Purna Warta – Perang Gaza telah dimulai sejak hari Senin minggu lalu. Bersamaan dengan itu, bentrok bahkan konflik dalam kota Palestina Pendudukan (wilayah dalam pendudukan 1948) antara Muslim Arab dan warga Zionis semakin memanas. Ini adalah satu insiden yang lebih menakutkan di mata Zionis dari serbuan rudal Hamas dan Jihad Islami. Hal ini terbuktikan dengan kebijakan-kebijakan petinggi Israel.
Pekan lalu, kota seperti al-Lod, Bat Yam, Jaffa, Acre (Akko), Hebron (al-Khaleel), al-Quds Timur (Yerusalem Timur), Haifa, Tel Aviv, al-Reineh, Shefa-‘Amr, Tayibe, Ar’ara dan Tamra telah menjadi saksi bisu konflik antar warga. Kedua pihak saling serang dan beberapa tempat peribadatan, Masjid dan Sinagog dibakar.
Di kota Bat Yam, seorang Muslim dipukul habis-habisan oleh warga Zionis hingga mengejutkan media-media berbahasa Ibrani. Satu hari setelahnya, warga Muslim Palestina menangkap seorang warga Yahudi Zionis dan tanpa mengulur waktu, langsung membalas.
Di kota al-Lod, sedikit situasi lebih panas. Al-Lod menjadi kota pertama di mana militer terjun untuk melerai tawuran antara warga ini.
Ayelet Shaked, Wakil sayap Kanan di Parlemen, dalam laman twiternya menyatakan bahwa pihak kepolisian Zionis tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyerah melihat pertarungan dalam kota.
Baca Juga : Berikut Isi Surat Kedua Pemimpin Hamas kepada Ayatullah Ali Khamenei
Tawuran warga Arab dan Zionis di Palestina Pendudukan tahun 1948 telah meneriakkan satu narasi. Satu laporan yang ditujukan kepada petinggi dan pemimpin-pemimpin Zionis. Laporan tersebut sebagai berikut, “Proyek pemerintah pembangunan bangsa dalam Israel telah gagal.”
Proyek identitas yang dibangun oleh para petinggi dalam beberapa dekade ini, sekarang telah menampakkan kegagalannya lebih dari belahan waktu manapun.
Kekhawatiran ini lebih menyakitkan dan berbahaya di mata para petinggi rezim Zionis. Jika rudal, masih bisa ditangkis oleh sistem Iron Dome. Namun perburuan identitas bukan satu satu hal yang bisa dihadapi oleh sistem pertahanan sehingga menjadi penghalang kerugian-kerugiannya.
Rezim, yang pernah mengimpikan daerah di bawah bendera Zionis sejak 73 tahun lalu, yang mencurahkan segala potensinya untuk realisasi impian, yang seharusnya memetik buahnya sekarang, gemetar takut melihat fakta ini. Petinggi Israel sadar bahwa bangsa Arab Palestina Pendudukan tahun 1948 masih memegang kunci rumahnya hingga saat ini.
Benjamin Netanyahu, PM Israel dan Reuven Rivlin, Presiden Israel, telah mengungkapkan kekhawatirannya di sela pernyataan-pernyataannya tentang Palestina 1948.
The Guardian, pada Jumat (14/5), mengutip pernyataan PM Benjamin Netanyahu dan menuliskan, “Bagi kami tidak ada ancaman lebih besar dari konflik ini. Tidak ada jalan keluar selain memaksakan situasi kembali ke hukum dan sistem. Yang terjadi di kota-kota kami, memiliki banyak persamaan dengan perang dalam negeri yang akan mengancam eksistensi kami dalam waktu cepat.”
Hari Kamis lalu, Presiden Reuven Rivlin juga menegaskan bahwa bahaya perang dalam kota lebih mengancam dari bahaya-bahaya yang lain.
The Guardian melanjutkan, “Di mata Petinggi Tel Aviv konflik antar warga kota, antara warga Arab dan Yahudi lebih berbahaya dari perang Gaza. Tawuran, saling pukul, tusuk dan bakar telah menyebar dari Beersheba di selatan Palestina hingga Haifa dan Tiberiah di bagian utara.”
Liputan warta menyebutkan jumlah korban yang telah mencapai 500 orang hingga saat ini. Benny Gantz, Menhan Israel, juga menyatakan bahwa rezim Zionis berada dalam situasi darurat.
Yeir Lapid, Pemimpin oposisi pemerintah Netanyahu, juga menyatakan bahwa kontrol kota telah lepas dan Netanyahu menyeret situasi ke instabilitas.
Sayap Kanan dan Tahta
Bisa dikatakan bahwa serangan ke Masjid al-Aqsa, hukum pengusiran penduduk wilayah Sheikh Jarrah di Bet al-Muqaddas dan perang Gaza bukanlah faktor utama konflik atau tawuran antar warga mukim Palestina Pendudukan 1948. Insiden-insiden seperti ini telah terjadi setiap tahunnya, namun sejak Intifada kedua tahun 2000-2005 tidak terendus kemarahan yang begitu membara seperti ini.
Salah satu faktor dari kemarahan ini bisa dilihat dari panjangnya masa penguasaan sayap Kanan.
Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu telah memegang tampuk kekuasaan Zionis semenjak tahun 2009. Dalam sejarah 73 tahun Israel, tidak ada pemimpin seperti Netanyahu yang mampu bertahan hingga 12 tahun di atas kursi tahta.
Lepas dari faktor-faktor pendukung Netanyahu, salah satu efek dan dampak dari penguasaan jangka panjang sayap Kanan adalah hegemoni Yahudi Ekstrim atas urusan-urusan sosial.
Peningkatan jumlah Yahudi ekstrim telah menyeret Israel ke perselisihan dan perpecahan dalam tubuh rezim. Yahudi ekstrim, yang populitasnya telah mencapai 1 juta lebih di tengah populasi 9 juta penduduk Zionis, berupaya menguasai semua lini dan mendiktekan nafsu-nafsunya kepada warga dan kaum sekular. Mulai dari libur nasional hari Sabtu hingga aturan-aturan kepercayaan privasi tentang perkawinan dan talak. Dari membentuk aliansi dengan partai-partai agar lebih kuat di kancah politik, sampai-sampai penduduk merasa terpisah jauh dari bau sekularisme abad 20 dan 21. Hal ini menajamkan perpecahan antara penduduk Palestina Pendudukan dan menambah sakit sayap Kiri dan kaum sekular atas pemerintahan Yahudi ekstrim.
Parlemen Knesset meloloskan draf kontroversi ‘kedaulatan-bangsa Yahudi’ pada tahun 2018. Hukum tersebut adalah hasil upaya Yahudi sayap Kanan sejak tahun 2011 demi mengakarkan Yahudi-isme hukum dalam Zionis. Dan rasisme jalanan sekarang bisa dijadikan bukti buah dari aturan tersebut.
Kekejian Yahudi ekstrim terhadap warga Palestina telah membakar emosi penduduk sekular Palestina Pendudukan. Demonstrasi sejumlah Yahudi di Haifa, Tel Aviv dan Bet al-Muqaddas pro warga Palestina, baik di wilayah Sheikh Jarrah dan lainnya juga bukti-bukti lain yang mementaskan perpecahan dalam tubuh Yahudi Zionis.
Di kota Beersheba, para mahasiswa juga turun ke jalan mendukung penduduk Palestina. Mereka ditundukkan oleh pihak keamanan dengan cara keras.
Dengan memeluk kelompok Yahudi ekstrim, partai Likud sukses menguasai tahta pemerintahan sejak 12 tahun lalu. Mereka tetap akan mempertahankan pelukan erat tersebut demi kekuasaan, meskipun harus jatuh ke jurang sosial.
Baca Juga : Pesawat Tempur Israel Hancurkan Saluran Listrik Utama Gaza
Sebagai contoh, gerakan Zionis ekstrim Kahane tahun 1984 pimpinan Meir Kahane tidak mendapatkan izin hadir di Parlemen Knesset karena ideologi keras dan kepercayaannya yang menuntut pengusiran semua penduduk Palestina dari tanah airnya. Namun dalam Pemilu 2021 kemarin, gerakan ini dengan kepemimpinan Itamar Ben-Gvir telah memasuki Knesset di bawah dukungan penuh Benjamin Netanyahu.
Sementara salah satu intel kepolisisan rezim Zionis menyatakan bahwa Itamar Ben-Gvir adalah tersangka dalam kasus kerusuhan di Beit al-Muqaddas. Itamar telah memprovokasi penduduk untuk menyerang warga Palestina di Sheikh Jarrah. Ideologi gerakan Kahane telah mengizinkan mereka untuk berbuat brutal tanpa jerat hukum.
Tapi jelas bahwa gerakan sayap ini lebih membahayakan eksistensi Israel sendiri lebih dari yang lainnya. Kerugian besar harus dipikul Israel. Mereka telah menyulut perkelahian warga hingga menyeret warga Yahudi berkelahi dengan warga Arab Palestina 1948. Mereka telah membuka kran perang dalam negeri dan membuat petinggi ketakutan lebih dari apapun.
Kancah Politik Rezim Zionis yang Semakin Radikal
Pertarungan dalam kota telah merubah hawa politik rezim Zionis. Kesempatan Yair Lapid, Pemimpin partai Yesh Atid, sekarang jadi lebih kecil dari Benjamin Netanyahu dalam upaya membentuk Kabinet.
Dalam beberapa hari terakhir, Yahudi ekstrim menekan pihak-pihak oposisi Benjamin Netanyahu sampai-sampai Naftali Bennett, oposisi keras Netanyahu berkata bahwa dirinya tidak akan berdiri melawan Netanyahu. Bennett memutuskan untuk kerja bersama membentuk Kabinet bersama Benjamin Netanyahu.
Tekanan tersebut dilakukan karena Yair Lapid bermaksud membangun aliansi dengan Mansour Abbas, Ketua partai Arab-Israel. Harus dikatakan bahwa Yair Lapid telah melangkah di ranah paling sensitif di tengah situasi panas anti-Arab Zionis ekstrim. Siapapun yang membangun koalisi dengan politik Arab akan menghadapi reaksi keras sayap Kanan Knesset yang menguasai kursi Parlemen.
Selain Naftali Bennett, Gideon Sa’ar, Ketua partai kanan New Hope, juga memiliki kemungkinan untuk bergabung dengan arus Benjamin Netanyahu.
Jika Benjamin Netanyahu berhasil membentuk Kabinet, harus dikatakan bahwa rezim Zionis sekarang adalah rezim ekstrim dan sayap kanan. Semuanya memiliki sensitifitas tinggi terhadap Arab. Knesset akan dikuasai poros anti-Arab. Dengan demikian, maka stabilitas dalam rezim akan terancam. Bukan sikap moderat yang akan dilakukan, tapi kebalikannya. Sayap Kanan akan lebih mengental dan menguasai situasi.
Faktor utama dari peristiwa ini adalah ketakutan akan eksistensi. Sayap kiri dan kaum moderat akan tumbuh ketika ketakutan akan ancaman eksistensi telah hilang. Saat ancaman eksistensi ada, tidak ada kesempatan untuk pertumbuhan sayap Kiri, semua akan tergiring ke sayap Kanan. Padahal sayap Kanan-lah yang menjadi faktor ancaman eksistensi itu. Ini adalah lingkaran tak berujung.
Ini adalah lingkaran setan yang akan berakhir pada cerai sosial dan pelemahan rezim Zionis.