Purna Warta – Terlihat jelas bagaimana negara-negara Arab memutar tajam setir politiknya ke arah Iran di tengah upaya gagal AS dalam membentuk koalisi anti-Tehran dan menarik Saudi ke normalisasi dengan Israel.
Negara-negara Arab Kawasan Asia Barat baru-baru ini merubah bahasa politiknya mengenai Iran. Perubahan politik yang sangat moderat ini didasari banyak alasan dan negara-negara, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab di kancah nasional, regional dan dunia, telah merasakan banyak pengalaman yang telah memaksa mereka untuk mengoreksi kembali kebijakan-kebijakan strategisnya.
Baca Juga : Sayid Hasan Nasrullah: Israel Sadar Setiap Gerak Versus Lebanon, Pasti Dibalas
Petinggi Arab Timur Tengah menghadapi satu fakta politik yang belum pernah mereka fahami. Hingga akhirnya, situasi krisis internasional dan pemahaman baru politik menuntut negara-negara Arab ini untuk mengoreksi kembali aliansi, politik dan upaya-upaya bersama di kancah regional.
Pasca kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Kawasan, banyak perubahan serta masalah Amerika di Barat Asia yang terkuak. Joe Biden gagal dalam membangun aliansi anti Iran di Timteng dan kembali membawa proposal pembentukan barisan pasukan versus Tehran ke Gedung Putih.
Bahkan Joe Biden membuat Israel putus harapan dan tidak mampu mengembangkan program normalisasi Riyadh-Tel Aviv. Ditambah lagi Joe Biden menghadapi Saudi yang tak lagi takut pada Washington dan tidak lagi memperhatikannya. Tim AS dan dukungan politik gugur begitu saja di tengah konferensi Jeddah. Hingga dunia tahu bahwa periode negara-negara Arab berselisih dengan Iran telah berakhir. Petinggi serta sosok-sosok Kawasan ikut merubah arah perjalanan bersama-sama, bahkan mereka menguatkan pandangan positif pemerintah mengenai relasi Arab-Iran. Dan di bawah ini adalah tuntutan utama normalisasi Arab-Iran.
Saudi Mencari Balance Perhitungan, Keamanan dan Stabilitas
Butuhnya AS ke negara-negara Arab di tengah krisis energi dunia dan upaya Washington untuk lebih dekat dengan Saudi, telah menyadarkan Riyadh akan dua hal: Pertama, kelemahan AS dan kedua, pengaruh dunia Arab.
Dua hal ini yang membuat Arab Saudi tidak lagi mau mengikuti politik Gedung Putih tanpa alasan, dengan kata lain tak lagi membuntut. Dengan mengembangkan koalisi dengan banyak target dan menjalin hubungan dengan semua kekuatan dunia, Arab Saudi telah mengembangkan stabilitas dan politik luar negerinya.
Baca Juga : Apakah Putin Mampu Merubah Peta Pertarungan di Tehran?
Telpon terakhir antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dilakukan di bawah struktur ini. Para analis Saudi meyakini bahwa koordinasi dalam pasar energi dan kerja sama untuk menjaga balance strategi merupakan dalil-dalil pengembangan kerja sama Riyadh dan Moskow.
Masalah keamanan Saudi yang lainnya adalah perang Yaman. Dalam hal ini, Washington membuktikan bahwa mereka enggan menyelesaikan perang dalam jangka pendek. Perang Yaman tidak menjadi agenda utama Joe Biden dalam kunjungan regional. Hal ini cukup menyadarkan Riyadh bahwa untuk keluar dari krisis keamanan ini, mereka harus membanting setir ke normalisasi Kawasan.
Perundingan dengan Iran adalah strategi terbaik dan paling mendasar dalam upaya Saudi keluar dari rawa Yaman. Pesan-pesan Riyadh untuk terus melakukan perundingan dan sambutan Tehran akan hal ini, menceritakan pemahaman baru Saudi akan sistem dan pengaturan keamanan.
Meskipun Yaman tidak menjadi perhatian Biden dalam konferensi Jeddah, namun sebagian petinggi Arab telah mendeklarasikan keputusannya mengenai perang versus Sanaa ini. Sebagai contoh, Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Mesir, menegaskan bahwa jalan keluar penuh damai dan langgeng merupakan opsi impian dunia Arab, baik berkaitan dengan perang Yaman, Palestina ataupun tempat-tempat lainnya.
Baca Juga : Erdogan Hadiri Konferensi Tehran, Bagaimana Nasib Suriah?
Gagal Upaya Washington Membangun Koalisi Versus Iran
Presiden Amerika Serikat Joe Biden di tengah hadirin konferensi Jeddah mengklaim bahwa aktifitas Iran telah mengakibatkan instabilitas Kawasan. Selama konferensi, Joe Biden berbicara mengenai perang versus terorisme lalu menegaskan bahwa Washington akan terus bekerjasama dengan negara-negara regional untuk memberantas teroris.
Di hadapan para petinggi dunia Arab Barat Asia, Presiden Biden terus mengklaim hal-hal tak enak tentang Iran, namun faktanya, para petinggi negara-negara Arab tersebut tidak menyetujui pendekatan Joe Biden, hingga sang Presiden AS pun meminta kerja sama mereka.
Sementara Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman di tengah konferensi Jeddah, selain mengajak Iran untuk menjalin kerja sama dengan dunia Arab Barat Asia, dia juga menegaskan, “Kami mengundang Iran untuk bekerjasama dengan negara-negara Kawasan, tidak intervensi urusan dalam negeri kedaulatan lain dan terus memegang dasar serta undang-undang internasional dan bekerjasama dengan agen energi internasional.”
Selain itu, Putra Mahkota Bin Salman juga mengajak semua pihak untuk berupaya mencari opsi politik perang Yaman demi mengakhiri krisis negeri ini. Pula Menlu Saudi Faisal bin Farhan di sela konferensi Jeddah menekankan, “Tidak ada yang namanya NATO Arab dan tidak ada pembicaraan mengenai aliansi Kawasan dengan rezim Zionis.”
Fawaz Kasib al-Anzi, analis politik asal Saudi, dalam wawancara dengan surat kabar Sputnik menjelaskan perkembangan perundingan Tehran-Riyadh dan menyatakan, “Berbicara mengenai peningkatan perundingan Iran-Saudi dari ranah keamanan ke ranah politik secara transparan menunjukkan bahwa Arab Saudi bergerak ke arah percaya dan menerima. Selain alat diplomatis yang dicari banyak pihak termasuk MBS dan beberapa negara tetangga seperti Qatar, Kuwait dan Irak, mereka juga menjalankan politik transparansi.”
Menteri Penasihat UEA untuk Urusan Luar Negeri juga mengabarkan upaya Abu Dhabi dalam merekonstruksi hubungan dengan Iran dan mengungkap pengiriman utusan ke Tehran.
Para pengamat perkembangan situasi regional Barat Asia meyakini bahwa tidak adanya pidato para petinggi Uni Emirat Arab dan Oman dalam konferensi Jeddah merupakan politik “diam” menghadapi kebijakan anti-Iran Joe Biden. Dan ini adalah isyarat akan penolakan menanggapi politik AS ini.
Baca Juga : Perpisahan Dengan Amerika Serikat; Selamat Datang Di Tatanan Dunia Baru!
Tel Aviv dan Fatamorgana Normalisasi dengan Riyadh
Petinggi rezim Zionis menggantungkan harapannya pada kunjungan Presiden Joe Biden ke Timteng dan Tel Aviv. Mereka menanti Presiden AS menarik Saudi dalam jaring normalisasi, namun saat ini mereka putus asa.
Selain media-media berbahasa Ibrani, mantan Ketua Intel Militer Israel juga mengakui dalam analisanya bahwa Tel Aviv merupakan pihak yang kalah dalam kunjungan Presiden AS ke Kawasan dan Arab Saudi yang memenangkannya.
“Dalil dari analisa seperti ini harus ditelusuri dalam keputusan tegas Arab Saudi terkait masalah normalisasi,” terangnya. “Riyadh menyatakan bahwa satu-satunya jalan keluar yang dilihat oleh kami terkait Palestina adalah opsi dua negara. Selama Israel tidak bergerak ke arah ini, relasi kami tidak akan pernah normal. Petinggi Zionis, salah satunya Ran Kochav, Juru Bicara Angkatan Bersenjata Israel berupaya menafsirkan keputusan ini dan mengklaim bahwa rezim ini tidak akan pernah mengungkap semua sisi kerja sama keamanan dengan Arab Saudi. Namun faktanya adalah mengarahnya Riyadh ke Tel Aviv tidak akan pernah merealisasikan perhitungan yang diharapkan Istana kerajaan, tetapi akan menambah dalam krisis negara ini.”
Dukungan Barat Asia ke Normalisasi Arab-Iran
Hossein Amir Abdollahian, Menlu Iran, dalam beberapa hari terakhir menyatakan bahwa pekan lalu, ada sebuah pesan dari pihak Menlu Irak yang berisikan kesiapan Saudi dalam meningkatkan perundingan dari ranah keamanan ke tingkat politik. Dan kamipun juga mengumumkan kesiapan kami untuk meningkatkan perundingan ke kancah politik dan memulangkan hubungan diplomatik ke kondisi biasanya.
Fuad Husein, Menlu Irak, menerangkan upaya Baghdad untuk melangsungkan perundingan secara transparan antara petinggi Iran dan Saudi. Perundingan-perundingan ke depan akan segera diumumkan. Menlu Irak sebelumnya juga mengadakan hubungan telpon dengan Amir Badollahian dan menjelaskan pendapatnya mengenai konferensi Jeddah serta mendialogkan seri perundingan Iran-Saudi.
Sementara Mustafa al-Kadhimi, PM Irak, dalam wawancaranya dengan jurnalis AS, Associated Press (AP), selain menjelaskan kedekatan perundingan Arab Saudi dan Iran di Baghdad, juga menerangkan bahwa demi menurunkan tensi Kawasan, dia akan mengupayakan jamuan perundingan Iran-Saudi.
Baca Juga : Pertemuan Hangat Ayatullah Khamenei dan Putin; Ini yang Dibicarakan
Barham Salih, Presiden Irak, dalam wawancaranya dengan media CNN mengakui bahwa dirinya menuntut normalisasi antara Iran dan negara-negara dunia Arab.
“Menyelesaikan krisis Kawasan tidak bisa dipikul sendirian oleh satu negara,” jelasnya selain pula menerangkan peran Irak yang menjadi penengah perundingan.
Petinggi Iran, seperti Menlu Abdollahian menerangkan pondasi politik Tehran yang didasarkan pada doktrin balance politik luar negeri, diplomasi subur dan kerja sama cerdas hingga melahirkan hubungan baik dengan para tetangga dan agenda terkait masalah-masalah regional. Di mana hal ini, searah dengan bantingan setir dunia Arab ke Negeri Para Mullah.