Debu 11 September Masih Berjatuhan di Atap Rumah Warga AS

Debu 11 September Masih Berjatuhan di Atap Rumah Warga AS

Purna Warta – Meskipun peristiwa 11 September telah berlalu 21 tahun, namun sosial masyarakat Amerika Serikat masih berupaya untuk menyesuaikan diri dengan efek serta dampak insiden dan politik AS pasca 9/11.

Runtuhnya gedung kembar pusat perdagangan dunia pada 11 September 2001 masih menjadi pembahasan kontroversial hingga detik ini dalam sejarah AS. Banyak sisi yang belum terungkap. Berdasarkan laporan resmi, ada 15 dari 19 pelaku yang berwargakenegaraan Saudi. Akan tetapi Istana Riyadh dalam 21 tahun ini langgeng menjadi sekutu besar Washington di bagian Barat Asia.

Baca Juga : Ketika Diamnya Sayid Hasan Nasrullah Bikin Penasaran AS-Israel

Osama bin Laden dan jaringan al-Qaeda diputuskan sebagai pelaku kejahatan 9/11, namun hingga saat ini banyak pakar meragukan kapasitas kemampuan al-Qaeda dalam mengoperasikan aksi teroris seperti ini tanpa bantuan dari dalam. Keraguan ini begitu meluas sampai pada bidang eksekusi penghancuran, yang menurut keyakinan para peneliti sangatlah mencurigakan karena metode runtuhnya gedung kembar tersebut.

Lewati hal ini. Sampai detik ini belum ada yang melupakan bahwa al-Qaeda sendiri merupakan anak haram dukungan silang AS dan Saudi untuk mengusir Uni Soviet dari Afganistan. Jadi al-Qaeda merupakan sekutu Washington di satu waktu, namun hari itu di mana Pentagon butuh pada bentuk musuh bebuyutan palsu demi mengirim pasukan hegemoninya, berubahlah al-Qaeda menjadi lawan semu.

Dari sisi manapun, insiden 11 September merupakan tema hangat dalam sejarah AS. perkembangan situasi internasional juga tak luput dari pengaruhnya. Perang Afganistan dipicu beralaskan perang anti-teroris yang notabene al-Qaeda dan Taliban sebagai wadah mereka. Tetapi 20 tahun kemudian saat perang mereda, Taliban menguasai tampuk kekuasaan dan para pakar menyebut fakta ini sebagai kekalahan Gedung Putih dalam perang jangka panjang, bahkan yang terpanjang dalam sejarah manusia.

Dari satu sisi, 2 tahun pasca peristiwa mematikan ini, Irak menjadi titik sasaran baru AS bersama sahabat karibnya, Inggris. Pendudukan kedaulatan ini merupakan kontinuitas politik yang diagendakan Washington pasca 11 September. Krisis keuangan pada tahun 2008 merupakan buah dari anggaran besar dua perang ini. Itu merupakan satu krisis yang membakar hak rumah warga AS dan mengguncang ekonomi dunia.

Baca Juga : Aljazair: Selama Spanyol Tidak Meminta Maaf, Tidak Ada Gas

Dan sepertinya cerita peristiwa 11 September belumlah habis. Hari Jumat kemarin, Joe Biden, Presiden AS, dalam satu pesannya menorehkan kata situasi darurat nasional sehingga hawa peristiwa mencurigakan 11 September kembali diperpanjang satu tahun. Dalam catatannya ini, Presiden Joe Biden mengklaim kontinuitas ancaman teroris yang memaksa deklarasi darurat nasional dan apapun yang diputuskan pada 14 September 2001 serta hal-hal yang berkaitan dengannya masih terus dipertahankan.

Situasi ini mengindikasikan bahwa 11 September dan titik penghancuran yang terjadi di Afganistan dan Barat Asia masih terus menghantui AS.

Foad Izadi, Pakar masalah AS, terkait insiden 9/11 meyakini, “Di 11 September secara fisik ada dua gedung yang hancur dan sekitar 2 sampai 3 ribu orang meninggal. Ini adalah fisik. Tetapi selanjutnya, politik salah Amerika yang menyebabkan perang dengan anggaran besar yang meletakkan beban berat ke punggung negara.”

“11 September adalah salah satu peristiwa yang sangat berpengaruh dalam sejarah AS yang mempengaruhi ranah politik dalam dan luar Amerika,” lanjutnya.

Izadi juga menambahkan, “Dalam kancah politik dalam negeri, 11 September dijadikan alat untuk mengontrol warga Amerika. Sebelum peristiwa 11 September, AS mengklaim kebebasan warga dan mereka memiliki hak-hak. Namun setelah insiden itu, situasi berubah. Dengan alasan 11 September, banyak hak warga yang dihapus. Dan penghapusan hak ini didasarkan pada aturan yang sangat rasis.”

Baca Juga : Ratu Elizabeth dan Warisan Tercela Kolonialisme Inggris

Aturan rasis yang ditandatangani Dewan pasca 11 September telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada pemerintah hanya atas nama terorisme. Namun sebenarnya, hal itu telah menghapus kebebasan warga Amerika. Sebagian meyakini bahwa aturan ini sangat terburu-buru disepakati sampai tidak ada satupun senator yang membacanya hingga selesai.

“Aturan rasis telah meningkatkan kekuasaan kepada pemerintah Gedung Putih dan mengurangi kekuasaan rakyat. Dalam bidang politik luar negeri juga telah mempermudah kemerosotan AS dalam perang Afganistan dan Irak, meskipun Washington telah memulai perjalanan penurunannya sebelum 11 September,” jelas Izadi.

“Anggaran yang seharusnya dikucurkan untuk warga, dihabiskan dalam perang. Trump menyebut invasi ke Timur Tengah sebagai kesalahan bersejarah AS dan mengungkapkan bahwa perang ini telah menganggarkan 7 triliun Dolar dan kami tidak sampai pada target. 11 September juga berdampak pada sisi dalam negeri dari segi ini. Di awal perang, banyak pihak yang menganggap bahwa dengan opsi ini, AS akan menanjak naik,” tambahnya.

Sementara, menurut pengamatan pakar urusan AS ini, Donald Trump, eks Presiden AS, selalu mengkritik anggaran yang dikeluarkan di Barat Asia. Sebagai contoh, setelah kunjungannya ke basis militer AS di Irak, Donald Trump menyatakan, “Sangat menyedihkan, Anda menggelontorkan 7 triliun Dolar di Timur Tengah namun Anda terpaksa untuk mengunjungi tempat ini dengan begitu rahasia dan dengan menggunakan pesawat serta perlengkapan jarak jauh lalu Anda melakukan apapun untuk sampai selamat ke tujuan.”

Baca Juga : PR Mary Elizabeth Truss di Kursi Perdana Menteri Inggris

“Perang 21 tahun lalu di Timur Tengah sama seperti perang kini Rusia versus Ukraina. Sekarang kami menyaksikan negara-negara Barat dan AS mengirim Ukraina ke medan depan dan beranggapan perang akan menguntungkan AS. Mungkin saja 11 September menguntungkan AS dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang, itu telah memukul ekonomi serta kedudukan AS di mata dunia,” tegas Izadi.

Pakar urusan AS ini menyalahkan petinggi Gedung Putih sebagai pelaku kesalahan-kesalahan sekarang ini dan menjelaskan, “Petinggi AS bukan hanya tidak meraih target dari peristiwa 11 September, tetapi mereka juga membuat kemorosotan negara lebih cepat. Dalam bidang keuangan dan korban jiwa, mereka telah mengemban kerugian besar. Kuantitas korban jiwa AS dalam 2 perang ini (Afganistan dan Irak), lebih besar dari jumlah korban 11 September.”

Mengenai situasi darurat nasional AS, Izadi meyakini bahwa AS jika tidak memperpanjang situasi darurat nasional, akan bermaknakan keraguan dan pertanyaan atas semua upayanya dalam 21 tahun ini.

“Dari sini mereka tidak memiliki jalan kecuali mendeklarasikan situasi darurat ini setiap tahun,” tekannya.

“Petinggi AS tidak memiliki obat untuk menaikkan kemerosotan ini dan ini merupakan kabar baik bagi rakyat yang terluka karena Amerika. Washington sekarang sedang merosot menjadi negara biasa,” tambahnya.

Baca Juga : Eropa Alami Kekeringan Terburuk Dalam 500 Tahun

Bukan hanya satu analis ataupun pakar yang memperingatkan kemerosotan ini. Scott Barrier, Direktur Agen Intelijen Pertahanan AS, sebelumnya kepada Senat menegaskan, “Cina dan Rusia tahu kekuatan menurun Amerika.”

“Kesimpulan Cina dan Rusia adalah AS merupakan negara yang sedang terjun…,” tekannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *