HomeAnalisaDi Antara Debu dan Darah: Sang Arsitek Perlawanan Gugur?

Di Antara Debu dan Darah: Sang Arsitek Perlawanan Gugur?

Purna Warta – Pada pagi yang pekat di Kamis, 19 Oktober 2024, Gaza kembali terjaga dalam deru kehancuran. Di Tel Sultan, sebuah sudut sempit dan terjepit dari kota Rafah, debu dari bangunan yang runtuh melayang lamban di udara, membawa serta aroma kematian yang sudah akrab di kota ini. Di antara reruntuhan itu, tubuh seorang pria tergeletak. Tubuh yang tergurat dua luka dalam di kepala dan satu luka di kaki, menambah satu lagi cerita tragis di tengah konflik yang tak berujung. Israel mengklaim, pria itu adalah Yahya Sinwar, pemimpin Hamas yang selama bertahun-tahun menjadi momok bagi keamanan mereka.

Kabar itu cepat menyebar, media Israel bergegas menyajikan gambar dan rekaman yang menguatkan narasi resmi. Mereka mengklaim, tubuh yang tergeletak di antara puing-puing itu adalah Sinwar, sosok yang selama ini dianggap sebagai dalang dari setiap gerakan perlawanan Hamas. Konfirmasi datang tak lama kemudian—Israel menyebut identitasnya telah dipastikan melalui tes DNA beberapa jam setelah jasad ditemukan.

Namun, di balik klaim yang terdengar tegas ini, ada nuansa kejanggalan yang sulit diabaikan. Media Israel, dengan setengah mengakui, menyebut kematian Sinwar sebagai hasil kebetulan, bukan dari serangan presisi yang biasa mereka banggakan. Narasi yang sederhana ini justru menghadirkan ironi yang tak terhindarkan—dalam catatan panjang operasi militer Israel, yang sering dibingkai sebagai hasil kalkulasi strategis yang dingin dan terukur, kematian seorang tokoh besar terjadi bukan karena rencana besar, melainkan kebetulan di medan perang.

Jika kematian Sinwar benar seperti yang dilaporkan, itu menambah lapisan kontradiksi pada narasi Israel. Sebelumnya, pejabat-pejabat Israel bersikeras bahwa Sinwar bersembunyi di jaringan terowongan bawah tanah yang rumit, menjaga para sandera Israel, dan mengenakan bahan peledak yang siap meledak kapan saja. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sosok yang berbeda. Sinwar, pada hari-hari terakhirnya, tidak ditemukan bersembunyi seperti yang digambarkan, tetapi berada di garis depan pertempuran, berdiri sejajar dengan pejuang Hamas lainnya, menghadap musuh tanpa ragu.

Di pihak Hamas, kebisuan masih menyelimuti. Tak ada pernyataan resmi, tak ada penegasan atau penyangkalan terkait nasib Sinwar. Spekulasi bergulir, mengisi kekosongan informasi. Di Tel Aviv, Benjamin Netanyahu tampil dalam sebuah video, menyatakan bahwa rezimnya berhasil “menghabisi” Yahya Sinwar. Dalam pidatonya, Netanyahu menegaskan telah berbicara langsung dengan Presiden AS, Joe Biden, mengenai kematian Sinwar, menyebutnya sebagai “syahid.”

Namun bagi Sinwar, bayangan kematian sudah lama menjadi bagian dari dirinya. Setelah menggantikan Ismail Haniyeh yang syahid oleh serangan rudal Israel pada akhir Juli lalu di Tehran, Sinwar dengan cepat menempati posisinya sebagai arsitek perlawanan Hamas, mengatur strategi yang berpuncak pada Operasi Badai al-Aqsa. Kini, jika laporan kematiannya benar, ia tidak mati sebagai seorang pemimpin yang bersembunyi di balik benteng atau terowongan, melainkan sebagai seorang pejuang yang tewas di medan laga, di bawah langit Gaza yang terus memerah oleh darah dan debu pertempuran.

Jika Israel benar dalam klaim mereka, maka Yahya Sinwar telah menemui ajalnya dengan seragam tempurnya masih melekat, senapan di tangannya, dan kepalan yang masih kuat menggenggam keyakinan. Di tengah keganasan pertempuran di Rafah, di mana deru peluru dan gemuruh kehancuran bercampur dengan debu dan api, ia berjalan ke arah yang ia pilih. Tidak ada persembunyian, tidak ada penghindaran—hanya keberanian yang menjadikannya bagian dari cerita panjang Gaza yang penuh luka dan darah. [MT]

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here