Purna Warta – Al-Akhbar dalam salah satu analisanya membongkar perjanjian di balik layar nan rahasia Presiden AS dan Perdana Menteri Irak yang menghasilkan satu kesepakatan penghapusan keputusan penarikan mundur pasukan Pentagon dari Baghdad.
Keputusan Amerika Serikat untuk keluar dari Irak diambil setelah keputusan Parlemen Irak terkait teror Martir Qasem Soleimani, Komando IRGC Iran dan Abu Mahdi al-Muhandis, Komando al-Hashd al-Shaabi, pada awal Januari 2020.
Namun karena Irak merupakan unsur urgen dalam struktur kepentingan AS, sejak saat itu pula Washington berusaha memandulkan keputusan Parlemen Iraq yang menuntut penarikan mundur pasukan asing.
Baca Juga : Al-Monitor: Israel Terkejut dengan Serangan Yaman ke Emirat
Surat kabar cetakan Lebanon, al-Akhbar dalam salah satu analisa mengupas permasalahan ini dan menuliskan, “Kedua belah pihak, AS dan sekutu Irak-nya, bisa dikatakan telah berhasil karena kesepakatan yang terjalin dalam kunjungan PM al-Kadhimi ke Gedung Putih dan pertemuannya dengan Presiden Joe Biden pada akhir Juni lalu. Kedudukan al-Kadhimi di puncak kekuasaan sangatlah menguntungkan bagi AS.”
“Akan tetapi penetapan pasukan AS di Irak telah membuat khawatir AS karena identitas tak jelas ini, salah satu yang paling penting adalah masalah keamanan pasukan ini yang hanya bisa diselamatkan dengan pengeluaran izin bebas keluar-masuk serta gerak, salah satunya izin penerbangan pesawat tempur dan drone di langit Baghdad saat dibutuhkan dalam bentuk dukungan. Izin ini adalah hal yang paling dicari oleh pihak Washington dalam struktur penyerahan informasi dan dukungan udara dalam perang melawan ISIS,” tambah al-Akhbar.
Meskipun hal ini urgen, tapi tidaklah cukup, menurut sang analis al-Akhbar. Karena pasukan AS yang hadir di Irak butuh pada dukungan politik demi legalisasi eksistensi mereka. Dukungan tersebut hanya akan terealisasi ketika terbangun pemerintahan setia kepada AS di Irak. Oleh karena inilah, AS bermanuver di balik layar untuk menyusun satu pemerintahan mayoritas, yang berisikan sekutu AS dan Arab Teluk Persia dengan saham yang lebih besar dan menghapus pasukan anti AS, khususnya al-Hashd al-Shaabi dan gerakan-gerakan Muqawamah.
Membangun pemerintahan seperti ini pasti akan berpengaruh pada tingkat operasi Muqawamah melawan pendudukan. Hal ini telah terlihat sejak awal tahun, bahkan sebelum terbangunnya pemerintahan baru Irak. Dipresidiksikan bahwa jika pemerintahan antek AS di Irak berhasil dibangun, tensi pertarungan akan semakin memanas. Namun jika pemerintahan impian AS di Irak tidak berhasil, maka Pentagon akan menghadapi masalah legalitas eksistensi pasukan di Irak. Dengan demikian, maka jalan legal Muqawamah untuk menghajar mereka akan terbuka lebar, bahkan mungkin tidak bisa diterima oleh Amerika.
Baca Juga : Analis Zionis: Drone Iran Hancurkan Peta Kekuatan Timteng
“Untuk menegaskan analisa ini, dokumen rahasia yang didapat oleh al-Akhbar menekankan niat asli AS untuk tidak keluar dari Irak. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Jenderal Richard Bell, Wakil Komando militer koalisi internasional pimpinan AS di Iraq, dalam pertemuannya dengan para Duta dan Diplomat kondang Arab dan asing di Baghdad pada bulan September 2021 setelah pertemuan Joe Biden dan Mustafa al-Kadhimi,” tulis al-Akhbar.
Dokumen rahasia tersebut, menurut laporan al-Akhbar, merupakan satu pernyataan kesimpulan dari perundingan strategis dua belah pihak, AS-Iraq, mengenai penarikan mundur. Berdasarkan dokumen tersebut, tugas pasukan koalisi interasional telah direvisi pada tahun lalu. Permasalahan yang paling penting hari ini adalah legalisasi eksistensi mereka melalui tangan pemerintahan Baghdad dan instansi hukum resmi pemerintah. Masalahnya adalah pihak-pihak ini bukanlah pihak paling kuat dalam partai yang sekarang ini.
Al-Akhbar melaporkan, Jenderal Bell mengajukan satu indikasi bahwa penarikan mundur secara keseluruhan akan membuahkan sesuatu yang sangat negatif. Tapi di saat yang sama, dia juga meyakini bahwa ISIS tidak akan bisa lagi menguasai Baghdad sebagaimana sebelumnya, seperti kasus Afganistan. Tapi sang Wakil Komando koalisi pimpinan AS mengkhawatirkan peningkatan hegemoni Muqawamah dan sekutu Iran, yang dia sebut dengan sipil bersenjata.
Baca Juga : Poin Strategis Kerja Sama Iran-Rusia
Analis al-Akhbar meyakini bahwa dokumen tersebut mengandung beberapa fakta, yang paling pentingnya adalah kebohongan penarikan mundur AS dari Irak. Tidak ada dalam praktek. Dan fakta yang lebih urgen lagi dari hal ini adalah di Irak ada beberapa sosok yang tidak menginginkan penarikan mundur Washington dari Baghdad. Bahkan mereka merasa risih mengeluarkan pernyataan seperti ini. Para sosok ini sangat mengharap hasil Pemilu Oktober kemarin. Dari sekian jumlah partai yang menang Pemilu, hanya Gerakan Sadr yang tidak mengeluarkan pernyataan resmi terkait masalah penarikan mundur AS dari Irak. Meskipun petinggi mereka menyatakan kepuasannya di awal perjanjian Irak-AS untuk keluar.
“Berdasarkan hal ini, Muqawamah yang telah berjanji untuk menyerang Amerika jika tidak keluar dari Irak, tidak akan bersabar lebih lama lagi. Sejak awal tahun baru, mereka telah mulai menyerang pangkalan-pangkalan pasukan AS. Seperti serangan ke pangkalan AS di dekat bandara Baghdad dengan 5 drone, serangan ke Kedubes AS di green zone, serangan ke pangkalan Ain al-Assad dan Balad,” tulis al-Akhbar.
Serangan ini telah melibatkan pasukan keamanan dalam negeri Irak. Beberapa hari lalu, juga ada peningkatan serangan di pusat partai Mohamed al-Halbousi, Ketua Parlemen Irak, dan pasukan Kurdi, Peshmerga di Baghdad dan Kirkuk. Dari sisi lain, juga ada teror atas anggota al-Hashd al-Shaabi.
Di akhir perundingan teknis, yang dilaksanakan di ibukota Amerika, terlihat jelas tujuan AS dan Irak sebagai sekutu.
Baca Juga : Upaya Amerika Serikat Menyatukan Kurdi Timur Laut Suriah
Kepada al-Akhbar, sumber dalam delegasi perundingan keamanan Irak pimpinan Qasim al-Araji menyatakan, “Setelah penarikan mundur, hanya beberapa pelatih dan penasihat yang diinginkan Irak yang hadir dengan dukungan logistik yang dibutuhkan.”