Purna Warta – Shalat Jumat, 04/10/24 di Tehran kemarin, memiliki lapisan makna yang begitu dalam, sulit untuk diungkapkan. Tak ada kamera yang mampu menangkap seluruh esensinya, dan pena pun tak cukup kuat untuk melukiskannya. Begitu banyak momen unik yang sukar dijelaskan. Banyak orang khawatir akan kesehatan Imam Ali Khamenei. Hingga sejak malam sebelumnya, tangan-tangan mereka terangkat dalam doa dan ibadah, berbisik tentang pengorbanan demi kesehatan pemimpinnya. Mereka memberikan sedekah dan bermalam di tempat-tempat suci di seluruh negeri, memohon keselamatan.
Sebagian jamaah memulai perjalanan sejak malam hari, dan tiba di Tehran dari tempat-tempat jauh, melewati pegunungan terjal dan sempit yang sulit dilalui.
Pernahkah Anda mendengar tentang nama desa Kuhdasht dan Kohnani? Coba cari di peta. Dari sana mereka datang, dari kota-kota sekitar Tehran, dan bahkan dari tempat yang lebih jauh lagi. Di Qom, misalnya, tidak ada bus antarkota yang tersedia untuk disewa; bahkan bus dalam kota pun langka, dan kami terus mencarinya hingga larut malam.
Banyak jamaah datang ke Shalat Jumat dengan berjalan kaki, menempuh beberapa ratus kilometer, melewati terowongan Niayesh dan jalan-jalan di sekitarnya. Namun semua ini tak sebanding dengan pengorbanan nyawa dan keinginan mereka untuk mati syahid di medan pertempuran. Musuh terus mengancam, meskipun mereka telah menerima dua ratus rudal dan kehilangan sistem pertahanannya.
Abaikan sejenak hal-hal unik itu. Kita saksikan bagaimana kehadiran lintas generasi—generasi 80-an, 90-an, hingga generasi muda revolusi—begitu mencolok. Berkibarnya bendera Hizbullah Lebanon dan front perlawanan, serta syal-syal yang melilit leher mereka, mengirimkan pesan tegas kepada Israel dan sekutunya: jihad dan perlawanan akan terus berlanjut, dan kami tetap ada.
Seorang kawan berkata dengan penuh kesan: Hazrat Agha, dengan perawakan tegap dan karismanya, membangkitkan semangat revolusi, memancarkan kekuatan yang memberi ketenangan bagi semua. Kekuatan itu mampu melindungi dari ancaman musuh, sementara jiwanya menyuntikkan kehidupan baru ke masyarakat. Meskipun hatinya terluka oleh kekejaman musuh, ia tetap tegar. Bagi Agha, perlawanan, keteguhan sikap, dan pembelaan kebenaran adalah fondasi perjuangan melawan penindasan.
Dalam khutbahnya, Hazrat Agha menggambarkan garis perjuangan negara-negara Islam, dari Afghanistan hingga Lebanon dan Palestina, dalam menghadapi agresi musuh. Pandangannya itu mencerminkan perspektif menyeluruh terhadap front perlawanan. Khutbah kedua yang disampaikan dalam bahasa Arab jelas ditujukan kepada umat Islam di negara-negara kawasan. Dua khutbah Hazrat Agha mengisyaratkan bahwa masa depan Islam sudah dekat, masa di mana Israel yang zalim tak lagi ada di peta dunia.
Keteguhan Hazrat Agha memberi semangat kepada semua yang hadir, bahkan kepada mereka yang tidak.
Kali ini situasi berbeda dari biasanya, beliau sendiri yang memimpin Shalat Ashar. Setelahnya, beliau berdiri dan berbincang santai dengan orang-orang di sekitarnya, menunjukkan bahwa musuh tak mampu berbuat apa-apa.
Kehadiran Hazrat Agha sendiri adalah tantangan terbuka terhadap seluruh ancaman musuh. [MT]