Purna Warta – Tuntutan mendesak keluarga korban 11/9 kepada pemerintah Joe Biden untuk mengeluarkan dokumen rahasia kasus 11 September yang selama ini tertutup rapat di dalam peti. Dan tak pelak, ada bukti peran Saudi dalam peristiwa ini.
Setelah keluar dari peti, dokumen rahasia kasus 11/9 menguak peran salah satu diplomat Saudi dalam Gedung Konsulatnya di Los Angeles, yaitu Omar al-Bayoumi.
Al-Mayadeen menuliskan sebuah analisis mengenai hal ini dan melaporkan, “Arab Saudi, yang kurang setuju dengan kebijakan Gedung Putih terkait kasus ini, langsung menolak dan membohongkan dokumen tersebut. Dan itupun terjadi di saat hubungan kedua belah pihak juga kurang memuaskan. Akan tetapi persoalan utamanya adalah sekarang, apakah hubungan Arab Saudi-AS ada di persimpangan jalan?.”
“Sepertinya jawabannya positif, meskipun Amerika Serikat menyebut Istana Riyadh dengan sekutu dan memiliki urgenitas sebagai sahabat Washington. Namun nyatanya adalah perubahan pendekatan dan pandangan di AS sudah terjadi sejak serangan terorisme 11/9 pada tahun 2001. Satu fakta yang diungkapkan oleh Barack Obama,” tambah al-Mayadeen menjelaskan.
Periode George Bush (2001-2008)
Meskipun banyak peran para karyawan Saudi dalam insiden 11 September, akan tetapi relasi Arab Saudi dengan Amerika Serikat masih bisa bertahan. Ditambah lagi, Riyadh secara tegas mendeklarasikan kecamannya atas kasus ini. Di bawah kerjasama dengan Amerika, Istana mengklaim bahwa Riyadh juga terancam aksi terorisme al-Qaeda.
Dalam program Timteng Agung, yang dihangatkan oleh Menlu Condoleezza Rice, Gedung Putih menuntut perubahan dalam pendidikan dalam Arab Saudi. Amerika ingin menghapus ekstrimisme dalam Riyadh dan mengundang mereka ke lingkaran toleransi. Akan tetapi tidak terjadi apa-apa. Dan Amerika juga tidak bisa berbuat apa-apa karena kebutuhannya pada dukungan negara-negara Arab Teluk Persia di tengah konflik di Irak dan Afganistan.
Periode Barack Obama (2009-2016)
Al-Mayadeen melanjutkan dalam analisisnya bahwa hubungan AS-Saudi di periode Barack Obama sangatlah kelam. Sebab Arab Saudi menuduh Washington mendukung gerakan perubahan (revolusi) dalam negara-negara Arab. Gerakan tersebut menyebabkan sekutu Saudi runtuh dan ada lagi yang terancam.
Pasca tertandatangani resolusi nuklir Iran pada tahun 2015, hubungan Riyadh-Washington kembali memburuk.
Periode Donald Trump (2017-2020)
Hubungan Donald Trump dengan Mohammed bin Salman sangatlah hangat di masa itu. Ratusan dolar MBS gelontorkan untuk proyek senjata dan investasi di Washington. Di sisi lain, proyek Bin Salman sudah berjalan meskipun periodenya masih menunggu sang Ayahanda. Bahkan Donald Trump mendukung blockade Qatar.
Akan tetapi kasus berdarah teror Jamal Khashoggi di Gedung Konsulat Saudi di Turki telah membuat pemerintahan Donald Trump terhimpit. Karena teror tersebut telah membakar amarah media, akademik dan politik Amerika Serikat. Ombak tuntutan kepada Amerika agar memutus dukungan kepada Istana terus membesar, bahkan menuntut pengadilan sang Putra Mahkota.
Periode Joe Biden
Sampailah kini di periode Joe Biden, yang menurut analisis al-Mayadeen tak sama dengan masa Donald Trump tapi merupakan kelanjutan dari doktrin pemeritahan Barack Obama.
“Hari ini, sepertinya pemerintahan Joe Biden melanjutkan program pemerintahan Barack Obama dalam situasi internasional. Dari sini, bisa kami katakan bahwa mengenai hubungannya dengan Arab Saudi, (pemerintahan Joe Biden) merupakan kelanjutan dari doktrin Barack Obama. Satu doktrin yang dijelaskan panjang lebar dalam wawancara dengan The Atlantic,” tulis al-Mayadeen menjelaskan.
“Barack Obama sangatlah tidak setuju dengan doktrin politik luar negeri AS yang menuntut kerjasama dengan Arab Saudi. Dalam wawancaranya dengan Malcolm Turnbull, PM Australia, Barack Obama juga mengupas tentang perubahan yang akan terjadi di Indonesia, dari satu negara toleransi menjadi ekstrimis dan anti toleransi,” lanjut al-Mayadeen.
“Turnbull bertanya kepada Barack Obama, kenapa masalah ini bisa terjadi? Obama menjawab, karena Arab Saudi dan negara-negara lain, sekitar Teluk Persia, telah mengirim banyak uang dan sosok agamis dan sekolah-sekolah ke negara ini (Indonesia). Barack Obama melanjutkan, pada tahun 1990, secara mengejutkan Arab Saudi mendukung sekolah-sekolah Wahabi. Mereka menggerakkan pendidikan ekstrim terhadap Islam dan yang diinginkan oleh privasi keluarga Kerajaan. Di sini Turnbull mengelitik, bukannya Saudi temanmu? Barack Obama mengatakan, ini masalah kompleks,” tulis al-Mayadeen mengulik sejarah.
Selanjutnya, al-Mayadeen menambahkan bahwa berdasarkan hal inilah, bisa dikatakan bahwa hubungan Arab Saudi dengan Amerika Serikat tidak makin harmonis di periode Joe Biden. Kami tunjukkan beberapa buktinya di bawah ini:
Pertama: Sejak aktifnya periode Joe Biden, tercetak beberapa dokumen kasus Jamal Khashoggi. Satu dokumen yang memperlihatkan keyakinan CIA akan peran Bin Salman, Putra Mahkota Saudi, dalam teror ini.
Kedua: Amerika telah menarik dan mencabut sistem pertahanan Patriot dari tanah Saudi di musim panas tahun ini. Padahal Riyadh menjadi bulan-bulanan rudal gerakan kerakyatan Yaman dalam aksi pembalasan agresi Istana ke kedaulatan Sanaa. Tentu Saudi buutuh pada sistem pertahanan ini.
Ketiga: Dalam kunjungan diplomatik Wakil Menhan Saudi, Khalid bin Salman ke Moskow. Wakil Menhan menandatangani satu resolusi kerjasama militer dengan Rusia. Hal yang membuat Amerika Serikat menuntut para sekutunya untuk menutup transaksi baru dengan bagian Pertahanan Rusia sesuai dengan pasal 231 aturan perlawanan dengan musuh AS di bawah sanksi CAATSA.
Keempat: AS mengumumkan pembatalan kunjungan Menhan AS, Lloyd Austin. Satu kunjungan yang dijadwalkan pekan kemarin, di sela acara rutin ke negara-negara Arab Teluk Persia. Sebab pembatalan dikaitkan dengan masalah jadwal. Adapun Putra Mahkota Bin Salman, kala itu, sedang berada di kota metropolitan NEOM menjamu Leonid Slutsky, Ketua Komite Urusan Internasional Dewan Duma Rusia.
Dengan bukti-bukti di atas, al-Mayadeen mengambil kesimpulan bahwa Kawasan sedang bergerak ke kehancuran perhitungan. Di mana salah satu buktinya diperlihatkan Amerika Serikat dalam dukungannya kepada negara-negara kecil Arab Teluk Persia untuk menambah hegemoni di depan saudara besarnya, Saudi. Dengan demikian, tidak bisa tutup mata atas strategi Amerika yang mendorong Qatar dan Emirat untuk normalisasi dengan Israel pasca keluar dari Afganistan. Pula ada indikasi peran Mesir sebagai kunci di bagian timur Arab.