oleh: Dr. Muhsin Labib
Dunia memang ada-ada saja, bahkan mengada-ada. Dulu, Mesir sempat dihujat dan dikucilkan komunitas Arab, bahkan keanggotannya di Liga Arab dinonaktifkan. Pasalnya, negeri piramida itu meneken kesepakatan damai dengan rezim zionis “Israel” di Camp David.
Tapi perlahan, situasi berbalik. Kini, Mesir malah dipandang sebagai pionir dari gelombang “normalisasi” yang berorientasi mengenyahkan isu hingga eksistensi Palestina. Satu dekade kemudian, Jordania mengekor jejak Mesir.
Mulanya, fenomena Arab Spring yang merebak satu dekade silam dibajak rezim arogan AS untuk meremukkan Suriah demi memutus mata rantai poros resistensi pimpinan Iran.
Apa daya, makar degil itu gagal total. Tapi bukan Amerika namanya kalau tak punya ribuan rencana culas cadangan. Strategi amankan rezim palsu zionis “Israel” diubah total. Kini, AS mati-matian mengilusikan Iran sebagai ancaman bersama bagi eksistensi para monarki Arab terutama di Teluk dan rezim kolonial zionis “Israel”.
Kawanan zionis langsung terjun ke medan propaganda dan fitnah. Agenda utama yang diusung, “Kepung Iran” yang notabene Syiah sekaligus non Arab. Rezim ilegal zionis “Israel” tampaknya berhasil meyakinkan sejumlah monarki Arab (yang sebelumnya gagal membendung gerakan resistensi anti “Israel” di kawasan dan dunia Islam meski ditekan ragam sanksi dan embargo) untuk membangun persekongkolan baru Arab-“Israel”. Satu demi satu rezim Arab, monarki-monarki sekutu Amerika mendeklarasikan normalisasi hubungan dengan “Israel”.
Setelah UEA, kerajaan liliput bernama Bahrain, yang secara historis dan kultural pernah jadi bagian dari teritori Iran, membuka hubungan diplomatik dengan rezim zionis yang terus merampas tanah warga sesama Arabnya di Palestina. Meski dikecam secara verbal oleh otoritas Palestina pimpinan Mahmud Abbas yang juga bergantung secara finansial kepada zionis yang dikutuk warga Palestina sebagai pengkhianatan dan restu diam-diam atas penjajahan tanah mereka, pengakuan diplomatik atas eksistensi “Israel” makin santer. Maroko, yang sedang bersitegang dengan Aljazair terkait Polisario, tak hanya menjalin hubungan diplomatik namun juga meneken kerjasama militer dan intelejen. Beberapa negara Arab telah masuk dalam list kandidat kawan resmi rezim zionis berikutnya, seoerti Sudan, Komoro, dan Arab Saudi.
Kini Palestina seolah hanya menjadi masalah rakyat Palestina yang melalui representasinya, yaitu Hamas, Jihad Islam, dan faksi-faksi militer Palestina yang didukung Iran, menolak proposal damai yang dipaksakan AS. Palestina sekarang hanyalah bagian dari masa lalu dunia Arab.
Tak hanya tidak mendukung aksi militer dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, para monarki dan diktator Arab malah mencap perlawanan bersenjata rakyat Palestina sebagai aksi teroris dan proksi Iran.
Upaya mengisolasi Iran dan menghancurkan poros resistensi terus digencarkan zionis cs. Setelah dipaksa mengakui kegagalan makar menggulingkan Bashar Assad, sekutu Iran, dengan memporakporandakan Suriah negeri dan menghasut rakyatnya, kini UEA selaku monarki sekutu Saudi dan “Israel”, mulai mengubah strateginya.
Pertama, membujuk Bashar memutus kerjasama dengan Iran seraya menawarkan imbalan kembali ke Liga Arab dan bantuan finansial guna merekonstruksi infrastruktur yang hancur dan rusak total akibat terorisasi selama beberapa tahun. Rayuan maut itu disampaikan menlu UEA yang beberapa hari lalu berkunjung ke Damaskus.
Rencana itu gagal total. Pada saat bersamaan, nyaris seluruh wilayah Suriah yang sebelumnya dijarah teroris dan pemberontak dukungan asing kembali direbut oleh tentara nasional Suriah dengan dukungan Hezbollah, Iran, dan Rusia.
Kedua, mengintimidasi Lebanon dengan tujuan memojokkan Hezbollah melalui beragam skenario. Di antaranya:
a. Menuduh Hezbollah sebagai pelaku pembunuhan PM Rafiq Hariri demi memicu konflik sektarian Sunni-Syiah;
b. Menuding Hezbollah sebagai pelaku peledakan gudang limbah berbahaya di pelabuhan Beirut;
c. Memacing Hezbollah agar terseret dalam skenario perang saudara Muslim Syiah versus Kristen Ortodoks melalui ulah penjahat perang, Samir Geagea bersama milisi gerombolan bersenjata pro zionis;
d. Meneror pemerintah Lebanon dan mengancam putus hubungan bila tidak melucuti senjata Hezbollah dan menyingkirkannya dari pentas politik nasional Lebanon.
Rencana ini juga kandas setelah Lebanon menyatakan akan mempertahankan kedaulatan dengan menolak pemecatan Menteri Informasi, Goerge Kurdahi, yang mengecam invasi Saudi terhadap Yaman.
Ketiga, mengintervensi urusan dalam negeri Irak demi melemahkan pengaruh ideologis dan kulural Iran melalui beragam skenario.
a. Mendelegitimasi faksi-faksi perlawanan dalam tubuh Hashd Sha’bi yang kerap disebut milisi bersenjata pro Iran dalam arena politik nasional dengan mendorong PM Kazhimi memalsukan hasil pemilihan legislatif dan memenangkan kubu Moqtada Sadr yang sudah menjalin kerjasama dengan Amerika via Saudi;
b. Menghidupkan kembali sisa sel-sel ISIS di sejumlah wilayah di Irak dengan aksi-aksi teror sporadis dengan tujuan mengawetkan instabilitas keamanan;
c. Mendorong sejumlah politisi oportunis untuk meributkan isu sentimen rasial anti Iran sekaligus mengangkat isu menjalin hubungan diplomatik dengan “Israel” via UEA.
Tapi, rencana ini juga buyar. Justru Iran diundang PM Kazhimi sebagai penengah antar faksi politik yang bertikai menyusul gelombang protes pemalsuan surat suara dan mengisolasi Moqtada bersama faksinya dalam kancah politik yang membuatnya mati langkah dalam menyusun kabinet pemerintahan meski memenangkan kursi terbanyak di parlemen.
Di Yaman, di tengah kepungan konspirasi multidimensi itu, keadaan di medan tempur justru berbalik 180 derajat. Pasukan agresor Saudi bersama sekutunya makin keteteran oleh sergapan dan serbuan tentara Yaman di bawah komando Houthi yang begitu patriotik.
Alhasil, isu Palestina lenyap dari lingkungan monarki dan negara otoriter Arab sekutu AS yang telah menjalin hubungan tertutup maupun terbuka dengan rezim penjajah zionis “Israel”. Dengan kata lain, rezim apartheid itu makin congkak dan biadab berkat dukungan elit bangsa Arab dalam lingkaran Saudi.
Namun pada saat yang sama, isu Palestina justru menjadi spirit yang menyatukan seluruh gerakan resistensi di Palestina sendiri, Lebanon, Suriah, Irak, Yaman yang didukung Iran, serta bangsa Arab yang sudah muak dengan pengkhianatan para penggede mereka dan khalayak internasional yang anti penjajahan dan hegemoni AS. Gelombang demo pro rakyat Palestina justru lebih marak di banyak ibukota dan kota-kota di manca negara Eropa.
Nasib Palestina ada di tangan rakyat Palestina yang belum terjangkiti pesimisme berkat spirit yang seluruh dipompa oleh Sayid Hasan Nasrallah dalam setiap pidatonya dan para pendukung paradigma resistensi di manapun serta konsistensi sejumlah negara yang mempertahankan nilai keadilan dan anti penjajahan, termasuk negeri tercinta Indonesia.
Sumber: https://t.me/ArsipChannel_Tulisan_ML