya sholat bersama orang-orang dekatnya.

Secara keseluruhan harus disampaikan bahwa Awadallah adalah karakter kontroversial di Yordania. Dia juga pernah dimandatkan sebagai utusan Yordania di Riyadh.

Bruce Riedel, mantan agen CIA, mengatakan, “Menteri Luar Negeri Saudi bukan hanya karena Bassem terbang ke Amman, akan tetapi dia juga ditemani oleh Direktur Badan Intel Saudi dan Kepala kantor Putra Mahkota MBS.”

Sementara Washington Post mengabarkan bahwa kunjungan dilakukan untuk menuntut pelepasan darurat Bassem Awadallah tanpa proses pengadilan dan menghapus tuduhan, lalu membawanya ke Arab Saudi. Namun media Prancis mengklaim bahwa kunjungan bukan demi melepas Awadallah.

Salah satu petinggi Barat di wilayah Teluk Persia menegaskan, “Awadallah memiliki hubungan dengan pribadi Putra Mahkota Saudi. Oleh karena itu, penahanan Awadallah adalah sebuah pukulan terhadap Saudi di Yordania maupuan di wilayah lainnya, karena keraguan intervensi Saudi dalam krisis Yordania tidak bisa hilang.”

Hingga saat ini, kerajaan Yordania belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai Bassem Awadallah. Sementara banyak peristiwa yang memperlihatkan bahwa sumber krisis Yordania adalah Raja Abdullah II, yang beberapa tahun lalu menyingkirkan Pangeran Hamza dari tahta Putra Mahkota dan memandatkan anaknya di kursi tersebut.

Analis Barat meyakinkan bahwa penangkapan Bassem Awadallah telah membelotkan pandangan dari krisis dalam keluarga kerajaan. Sorot lebih ditujukan pada intervensi asing dalam kudeta.

Drama kudeta dalam keluarga ini mengingatkan peristiwa pelengseran Pangeran Mohammed bin Nayef dari kursi Putra Mahkota Saudi oleh Raja Salman pada tahun 2017. Raja Salman menunjuk putranya, Mohammed bin Salman sebagai calon raja selanjutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *