Bagaimana Konsep Kedaulatan Negara dalam Perspektif Imam Khomeini?

Bagaimana Konsep Kedaulatan Negara dalam Perspektif Imam Khomeini?

Tehran, Purna Warta Setiap negara menginginkan kedaulatan, bahkan menjadi cita-cita tertinggi. Kedaulatan berasal dari bahasa Arab, dari asal kata daulah, yang artinya kekuasaan. Dengan pengertian ini kedaulatan  dalam  kehidupan  bernegara  menjadi memiliki peran  yang  sangat urgen dan signifikan, sebab menjadi  simbol  kekuasaan  dalam  sebuah  negara.

Baca Juga : Jauhi Dollar, Presiden Brazil Dorong Pembentukan Mata Uang Regional

Ahli tata negara dari Prancis, Jean Bodin menyebut kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara. Bodin menyebut ada empat sifat pokok dari kedaulatan. Pertama bersifat asli, yaitu kekuasaan tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Kedua permanen, yaitu kekuasaan itu tetap ada sepanjang negara tetap berdiri walaupun pemerintah telah berganti. Ketiga tunggal, yaitu kekuasaan tersebut merupakan satu-satunya dalam negara dan tidak dibagikan kepada badan-badan lain. Keempat, tidak terbatas, yaitu kekuasaan tersebut tidak dibatasi oleh kekuasaan lain.

Pertanyaan kemudian, siapa pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara?. Jawaban bisa berbeda-beda bergantung pada teori kedaulatan yang dianut. Untuk Indonesia sendiri, kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Hal ini sudah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.”

Senada dengan apa yang ada di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 2, maka kekuasaan tertinggi dapat diartikan sebagai kedaulatan yang ada di dalam suatu negara. Dengan kata lain, kedaulatan tertinggi yang ada di Indonesia berada di tangan rakyat.

Bagaimana dengan Iran?

Pra revolusi Islam Iran, Iran di bawah kekuasaan Syah Pahlevi menganut teori kedaulatan raja. Yaitu kedaulatan berada pada raja. Dalam teori ini, rakyat mempercayakan raja untuk membuat semua aturan-aturan yang berkaitan dengan sistem tata negara, yang baik secara rela atau terpaksa rakyat harus mengikuti semua aturan-aturan tersebut. Negara yang menerapkan teori yang dicetuskan oleh Niccolo Machiavelli ini sering disebut sebagai negara monarki.

Baca Juga : Rezim Zionis Makin Beringas, Kok Dunia Makin Bungkam?

Berdirinya Republik Islam Iran pada tahun 1979 menandai sistem politik baru di Iran dengan menerapkan kedaulatan rakyat. Hanya saja kedaulatan rakyat yang berlaku di Iran  pasca revolusi tidak sama dengan pada umumnya negara demokrasi. Sebagai arsitek   berdirinya Republik Islam Iran, Imam Khomeini yang merupakan ulama fakih menempatkan sumber-sumber hukum Islam (baca: Al-Qur’an dan as-Sunnah) sebagai sumber hukum dan konstitusi negara.

Dengan diarsiteki Imam Khomeini  yang merupakan ulama marja taklid dari Syiah Itsna Asy’ariyyah dan juga mayoritas warga Iran adalah penganut mazhab Syiah Itsna Asya’riyyah maka hukum Islam yang diterapkan secara umum dan dijadikan pegangan dasar negara adalah Islam corak Syiah Itsna Asy’ariyyah. Dalam sistem ini pemimpin tertinggi yang harus merupakan seorang faqih  dibantu  dengan  tiga  elemen  yaitu legislatif,  eksekutif  (Presiden)  dan  yudikatif. Konsep negara dengan pemimpin tertinggi dari ulama faqih ini diberi nama Wilayatul Faqih. Meski aslinya Wilayatul Faqih ini adalah konsep kedaulatan Tuhan dengan faqih sebagai pelaksana dan eksekutor kehendak Tuhan namun dalam praktiknya Imam Khomeini tidak  meninggalkan  peran  rakyat  dalam menjalankan  atau  mengarahkan  jalan  pemerintahan seperti misalnya  melalui  pemilihan  wakil  di legislatif dan pemilihan presiden.

Dengan adanya pelibatan langsung rakyat baik dalam pemilihan wakil di legislatif maupun pemilihan presiden, menunjukkan meskipun kedaulatan  nasional  yang  dianut  Iran adalah  kedaulatan  Tuhan  dan sistem  pemerintahan  menggunakan  sistem Wilayatul Faqih namun pemerintahan  yang  diterapkan adalah pemerintahan rakyat. Jaminan  terhadap  hak-hak  sebagai  warga  negara  di  jamin  sepenuhnya oleh  Undang-Undang  Dasar,  tidak  ada  hak  istimewa  terhadap  warga  negara  etnis atau  kelompok tertentu, dan tidak ada alasan untuk mendapatkan hak istimewa secara khusus, meskipun penganut agama atau mazhab yang mayoritas di Iran.

Penyelenggaraan kedaulatan rakyat dalam konsep negara yang dibangun Imam Khomeini ini dapat dilihat dari Undang-Undang  Dasar  (UUD) yang  disusun  setelah Revolusi  Islam  Iran  yang  kemudian  disahkan  Imam Khomeini  sebagai  pemimpin  tertinggi Republik  Islam  Iran  saat itu. Dalam UUD Republik Islam Iran pasal 62 disebutkan sistem Wilayatul Faqih menerapkan konsep syura atau perwakilan. Anggota Majelis Syura dipilih langsung oleh rakyat yang mewakili suara mereka. Begitu juga dalam memilih presiden yang akan memimpin dan menjalankan roda pemerintahan.

Baca Juga : Jika Masih Tunduk pada Dominasi AS, Noam Chomsky Ramalkan Kejatuhan Eropa

Imam Khomeini menegaskan dalam pidatonya, “Wali   Faqih   adalah   seorang   individu   yang   memiliki   moralitas   (akhlak), patriotisme,  pengetahuan  dan  kompetensi  yang  telah  diakui  oleh  rakyat. Rakyatlah yang  memilih  figur  mana  yang  memenuhi  kriteria  semacam  itu.  Rakyat  sendirilah, sekali lagi, yang mengelola urusan-urusan administrasi dan bidang-bidang kerja serta urusan  lain  dalam  pemerintahan  mereka.  Rakyat  berhak  memilih  sendiri  presiden mereka,  dan  sudah  semestinya  demikian,  sesuai  dengan  hak  asasi  manusia,  Anda semua   rakyat,   harus   menentukan   nasib   anda   sendiri.   Majelis   (parlemen   Iran) menempatkan  posisi  tertinggi  diatas  semua  institusi  yang  lain,  dan  majelis  ini  tidak lain merupakan pelembagaan kehendak rakyat.“

Dari pidato ini, Imam Khomeini secara langsung menegaskan rakyat mempunyai  peran  yang  tidak  bisa  dinafikan  dalam  pemerintahan. Apabila  peran rakyat  dalam  pemerintahan  dibatasi bahkan ditutup  oleh  penguasa,  maka  rakyat sebagai pemegang kedaulatan berhak   melakukan   perlawanan   karena   penguasa   telah   melakukan   kedzaliman terhadap hak-hak rakyat.

Islam  yang diyakini Imam Khomeini tidak  mengenal  pemerintahan  yang  bersifat  tirani  dan  absolut dalam kekuasaan  negara. Ulama kelahiran tahun 1902 ini   menekankan   pada perlindungan  hak,  kebebasan  dan  kemerdekaan  warga  negara  yang  telah  ditetapkan oleh hukum Al-Qur’an dan as-Sunnah.  Menurutnya Wilayah  Faqih  bukan  pemerintahan  monarki juga  bukan  pemerintahan  absolut  tetapi  sebuah pemerintahan  konstitutional. Pemerintahan Iran yang baru pasca revolusi memberikan ruang bagi    rakyat  untuk  ikut    berpartisipasi    dalam penyelenggaraan  pemerintahan.

Pemilihan  langsung  dalam  pemilihan  faqih  yang telah   menenuhi   syarat,   presiden   dan   anggota Majles-e-Shura-e-Islami   sebagai parlemen   rakyat   yang   berjumlah   270   anggota menjadi bukti bahwa rakyat Iran mempunyai peran dalam menentukan penyelenggaraan pemerintahan. Pemilihan  wakil  yang  ada  di  parlemen  atau  legislatif  dalam  pandangan Imam Khomeni menggunakan  teori  kepemilikan  bersama  terhadap  negara.  Dengan kepemilikan  bersama  terhadap  negara,  hal  ini  mendorong  individu  untuk  mewakili masyarakat guna membaktikan diri demi kedamaian kehidupan bersama. Menurut  Imam Khomeini,   pemerintahan Wilayatul   Faqih  adalah   pemerintahan rakyat,   tetapi   sumber   hukum   dan   kedaulatan   tetap   berpegang   pada   Tuhan. Konsep ini benar-benar berbeda dengan yang diterapkan sebelumnya pada era rezim Pahlevi yang menempatkan raja sebagai pemilik kedaulatan. Juga berbeda dengan yang berlaku di Indonesia sebab Indonesia adalah negara dengan kedaulatan berada di tangan rakyat, yaitu kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Maka dari itu legitimasi kekuasaan pemerintah adalah berasal dari rakyat.

Baca Juga : Imam Jum’at Baghdad Dorong Politisi Irak Merdeka dari Timur dan Barat

Di Indonesia kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyat memberikan kekuasaan pada wakil rakyat yang menduduki lembaga legislatif maupun eksekutif untuk melaksanakan keinginan rakyat. Di Iran sumber hukum dan pemiliki kedaulatan adalah Tuhan, namun rakyat tetap memiliki peran aktif dengan penentuan mereka yang duduk di eksekutif dan legislatif  berada di tangan rakyat.

-Ismail Amin-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *