Bagaimana Nasib Palestina Jika Revolusi Islam Iran Tidak Pernah Ada?

oleh: Ismail Amin Pasannai*

46 tahun silam, pada 11 Februari 1979, rakyat Iran dengan efouria merayakan kemenangan revolusi Islam Iran yang menandai runtuhnya Imperium Persia yang sempat dirayakan 2500 tahun usianya oleh Syah Pahlevi, Kaisar Persia terakhir. Peristiwa bersejarah ini bukan sekadar pergantian rezim, melainkan transformasi fundamental yang mengguncang tatanan politik global dan meninggalkan jejak yang mendalam hingga saat ini.  Revolusi yang dipimpin oleh Ayatullah Ruhullah Khoemeini yang lebih dikenal dengan Imam Khomeini tersebut menandai kebangkitan kesadaran anti-imperialisme dan anti-kapitalisme di dunia, sekaligus menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan pembebasan di berbagai penjuru dunia, terutama dalam konteks perjuangan kemerdekaan Palestina.

Sekarang kita coba berandai-andai, kira-kira seperti apa nasib bangsa Palestina hari ini jika seandainya Revolusi Islam Iran tidak pernah terjadi? Apa yang akan terjadi pada Palestina jika Iran hari ini masih berada di bawah kekuasaan Syah Pahlavi (yang dilanjutkan oleh putranya Reza Pahlevi), sekutu utama Barat dan Israel? Saya mecoba memperkirakan, seperti inilah skenario yang bisa saja terjadi.

Pertama, hilangnya dukungan strategis bagi perlawanan Palestina. Salah satu dampak langsung dari ketiadaan Republik Islam Iran adalah hilangnya dukungan strategis bagi perjuangan rakyat Palestina. Sejak berdirinya, Republik Islam Iran telah menjadi pendukung utama perlawanan Palestina melawan pendudukan Zionis. Iran tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga bantuan militer, finansial, dan logistik kepada kelompok-kelompok seperti Hamas, Jihad Islam, dan Hizbullah Lebanon.

Jika Iran tetap berada di bawah kekuasaan Syah, yang merupakan sekutu dekat Israel dan Barat, maka sangat kecil kemungkinannya bagi Iran untuk mendukung perjuangan Palestina. Bahkan, Iran bisa saja menjadi bagian dari aliansi yang mendukung kebijakan Israel dan Barat di Timur Tengah. Dalam skenario ini, perlawanan Palestina akan kehilangan salah satu sekutu paling kuat dan kredibelnya, yang dapat menyebabkan melemahnya posisi tawar mereka di tingkat internasional.

Kedua, makin menguatnya dominasi Israel di Kawasan. Dengan tidak adanya Revolusi Islam Iran, Israel kemungkinan besar akan lebih agresif dalam memperluas pendudukan wilayah Palestina. Dukungan Iran terhadap perlawanan Palestina selama beberapa dekade telah menjadi penghalang signifikan bagi ambisi Israel untuk sepenuhnya menguasai tanah Palestina. Misalnya, dukungan Iran kepada Hamas selama perang Gaza dan operasi-operasi lainnya telah memaksa Israel untuk tidak sembrono dalam bertindak.

Tanpa keberadaan Iran sebagai kekuatan regional yang menentang Israel, rezim Zionis kemungkinan akan lebih leluasa dalam melanjutkan proyek pemukiman ilegal, aneksasi tanah, dan penindasan terhadap rakyat Palestina. Pendudukan Israel tidak hanya terbatas pada Tepi Barat dan Jalur Gaza, tetapi bisa jadi makin meluas ke wilayah-wilayah lain yang saat ini masih dihuni oleh warga Palestina.

Ketiga, melemahnya Poros Perlawanan di Timur Tengah.  Republik Islam Iran adalah tulang punggung dari apa yang dikenal sebagai “Poros Perlawanan” (Resistance Axis) di Timur Tengah, yang mencakup kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, dan faksi-faksi lainnya di Irak, Yaman, dan Suriah. Poros ini telah berhasil menciptakan keseimbangan kekuatan baru di kawasan, yang membuat Israel dan sekutunya tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

Jika Iran tetap berada di bawah Syah, poros perlawanan ini mungkin tidak akan pernah terbentuk. Hizbullah Lebanon, misalnya, didirikan dan didukung oleh Iran setelah Revolusi Islam. Tanpa dukungan Iran, Hizbullah tidak akan memiliki sumber daya atau kemampuan untuk melawan Israel secara efektif. Hal yang sama berlaku untuk Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan lainnya. Akibatnya, Israel akan memiliki kebebasan lebih besar untuk mendominasi kawasan tanpa adanya tantangan serius. Bahkan bisa dikatakan, gerakan intifadah Palestina yang terinspirasi dari metode perjuangan revolusi Islam Iran tidak akan pernah dikenal dalam sejarah.

Keempat, kurangnnya kesadaran akan kebangkitan umat Islam dalam menghadapi hegemoni Barat. Revolusi Islam Iran tidak hanya membawa perubahan politik, tetapi juga membangkitkan kesadaran umat Islam tentang pentingnya perjuangan melawan penjajahan dan dominasi asing. Pemimpin Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini, memperkenalkan Hari Al-Quds Sedunia sebagai simbol solidaritas global terhadap perjuangan Palestina. Gerakan ini telah menginspirasi jutaan Muslim di seluruh dunia untuk mendukung perjuangan Palestina.

Jika Revolusi Islam tidak pernah terjadi, kesadaran ini mungkin tidak akan berkembang secepat atau sekuat yang kita lihat hari ini. Banyak negara Muslim mungkin akan tetap diam atau bahkan bekerja sama dengan Israel demi kepentingan ekonomi dan politik. Solidaritas umat Islam terhadap Palestina kemungkinan akan jauh lebih lemah, sehingga membuat perjuangan Palestina semakin terisolasi.

Kelima, makin menguatnya eskspansi proyek kolonialisme Barat-Zionis.  Dengan tidak adanya Iran sebagai penentang utama hegemoni Barat dan Zionisme, proyek kolonialisme di Timur Tengah kemungkinan akan berkembang lebih pesat. Negara-negara Arab yang saat ini menjadi bagian dari aliansi anti-Iran mungkin akan lebih terbuka untuk normalisasi hubungan dengan Israel. Perjanjian Abraham, yang ditandatangani oleh beberapa negara Arab dengan Israel, adalah contoh nyata dari tren ini.

Tanpa perlawanan dari Iran, normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab akan menjadi norma baru di kawasan. Palestina akan semakin terpinggirkan, dan hak-hak rakyat Palestina mungkin akan diabaikan sepenuhnya demi kepentingan politik dan ekonomi negara-negara lain.

Keenam, hilangnya model perlawanan berbasis keagamaan. Revolusi Islam Iran juga menawarkan model perlawanan yang unik, yaitu perpaduan antara spiritualitas, moralitas, dan perjuangan politik. Model ini telah menginspirasi banyak gerakan di dunia Islam, termasuk Houthi di Yaman, yang mengadopsi prinsip-prinsip serupa dalam perjuangan mereka melawan agresi asing.

Jika Iran tetap berada di bawah Syah, model perlawanan berbasis keagamaan ini mungkin tidak akan pernah berkembang. Gerakan-gerakan seperti Houthi, yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan perjuangan politik, mungkin tidak akan ada. Akibatnya, perlawanan terhadap hegemoni asing di Timur Tengah akan kehilangan salah satu dimensi paling kuatnya.

Miungkin ada yang akan mengatakan, Taliban di Afghanistan kan ada sebagai bentuk perlawanan berbasis keagamaan, jika sekiranya revolusi Islam Iran tidak ada, umat Islam bisa terinspirasi dari perlawanan Taliban. Perlu diketahui, kemunculan Taliban tidak murni berbasis kesadaran umat melainkan produk dari dinamika geopolitik regional dan internasional, terutama selama Perang Dingin dan pasca-invasi Soviet. Melalui program CIA yang dikenal sebagai Operation Cyclone, Amerika Serikat memberikan dukungan besar kepada mujahidin Afghanistan, termasuk senjata, pelatihan, dan bantuan finansial dengan tujuan melemahkan Uni Soviet. Karena itu bisa dikatakan, kehadiran Taliban tidak cukup signifikan dalam berkontribusi pada perjuangan bangsa Palestina. Alih-alih membantu Palestina, terkadang Taliban malah memberi citra buruk pada politik Islam.

Oleh karena itu, jika Revolusi Islam Iran tidak pernah terjadi dan Iran tetap berada di bawah kekuasaan Syah hingga hari ini, nasib Palestina kemungkinan akan jauh lebih buruk. Tanpa dukungan Iran, perlawanan Palestina akan kehilangan salah satu sekutu paling kuatnya, dan Israel akan memiliki kebebasan lebih besar untuk memperluas pendudukan dan penindasannya. Poros Perlawanan di Timur Tengah mungkin tidak akan pernah terbentuk, dan kesadaran umat Islam tentang pentingnya mendukung Palestina akan jauh lebih lemah.

Revolusi Islam Iran bukan hanya sebuah peristiwa lokal, tetapi juga tonggak sejarah yang telah membentuk arah perjuangan umat Islam di seluruh dunia. Tanpa keberadaannya, perjuangan Palestina mungkin akan tenggelam dalam bayang-bayang dominasi Barat dan Zionisme, tanpa harapan untuk meraih keadilan dan kemerdekaan.

Berterimakasihnya Kelompok Perlawanan Palestina pada Iran

Untuk memperkuat argumentasi saya di atas, ucapan terimakasih dan pujian pimpinan-pimpinan Hamas sebagai perwakilan kelompok perlawanan Palestina pada Iran adalah bukti konkret, betapa kehadiran Republik Islam Iran dengan ideologi anti Zionisnya sangat urgen bagi perjuangan kemerdekaan Palestina.  Rasa berterimakasih telah diungkapkan terbuka dan berkali-kali oleh para pemimpin Hamas—mulai dari pendiri gerakan tersebut, Syaikh Ahmad Yasin, hingga tokoh-tokoh kunci seperti Ismail Haniyah dan Yahya Sinwar—atas dukungan besar yang diberikan oleh Iran terhadap perjuangan Palestina.

Dalam beberapa pidatonya, Syaikh Ahmad Yasin, salah satu pendiri Hamas, secara terbuka mengakui bahwa dukungan Iran sangat penting bagi perlawanan Palestina. Ia berkali-kali menegaskan bahwa solidaritas Iran terhadap Palestina tidak hanya bersifat retorika, tetapi juga nyata dalam bentuk bantuan militer, finansial, dan logistik. Ulama mujahid kharismatik ini juga menyebut Iran sebagai salah satu sekutu paling andal dalam perjuangan melawan pendudukan Israel.

Ketika banyak negara Arab mulai menjalin hubungan dengan Israel atau bahkan meninggalkan perjuangan Palestina, Iran tetap teguh dalam posisinya sebagai pendukung utama perlawanan. Syaikh Yasin sering kali menyampaikan pesan-pesan penghargaan kepada bangsa Iran atas komitmennya terhadap hak-hak rakyat Palestina. Syaikh Ahmad Yassin dalam kunjungannya ke Iran pada tahun 1998, menyampaikan bahwa negara yang secara resmi pertama kali mendukung perjuangan Hamas adalah Republik Islam Iran. Ia pun secara terbuka menyampaikan rasa terimakasih kepada bangsa Iran terkhusus kepada Imam Khomeini yang telah menggagas hari Jum’at terakhir Ramadhan sebagai hari solidaritas kaum muslimin sedunia atas perjuangan kemerdekaan Palestina dari penjajahan rezim Zionis Israel.

Begitupun dengan Ismail Haniyah. Mantan perdana menteri pemerintahan Hamas di Gaza dan salah satu pemimpin senior gerakan ini, telah berkali-kali menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Iran. Dalam wawancara dan pidato-pidatonya, Haniyah menekankan bahwa tanpa dukungan Iran, Hamas tidak akan mampu bertahan dalam menghadapi agresi Israel yang berkepanjangan.

Salah satu momen penting adalah ketika Haniyah menyatakan bahwa Iran adalah pilar utama perlawanan Palestina. Ia mengakui bahwa bantuan Iran telah memungkinkan Hamas untuk membangun kemampuan militernya, termasuk produksi roket dan pengembangan strategi pertahanan. Haniyah juga menyoroti bahwa Iran tidak hanya memberikan dukungan material, tetapi juga inspirasi spiritual bagi perlawanan Palestina. Tanpa sedikitpun beban psikologis, Ismail Haniyah memberikan gelar “Syahidul Quds” (yang syahid di jalan pembebasan Al-Quds) kepada Qassem Soleimani, Jenderal Iran yang terbunuh di Irak oleh serangan drone AS. 

Setelah serangan Israel yang intensif terhadap Gaza, Haniyah secara khusus menyebut Iran sebagai salah satu negara yang paling konsisten mendukung perjuangan Palestina, bahkan ketika banyak negara lain memilih diam atau bekerja sama dengan Israel.

Yahya Sinwar, pemimpin Hamas di Jalur Gaza, juga telah menyampaikan penghargaan mendalam kepada Iran atas kontribusinya terhadap perlawanan Palestina. Dalam beberapa kesempatan, Sinwar menegaskan bahwa dukungan Iran telah menjadi faktor penentu dalam keberhasilan Hamas melawan mesin perang Israel.

Sinwar menyebut Iran sebagai mitra strategis yang tidak hanya memberikan bantuan militer, tetapi juga berdiri teguh dalam prinsip-prinsip keadilan dan solidaritas Islam. Ia menekankan bahwa tanpa dukungan Iran, Hamas tidak akan mampu mencapai tingkat kekuatan yang dimilikinya saat ini. Sinwar juga menyebut bahwa Iran adalah salah satu dari sedikit negara yang benar-benar memahami penderitaan rakyat Palestina dan berkomitmen untuk membantu mereka.

Ucapan terimakasih para pemimpin Hamas ini dan kepercayaan kuat mereka pada dukungan Iran menunjukkan bahwa bukti dukungan Iran kepada Hamas tidak hanya terbatas pada kata-kata, tetapi juga tercermin dalam tindakan nyata. Baik itu berupa bantuan militer seperti telah menyediakan pelatihan militer, senjata, dan transfer teknologi kepada Hamas. Salah satu contohnya adalah pengembangan roket jarak jauh yang digunakan Hamas untuk menyerang target-target strategis Israel. Maupun bantuan secara finansial. Iran telah memberikan bantuan keuangan yang signifikan kepada Hamas untuk mempertahankan infrastruktur perlawanan di Gaza, termasuk rumah sakit lapangan, sekolah, dan program-program sosial untuk warga sipil.

Dan yang paling konsisten yang dilakukan Iran adalah, solidaritas politik. Iran secara konsisten menggunakan platform internasional untuk menyerukan penghentian pendudukan Israel dan mendukung hak-hak rakyat Palestina. Ini termasuk dukungan diplomatik di PBB dan organisasi internasional lainnya.

Selain Hamas, pemimpin-pemimpin Palestina dari kelompok-kelompok lain seperti Jihad Islam juga telah mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada Iran. Mereka menegaskan bahwa Iran adalah salah satu dari sedikit negara yang tidak pernah meninggalkan Palestina, bahkan ketika dunia Arab dan internasional mulai melupakan isu ini.

Sebagai contoh, dalam sebuah wawancara, pemimpin Jihad Islam Ziad al-Nakhalah menyatakan bahwa Iran adalah mitra sejati dalam perjuangan melawan Zionisme. Ia menambahkan bahwa tanpa dukungan Iran, perlawanan Palestina tidak akan memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan mesin perang Israel.

Saya ingatkan kembali, Iran tidak hanya mendukung Hamas secara langsung, tetapi juga mempromosikan solidaritas global terhadap Palestina melalui inisiatif-inisiatif seperti Hari Al-Quds Sedunia. Inisiatif ini, yang dicanangkan oleh Imam Khomeini, telah menjadi simbol perjuangan Palestina di seluruh dunia. Banyak pemimpin Palestina, termasuk anggota Hamas, telah memuji Hari Al-Quds sebagai momentum penting untuk menyatukan umat Islam dalam mendukung perjuangan Palestina.

Ucapan terima kasih dari para pemimpin Hamas seperti Syaikh Ahmad Yasin, Ismail Haniyah, dan Yahya Sinwar, serta pemimpin-pemimpin Palestina lainnya, adalah bukti nyata dari pentingnya peran Iran dalam mendukung perjuangan Palestina. Tanpa dukungan Iran, poros perlawanan Palestina akan kehilangan salah satu sekutu paling kuat dan kredibelnya, yang dapat menyebabkan melemahnya posisi tawar mereka di tingkat internasional.

Revolusi Islam Iran tidak hanya memberikan dukungan material, tetapi juga inspirasi spiritual dan moral bagi perlawanan Palestina. Dalam konteks ini, Iran bukan hanya sekutu politik, tetapi juga simbol perlawanan terhadap penjajahan dan dominasi asing. Oleh karena itu, jika Revolusi Islam Iran tidak pernah ada, nasib Palestina hari ini kemungkinan akan jauh lebih suram, dengan sedikit harapan untuk meraih keadilan dan kemerdekaan. Dengan fakta ini, aneh jika ada yang memuji-muji Hamas, sebagai simbol keteguhan dan perjuangan yang kokoh dalam menghadapi agresi Israel dengan ideologi anti penjajahan, tapi abai pada peran Iran dan revolusi islam Iran.

*Mahasiswa S3 Universitas Internasional Almustafa Iran 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *