Purna Warta – Emmanuel Macron, Presiden Prancis, beberapa hari lalu mengklaim bahwa bangsa Aljazair tidak ada sebelum penjajahan Paris.
Seraya mengungkap sejarah Paris di Aljir, Presiden Macron mengakui bahwa dirinya ingin menulis kembali sejarah Aljazair dengan bahasa Arab atau Amazigh yakni Berber hingga memudahkan langkah-langkah orang Turki dalam upaya menulis ulang dan membelotkan sejarah. Sebelum penjajahan Prancis, Aljazair belumlah terbentuk, mereka adalah bangsa pindahan dari penjajahan Ottoman ke penjajahan lainnya.
Melihat serangan ini, Abdelmajid Tebboune, Presiden Aljazair, mengingatkan propaganda versus negaranya karena penolakan Aljir akan normalisasi dengan Israel dan antisipasi sukses mereka akan fitnah-fitnah di dunia Arab. Pada hari Minggu lalu, Presiden Aljazir memerintahkan anak buahnya untuk menutup perbatasan udara Aljir atas penerbangan militer Angkatan Udara Paris.
Izin penerbangan militer AU Paris di atas langit Aljir adalah satu poin yang dihadiahkan dalam periode pemerintahan Abdelaziz Bouteflika hingga diakhiri oleh Presiden kini, Tebboune. Dan dapat dipastikan bahwa keputusan Prsiden Tebboune ini akan berpengaruh besar terhadap manuver militer Prancis dan tentunya telah memperbaiki kesalahan kebijakan Presiden Aljazair sebelumnya. Diprediksikan bahwa dalam beberapa pekan ke depan, hal ini akan menurunkan kapasitas kerjasama militer Aljazair-Prancis.
Al-Ahed menuliskan analisis tentang undangan ribut Emmanuel Macron ini dan menjelaskan, “Adalah kesalahan jika penghinaan Macron kepada bangsa Aljir ini dibaca dan dilihat dalam segi Pemilu Paris ataupun mengupasnya dalam upaya meraih suara sayap Kanan.”
“Yang keluar dari lisan Emmanuel Macron bukan hanya sebuah arogansi dalam rasisme dan pemikiran kolonialisme atau kekurangajaran Prancis, bahkan lebih. Target dari lisan kejam tersebut lebih dari hal ini,” tambah al-Ahed.
Jurnalis al-Ahed mengingatkan pesan eks Presiden Aljazair yang menyatakan, “Ketika Prancis tidak suka dengan kami, saya tahu bahwa kami berada dalam jalan yang benar.” Kemudian menuliskan catatan, “Kemarahan Prancis kepada Aljazair telah menjelaskan satu perihal bahwa Aljir berada dalam jalan yang benar. Sepertinya jalan ini tidaklah memihak Paris dan antek-antek yang tidak menginginkan kebaikan atas Aljir.”
Berdasarkan hal di atas, maka bisa dikatakan bahwa pernyataan Macron, yang dicetak di surat kabar Le Monde, telah meragukan eksistensi bangsa Aljazair sebelum penjajahan dan kolonialisme Prancis.
Presiden Prancis mengklaim bahwa sistem politik Aljazair menulis sejarah kolonialisme Paris dengan penuh benci. Ini bukanlah satu pernyataan yang bisa disorot dalam kacamata Pemilu depan Prancis. Pernyataan ini belumlah ditolak oleh pemerintah Paris dan masuk dalam kategori penghinaan terhadap bangsa besar Aljir. Ini bukan satu pernyataan yang bisa ditancapkan dalam persaingan Pemilu. Disebabkan, pernyataan ini dilontarkan pasca keputusan Paris mengurangi izin visa ke tiga negara: Aljazair, Maroko dan Tunisia.
“Apakah logis, Aljazair menulis sejarah penjajahan Prancis dengan cinta. Sedangkan kejahatan kolonialisme ini sangatlah banyak, khususnya kejahatan genosida rakyat. Sejak penjajahan tahun 1830 hingga terusirnya mereka pada tahun 1962, telah terbunuh sipil sebanyak 5 juta 630 ribu. Di antara mereka, ada 1.500.000 sipil tewas dalam revolusi kemerdekaan Aljazair dari tahun 1945-1962,” tegas al-Ahed mengingatkan.
Balasan yang dilakukan Aljir dalam hal ini masuk dalam siasat menangkis program Barat dan Israel melawan Aljazair, ini tidak berkaitan dengan Pemilu ataupun adab rasis Paris. Penargetan Aljazair lebih dikarenakan keputusan mereka dalam menolak normalisasi, perlawanan mereka terhadap hegemoni Israel di benua Afrika, mendukung keadilan di Palestina, berdiri membela Muqawamah dan resistensi dan menolak perang proxy versus Suriah dan Yaman.
Menurut analisis al-Ahed, taktik Barat yang diemban eksekusinya oleh Prancis termasuk dalam proyek atas negara-negara pendukung perlawanan dan poros yang menolak hegemoni Israel di Kawasan seperti Irak, Suriah, Yaman, Libya dan Sudan. Tujuannya adalah melemahkan militer negara, menguras kekayaan, separasi dan menciptakan perang saudara.
Analis al-Ahed mengutip pernyataan beberapa petinggi Zionis yang menyatakan bahwa jika terjadi perang antara Aljazair dan Maroko tentang konflik padang pasir barat, maka rezim Zionis akan berpihak ke Maroko.
Petinggi Aljazair menyadari strategi ini, menurut analisis al-Ahed. Hal ini bisa dilihat dalam reaksinya yang tajam dan pedas dengan memulangkan Dutanya dari Paris dan menutup perbatasan udara. Namun menurut para pengamat, kebijakan ini belumlah cukup untuk menghancurkan siasat Zionis yang dieksekusi Paris ini.
Para petinggi Aljazair, menurut prediksi para analis, harus memutuskan hal-hal lainnya, seperti menuntut permintaan maaf resmi akan penjajahan yang dilakukan Paris di Aljir, membayar ganti rugi korban penindasan selama kolonialisme, menentukan titik-titik ledakan nuklir di Aljir, menyerahkan jasad dan peta kuburan-kuburan massal korban di Aljazair di periode penjajahan.
Terakhir yang disarankan oleh para analis adalah Aljazair harus mengambil sumpah kepada Paris untuk tidak intervensi urusan dalam negeri Aljir, menghindari politik adu domba dan stop menghina bangsa serta kedaulatan Aljazair.