HomeAnalisaBincang Berita: Hubungan Iran-Amerika Pasca Trump

Bincang Berita: Hubungan Iran-Amerika Pasca Trump

Purna Warta – Bincang Berita: Hubungan Iran-Amerika Pasca Trump adalah satu acara perbincangan mengenai situasi Timur Tengah secara umum dan Iran, secara khusus, pasca pemerintahan Donald Trump yang dianggap gagal total oleh mayoritas pengamat dan terbentuknya pemerintahan baru Joe Biden.

Kebijakan imperialis Amerika nan politik dominasi Washington yang sangat kental diakui oleh salah satu pembicara dalam acara bincang politik Amerika dan Timteng (terkhusus Iran), Mahdi Yahya, jurnalis porosperlawanan.com dalam menjelaskan sejarah dan watak Amerika.

Menjawab pertanyaan moderator Zaid Ali dalam acara bincang berita tentang Iran dan Amerika yang saling menunjuk untuk menjalankan kesepakatan terlebih dahulu, Mahdi Yahya memberikan sedikit pendahuluan mengenai tingkah AS yang sedari masa pemerintahan Barack Obama telah melakukan pelanggaran yang puncaknya di pemerintahan Donald Trump.

“Iran telah memberikan lampu hijau,” menurut Mahdi Yahya. Lampu hijau untuk Amerika untuk  membuktikan niatan baik yang telah terhapus dengan tanpa disadari pasca pelanggaran-pelanggaran arogan sampai pemutusan keluar dari JCPOA, diantaranya, menurut jurnalis porosperlawanan.com adalah melonggarkan sanksi.

Selain itu Mahdi Yahya juga menuntut Uni Eropa untuk menjalankan tugasnya sebagai koordinator atau penengah keributan antara Iran dan Amerika.

Amerika adalah Amerika, kata Muhammad al-Hasni, Ketua Pimnas Pandu Ahlul Bait Indonesia. Arogansi Amerika masih tetap. Tidak ada beda antara pemerintahan Obama maupun Trump, yang berbeda hanyalah cara pendekatan.

“Joe Biden tidak lebih superior dari Amerika, artinya peranan majunya Joe Biden kemudian lengsernya Trump dan peranan-peranan politik yang terjadi kurang lebih beberapa tahun terakhir dalam dua periode pergantian presiden tersebut, yang melibatkan dari penandatanganan awal 2015 yaitu JCPOA itu sendiri. Ketika kita melihat akar permasalahannya, bukan pada Irannya,” jelas Muhammad al-Hasni dalam menindaklanjuti pertanyaan Zaid Ali.

Siapa yang Akan Mengalah

“Iran tidak akan mengalah terlebih dahulu,” analisa Mahdi Yahya karena kerugian-kerugian yang telah diderita oleh Iran.

Akan tetapi, menurut Mahdi Yahya, Amerikalah yang seharusnya mengalah karena klaim itikad baik yang ditunjukkan. Meskipun kembali ke resolusi nuklir Iran-5+1 menjadi pilihan utama yang harus ditunaikan Amerika, jika Biden lebih waras dari Trump. Menurut jurnalis porosperlawanan.com, Mahdi Yahya.

Siasat Normalisasi Donald Trump

Di tengah pandemi yang menggoncang dunia, termasuk negara adidaya sekalipun, Donald Trump masih menyuntikkan beberapa politik abnormal seperti akuisisi Jerusalem atau al-Quds wilayah timur, mengesahkan dataran tinggi Golan sebagai wilayah rezim Zionis hingga normalisasi.

Joe Biden, menurut moderator Zaid Ali, tidak menolak semua politik arogan Donald Trump. Bahkan Joe Biden mengiyakan aneksasi timur al-Quds sebagai wilayah Israel.

Pasca Bahrain dan Emirat mengadakan hubungan normal dengan Israel, apakah ada negara-negara lain yang begitu semangat mengadakan normalisasi hubungan dengan Israel?

Normalisasi adalah siasat besar dalam deal of the century, menurut pandangan Muhammad al-Hasni. Bahkan al-Hasni yakin bahwa janji pemberian kemerdekaan Joe Biden kepada Palestina bukan berartikan penghentian proyek-proyek berdirinya negara Israel.

“Kita jangan lupa, ternyata ungkapan dari Joe Biden ini justru memantik adanya sebuah escape close. Artinya sebuah statement yang nanti  bukan statement final tetapi menjadi sebuah lompatan-lompatan dari statement awal. Tidak bisa kita jadikan patokan atau rujukan,” tegas Muhammad al-Hasni.

“Tapi apapun itu, saya yakin bahwa pemerintahan Joe Biden tidak akan berbeda jauh dengan Donald Trump,” tambahnya.

Dengan sedikit perbedaan dalam cara, yang mungkin lebih halus. Namun dalam pandangan Ketua Pimnas Pandu Ahlul Bait Indonesia, justru cara halus ini yang lebih berbahaya, karena bisa lebih menarik simpati dan membuka pertarungan dunia Muslim melalui kaki tangannya.

Kemudian apakah normalisasi ide Donald Trump atau agenda lintas presiden?

“Normalisasi bukan milik Trump, tetapi ini adalah proyek jangka panjang,” tegas Mahdi Yahya. Ini adalah taktik menyakiti Arab dengan tangan Arab itu sendiri.

“Normalisasi akan tetap berlanjut, namun sedikit melambat,” hemat Mahdi Yahya. Karena cara Joe Biden tidak akan sekeras Donald Trump.

Ansharullah Yaman

“Gaya-gaya yang dibawa Joe Biden ini terkesan halus dan lembut,” lugas Muhammad al-Hasni merespon rencana pencabutan Ansharullah Yaman dari pengkategorian kelompok teroris.

“Pelabelan teroris terhadap identitas poros perlawanan, salah satunya yaitu di Yaman, kita harus pertanyakan jadi definisi teroris yang dibuat oleh Amerika itu seperti apa? Sehingga apa hak Joe Biden menarik label cap teroris yang disematkan kepada kelompok pergerakan dan perlawanan di Yaman,” jelasnya.

“Setiap yang menjadi batu sandungan bagi Amerika, yang menetang Amerika, pasti teroris,” tegas Ketua Pimnas Pandu ABI ini mengambil kesimpulan politik pelabelan Gedung Putih.

Kehancuran Amerika di tangan Donald Trump telah memaksa Joe Biden untuk mencari simpati dan menarik orang-orang agar tidak banyak kontra dengan pemerintahannya.

“Tetapi sekali lagi, Amerika akan tetap menjadi Amerika. Dia akan melakukan apa-apa yang menguntungkan bagi dirinya. Kembali lagi ke watak dasar imperialis Amerika,” jelas Mahdi Yahya mengungkap politik di balik strategi label Amerika.

“Demokrat dengan Biden ini adalah pendukung setia Israel,” ingat jurnalis porosperlawanan.com ini.

Dalam analisa Mahdi Yahya, aksi-aksi Donald Trump sangat menguntungkan Joe Biden. Karena dia tidak perlu melakukan langkah-langkah ekstrim demi Israel. Joe Biden beserta partainya akan tetap mendukung Israel dari balik layar.

Iran dan Balas Dendamnya

Ada dua hal, dalam pandangan Muhammad al-Hasni mengenai balas dendam Iran atas kemartiran Qasem Soleimani, yang pertama adalah Iran tidak pernah ragu dalam mengambil statement dan selalu jujur. Kedua adalah yang diteror bukan sosok sembarangan. Dia adalah yang memiliki jasa yang tidak mungkin seorangpun mampu mengingkarinya.

“Ketika akan membalas, timing itu juga berlaku,” tegasnya. Untuk membuktikan analisanya ini, Muhammad al-Hasni mengambil contoh pembalasan teror Imad Mughniyeh, pejuang Hizbullah.

Kembali Zaid Ali menanyakan Mahdi Yahya mengenai teror Qasem Soleimani, apakah ini inisiatif murni Donald Trump atau agenda lintas kepemimpinan?

“Itu bukanlah agenda pribadi dari Donald Trump atau segelintir kelompok yang bersama Donald Trump,” tegasnya menjawab pertanyaan moderator.

Mengenai pembalasan Iran, Mahdi Yahya yakin bahwa itu akan terjadi. Jurnalis tersebut pula menganalisa bahwa secara logis, pembalasan mudah dilakukan.

“Bahkan saya sempat membaca beberapa berita, tidak tahu apakah ini valid ataukah tidak, tapi memang Iran dan kelompok-kelompok lain yang sepaham dengan Iran, misalnya kelompok Kataib Hizbullah dan al-Nujaba dari Irak, itu memang sengaja menunggu Trump untuk turun untuk melakukan pembalasan terhadapnya. Jadi kalau ini memang benar, kita bersama tunggu saja apa yang akan terjadi. Tapi saya pribadi percaya pembalasan akan terjadi,” tegasnya sambil mengingatkan pernyataan putri Shahid Qasem Soleimani.

42 Tahun Revolusi Iran

Apa rahasia di balik kekuatan Iran? Tanya Zaid Ali dalam upayanya mengungkap kekuatan Iran yang semakin tua makin menjadi, sedangkan para lawan semakin lemah seiring dengan berlalunya waktu.

“Tidak Barat, tidak timur, tetapi pemerintah Islam. Ini adalah pilihan yang sangat tepat,” jelas Mohammad al-Hasni menganalisa rahasia kekuatan Iran.

Dengan mengutip pernyataan salah satu ulama revolusioner Irak, Shahid Baqir Sadr tentang Imam Khomeini yang mengatakan bahwa Imam Khomeini merealisasikan impian-impian seluruh nabi, Mohammad al-Hasni meyakinkan bahwa kemajuan revolusi Islam tidak keluar dari peran sang pemimpin awal revolusi Islam yang terjadi di Iran tersebut.

Imam Khomeini dengan keyakinannya kepada Allah swt, kepada Islam dan kepercayaannya kepada bangsanya-lah yang menjadi pondasi ketangguhan Iran.

Keimanan dan kepercayaan inilah, menurut hemat Muhammad al-Hasni, yang juga menjadi pembeda dengan Barat yang simpuh pada kedigdayaan teknologi, senjata, jaringan dan alat materi lainnya.

Meskipun menyetujui pengamatan Muhammad al-Hasni, Mahdi Yahya mencoba mengupas rahasia kekuatan Iran dari faktor lain. Dalam pengamatannya, ras Persia memiliki karakter pantang menyerah.

“Iran dalam menghadapi tekanan, dia mempunyai mindset dan karakter. Yaitu mindset dan karakter tidak mudah menyerah… Satu hal yang haram dilakukan oleh bangsa Iran adalah mengibarkan bendera putih atau menyerah,” jelasnya.

“Kemudian yang kedua adalah bangsa Iran adalah bangsa yang tahu akan dirinya. Bagaimana sejarah mereka telah melalui banyak sekali kesulitan dan tantangan, seperti perang Iran-Irak, krisis keuangan… dan Iran belajar dari pengalaman. Bangsa yang belajar dari pengalaman, maka mereka akan tetap bertahan dan hal ini juga didukung dengan pemerintahan,” tambahnya.

Pemerintahan, yang menurut Mahdi Yahya, tahu bagaimana menjaga rakyat untuk tetap bertahan, bahkan merubah tekanan menjadi dorongan dan motivasi. Kemampuan inilah yang menjadi strong point Iran.

“Kemudian yang terakhir dan yang utama seperti juga yang disampaikan oleh Sayid Muhammad tadi adalah faktor idiologis” jelasnya mengakhiri.

Baca juga: Associated Press News: Rakyat Iran Rayakan Ulang Tahun Revolusi Dengan Parade Mobil dan Motor

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here