Beijing, Purna Warta – China semakin menujukkan eksistensi dan pengaruhnya di Barat Asia. Dengan menutup mata atas mungkin tidaknya pembelian saham Aramco, Arab Saudi mengajukan penjualan 5% saham kilang minyak raksasanya ke pasar. Kala itu yang sangat mungkin membeli hanyalah perusahaan-perusahaan Amerika, namun seiring berjalannya waktu, ada kabar bisnisman China yang terjun masuk.
Dengan penjualan hampir 1 juta 800 ribu barel kepada China, Arab Saudi telah memainkan peranan besar di pasar Beijing. Sedangkan ekspor perhari Riyadh ke Washington hanya sebesar 100 ribu barel.
Relasi baik China-Saudi ini juga bisa dirasakan dalam hubungannya dengan Emirat. Sekarang 400 ribu pekerja China bermukim di Abu Dhabi. Emirat sedang membangn relasi baru dengan China dan hal tersebut terlihat dalam reformasi Abu Dhabi menjadi pabrik vaksin Covid di Timur Tengah.
Baca Juga : Garis Merah Yang Dilangkahi Israel Pasca Perang 33 Hari
Di Pakistan, jejak China juga bisa dilihat dari pegunungan Karakorum hingga pelabuhan Gwadar. Begitu pula di Iran, baru saja ditandatangani perjanjian 25 tahun. Di Irak, China menjadi pedagang paling laris. Bahkan Israel juga tidak mau ketinggalan dari evolusi ini.
Dan persoalannya adalah dengan penanaman saham raksasa ini, apakah China akan tetap dingin dalam masalah keamanan regional?
Dari Cuek Hingga Aktif Menyelesaikan Persaingan Dunia
Sejak China memulai revolusi besarnya dari dekade 80-an, tujuan utama politik luar negeri mereka adalah menolak perselisihan dan meningkatkan hubungan persekutuan serta ekonomi. Bahkan pada insiden pengeboman di Siberia tahun 1998 di mana Kedubes China disasar oleh 3 rudal Cruz Amerika, Beijing hanya mereaksinya dengan protes diplomatis dan beberapa unjuk rasa jalanan.
Yang menjadi pengecualian dari semua hal ini, hanyalah masalah Taiwan. Satu gerakan kecil menyindir kemerdekaan Taipei, Beijing akan langsung koar-koar dan membalasnya dengan tajam.
Baca Juga : Haaretz: Warga dan Petinggi Israel Tidak Mau Perang dengan Hizbullah
Namun demikian, politik China berubah seiring dengan peningkatan persaingannya dengan Amerika di kancah kekayaan alam dunia. Permainan besar ini telah menghidupkan gesekan-gesekan secara bertahap antara China dan raksasa dunia lainnya. Contoh paling besarnya adalah pertikaian China dengan negara-negara Laut China Selatan dan perselisihan mereka dengan India di perbatasan.
Belt and Road adalah satu metode China menjawab jalan buntu geografi. Dalam beberapa tahun terakhir, menciptakan koridor multi lapis menjadi tujuan utama politik asing Beijing, akan tetapi Washington tidak tinggal diam.
Demi menghadapi China, Amerika Serikat memusatkan diri pada kekuatan di Samudra Pasifik dan menarik mundur pasukan bersenjata dari negara-negara Barat Asia. Akan tetapi sangat tidak mungkin, masalah Timteng selesai hanya dengan taktik ini.
Asia Barat adalah titik utama dalam penyatuan geografi jalur darat China. Meskipun mereka mampu mencapai Barat Eropa lewat jalan laut Baltik, akan tetapi Eropa Timur lebih suka lewat jalan lain untuk membangun relasinya dengan kekuatan Timur.
Baca Juga : Bersamaan dengan Unjuk Rasa Warga Beirut, Menlu Saudi Intervensi Lebanon
Satu titik bisa ditambahkan dalam hal ini dan itu adalah Asia Barat akan menjadi titik pertemuan beberapa lintas perdagangan di masa depan, salah satunya pembangunan jalan ke Utara Afrika yang diupayakan Prancis.
Lebih utama lagi dari semua di atas adalah Timur Tengah merupakan sumber energi untuk China, karena negara-negara di sana tetap menjadi penjamin minyak 40% penyuling Negeri Tirai Bambu.
Cara China Mengakhiri Konflik Suriah
Semua hal di atas cukup untuk kita meyakini bahwa eksistensi China di Timur Tengah bukan hanya terkait dengan urusan ekonomi dan investasi, tetapi Beijing juga menyisir peran strategis di Kawasan.
Kemungkinan besar, di tahap pertama China akan terus berupaya fokus dalam perjanjian perdagangannya. Namun hal ini bukan berartikan bahwa mereka akan tetap cuek dengan sisi-sisi lain Asia Barat.
Baca Juga : Terbukti, Saudi Curi Benda Bersejarah Yaman dan Menjualnya
Kehadiran Menlu China di acara pelantikan Bashar Assad bisa dijadikan contoh dari perubahan ini. Satu kunjungan yang takkan terbatas pada jamuan upacara, tetapi akan pula mencakup beberapa pasal metode untuk membangun perdamaian.
Salah satu pasal yang dipaparkan dalam strategi ini adalah menjaga persatuan tanah air Suriah, bantuan rekonstruksi dan mengusir semua elemen teroris.
Jangan dilupakan bahwa China adalah salah satu raksasa ekonomi dunia yang bisa ikut campur dalam masalah ini. Sedangkan lawannya, Amerika berambisi menundukkan Suriah dengan berbagai cara dan sanksi hanya untuk mendiktekan syarat-syarat perdamaian Barat.
Resolusi perdagangan China sudah lama berjalan di Suriah, namun reformasi dan perubahannya menjadi satu langkah resmi adalah hal baru dalam politik luar negeri Negeri Tirai Bambu.
Baca Juga : Pemilu Hamas, Upaya Menjaga Keseimbangan Poros Iran dan Lawan
Hal yang sama juga bisa dilihat dalam ranah investasi Tiongkok di Lebanon, satu negara yang menghadapi krisis ekonomi berbulan-bulan lamanya. Meskipun syarat-syarat China ditolak, namun hingga saat ini tawaran mereka masih menjadi opsi krisis ekonomi Beirut.
Irak juga bisa dijadikan permisalan. Perusahaan-perusahaan China mencari celah membangun puluhan ribu unit rumah dan menjadi salah satu eksportir terbesar Baghdad. Tapi Amerika selalu hadir di setiap jejak langkah China.
Diam Strategik Versus Koar-koar
Kapan China akan turun serius masuk ke dalam perhitungan kawasan Teluk Persia, itu hanya masalah waktu.
Senyap-senyap China membangun kesepakatan militer dan keamanan di regional Timteng. Memang saat ini, satu-satunya pangkalan militer China ada di Djibouti, namun kapal-kapal penjelajah laut Beijing ada di banyak titik, termasuk di Oman dan Pakistan.
Selain itu, manuver-manuver laut juga dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara Timteng. Paling tidak, sangat terbuka kemungkinan peningkatan eksistensi angkatan bersenjata mereka di Barat Asia. Namun jelas bahwa hal ini bergantung pada adanya ancaman yang mungkin membahayakan kepentingan mereka di Kawasan, sebagaimana di Suriah.
Baca Juga : Hizbullah Lebanon Tanggapi Insiden dalam Pengiringan Jenazah Anggotanya
Ekonimi masih akan menjadi salah satu senjata China untuk menancapkan hegemoninya dalam keamanan regional. Tanpa diragukan lagi, negara-negara Timteng mencari investasi tersebut. Mereka mengharap cuan China dan Tiongkok mencari ketenangan di kedaulatan-kedaulatan mereka demi lintasan belt and road.
Jadi sangatlah alami jika resolusi Negeri Tirai Bambu akan berjalan dengan metode ini. Dan perlu diketahui bahwa saham China di Timteng sudah mencapai 300 miliar dolar lebih.
Dengan culas, Negeri Tirai Bambu menunjuk Paman Sam sebagai penanggungjawab hiruk-pikuk Timteng. Di tengah waktu ini, Amerika berupaya menyerahkan urusan laut ke sekutu-sekutunya dan menerima tantangan di daratan Timteng sebagai kunci lintasan Beijing.
Contoh aplikasi strategi ini bisa diperhatikan di Afganistan, yang telah menjadi medan tempur antar saudara. Di bawah situasi ini, maka dua kaki Beijing (ekonomi dan militer) harus bergerak melawan arah, yaitu menciptakan tali kuat di sana, menjaga ketenangan dan menghadapi aktifitas teroris yang paling banyak menerima bantuan dari Barat.
Baca Juga : 14 Negara Afrika Sepakat Cabut Status Israel di Uni Afrika
Untuk mencapai tujuan ini, China harus berjalan di jalan yang curam dan harus bersabar. Selain itu, perbedaan budaya juga bisa menjadi salah satu faktor penghalang. Hegemoni Barat di Timur Tengah juga sangat kuat. Akan tetapi China memiliki senjata mumpuni untuk menancapkan pengaruhnya, yang mungkin terselip dalam kebutuhan bersama kedua belah pihak.
Yang jelas, kerjasama antar negara harus terjalin dua pihak. Amerika juga butuh minyak Teluk Persia meskipun sedikit. Di tengah situasi ini, tangan di atas adalah tangannya pihak yang bisa menggunakan kekuatan perdagangannya lebih dari siapapun. Dalam waktu dekat, mungkin kita akan merasakan jalan keluar dengan tekanan China atau di bawah program kerjasama.