Purna Warta – Mahmoud Abbas, Pemimpin Otoritas Palestina, akhir bulan lalu telah menentukan waktu penyelenggaraan Pemilu parlemen, kepemimpinan dan dewan nasional. Berdasarkan ketentuan, Pemilu parlemen akan dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2021, pemungutan suara untuk kepemimpinan dilaksanakan setelahnya, tepatnya tanggal 31 Juli 2021 sedangkan Pemilu dewan nasional tercantum tanggal 31 Agustus 2021. Dan pertanyaannya sekarang, apakah Pemilu 2006 akan terulang kembali?
Bulan September 2020 lalu, gerakan-gerakan Palestina mengadakan pertemuan di Turki dan mereka sepakat penyelenggaraan Pemilu secepat mungkin.
Mengenai tiga Pemilu di atas, tertulis bahwa ini adalah Pemilu pertama dalam satu dekade terakhir pasca Pemilu di tahun 2005-2006 lalu. Karena terakhir Palestina mengadakan Pemilu kepemimpinan dan parlemen di dua tahun tersebut.
Kala itu kemenangan diraih oleh Hamas, tapi hasil Pemilu ditolak oleh gerakan Fath Palestina pimpinan Mahmoud Abbas.
Dan sekarang disetujui tahun 2021 ini akan pelaksanaan Pemilu setelah 15-16 tahun berlalu. Dan kini permasalahan bukan seperti dahulu. Penghalang muncul dari rezim pendudukan, Zionis. Adalah Arabi21 yang menganalisa tiga Pemilu berkesinambungan Palestina ini.
Ancaman ke Petinggi Mukawamah
“Rezim Zionis akhir-akhir ini meningkatkan tekanannya terhadap para aktifis, petinggi dan pihak-pihak bebas Palestina di Tepi Barat dan mengancam mereka jika hadir dalam pencalonan Pemilu parlemen, yang akan dilangsungkan tanggal 22 Mei depan,” tulis Arabi21 menjelaskan.
Berdasarkan laporan ini, para analis politik yakin bahwa langkah ini akan melukai demokrasi, terutama sikap Zionis yang menghalangi dan mengancam pencalonan mereka.
“Oleh karena itulah, masyarakat dunia harus terjun dan mencegah ancaman atas para tokoh Tepi Barat dan menghentikan upaya mereka (Zionis) dalam menghapus peran mereka (petinggi Tepi Barat) dalam ranah politik masa depan Palestina,” tegas para pakar politik.
Salah satu anggota organisasi Komite Palestina Boikot Universitas dan Budaya Israel, Omar Barghouti adalah salah seorang yang diancam oleh Israel agar tidak mencalonkan diri dalam Pemilu.
Mengenai hal ini, Barghouti menjelaskan, “Di bawah kolonialisme dan pendudukan, hal seperti ini adalah hal wajar. Para kolonial tidak akan membiarkan gerakan Mukawamah, yang berupaya mengusir Zionis dan mengeluarkan mereka dari tanah airnya, untuk ikut dalam pemilihan umum.”
Pengalaman yang akan Terulang Kembali
“Tidak mungkin para penjajah membiarkan Mukawamah meramaikan Pemilu. Mereka akan berupaya dengan segala kemampuannya untuk menetap lebih lama. Palestina memiliki pengalaman Pemilu di bawah kolonialisme pada tahun 2006, mereka harus mengambil pelajaran dari kejadian itu,” tambahnya.
Omar Barghouti juga menjelaskan bahwa di balik tirai musuh mengatakan, jika Hamas menang dalam Pemilu ini, para penjajah akan menyergap, menangkap para Wakil dan melempar mereka ke penjara.
“Dengan begitu, maka pengesahan akan jatuh ke tangan yang lain sehingga segala hal yang tidak bisa diterima dan merugikan Palestina akan tertulis oleh pihak Palestina sendiri,” jelas Barghouti.
“Batas resmi dan sah, dari kepemimpinan hingga parlemen dan lainnya di Tepi Barat, setingkat dengan peresmian satu prajurit keamanan di kota kecil Beit El. Batasnya tidak akan mencapai tingkat menteri pemerintahan penjajah yang memiliki kekuasaan. Peran Otoritas Palestina berhubungan erat dengan manajemen sipil Israel dan dalam beberapa hal bisa lebih buruk lagi… Ini adalah fakta bukan klaim. Penyelenggaraan Pemilu di bawah kolonialisme harus serius dan dianalisa secara mendalam, terkhusus masalah koalisi. Karena kolonialisme tidak akan membiarkan petinggi kekuatan resistensi terpilih,” tambahnya.
Apa Urgennya Pemilu di Bawah Kolonialisme?
Omar Barghouti yakin bahwa Pemilu akan sukses diselenggarakan di bawah resolusi Oslo. Tapi bukan untuk ranah kekuasaan tapi hal lainnya yang masih urgen untuk Palestina.
“Pemilu akan terselenggara jauh di bawah limit resolusi Oslo, yang dibentuk untuk mengesahkan mayoritas kekuasaan dan otoritas ke pihak Palestina. Otoritas besar itu tidak akan diberikan begitu saja ke Palestina. Akan tetapi Pemilu bisa dilaksanakan dengan tujuan menciptakan reformasi dalam pendidikan, kesehatan dan hal lainnya yang urgen untuk Palestina,” jelasnya.
Di bawah penjajahan, tidak ada jaminan kesuksesan penyelenggaraan Pemilu, kata Barghouti melanjutkan.
“Di Pemilu lalu, semua pihak internasional hadir dan menyaksikan transparansi penyelenggaraan Pemilu. Ketika Hamas diumumkan menang, (langsung) strategi lari dari hasil Pemilu diaplikasikan. Semua pihak yang (sebelumnya) mengagung-agungkan demokrasi dan menyebut Pemilu demokratis, langsung memblok dan mengurung pemerintahan terpilih dan mereka lari dari payung demokrasi. Hingga sekarang saya melihat orang-orang terpilih berada di penjara kolonial tanpa adanya hak-hak,” jelasnya.
Kekhawatiran Sipil Ikut Pemilu
Hilmi al-A’raj, Direktur pusat pembebasan hak sipil, menyatakan, “Para kolonial berupaya untuk menjatuhkan warga Palestina ke jurang ketakutan untuk mencegah mereka aktif dalam aktifitas urusan nasional, sosial, politik, hak dan lainnya. Semua ini dilakukan untuk mengontrol nasib serta kehidupan sehari-hari bangsa dan keputusan mereka. Pemilu juga termasuk dalam hal ini yang selalu diintervensi dan dimanipulasi hasilnya oleh Israel.”
“Rezim Zionis berupaya mencegah partisipasi penduduk al-Quds dalam Pemilu, baik dalam masalah pencalonan maupun pemberian suara. Selain itu, anggota-anggota dewan terpilih legislatif akan diintai dan ditahan secara manajemen untuk menghalangi aktifitas dan peran mereka berikut menakut-nakuti lainnya,” tambahnya.
Pakar HAM Palestina ini melanjutkan, “Israel telah mengirim surat ancaman kepada semua aktifis Palestina dan memperingatkan mereka untuk tidak mencalonkan diri dalam Pemilu depan. Sikap ini telah melanggar hukum.”
Semua aktifis ini, menurut Hilmi al-A’raj, jika ingin partisipasi, harus mencalonkan diri. “Biarkan para kolonial berbuat apa saja. Karena bisa saja mereka tetap menerima ancaman, baik ikut dalam Pemilu ataupun tidak. Partisipan akan tetap ditangkap, baik menang di Pemilu atau tidak.”
Pakar HAM Palestina ini mengajak semua pihak untuk tidak menggubris ancaman Israel. “Tunaikan hak kalian dan jangan menyerah.”
“Seandainya kolonial datang dan mengucapkan ini dan itu untuk memaksa kalian agar mengatakan saya bukan orang Palestina, atau mengancam kalian, kamu akan saya tangkap atau usir atau yang lainnya. Palestina tidak akan menerima hal itu, Palestina tidak akan menghapus identitasnya. Orang Palestina tidak boleh tawar-menawar hak dalam Pemilu, baik pencalonan maupun memberikan suara,” tegasnya memperingatkan.
Internasional juga harus sadar, menurut pandangan al-A’raj, bahwa Israel yang mengklaim demokrasi, dirinya sendiri jauh dari demokrasi, karena mereka telah menjajah bangsa lain.
“Dunia harus tahu dan memahami fakta ini. Mereka harus tahu wajah asli Israel yang telah menghalangi Palestina untuk partisipasi dalam Pemilu resmi.”
Bendungan Utama Zionis adalah Palestina Itu Sendiri
Hilmi al-A’raj menghimbau masyarakat dunia untuk ikut mengamati Pemilu dan membela hak bangsa Palestina, yang ingin meramaikan Pemilu dan mencalonkan diri, sebagai hak manusiawi dan sah.
“Mungkin hal ini akan mencegah kolonialisme. Namun keputusan umum Palestina untuk terjun berpartisipasi dalam jalan demokrasi dan menetap hingga akhir, bisa menjadi pencegah utama rezim Zionis.”
Di akhir Hilmi al-A’raj menegaskan, “Kegagalan Pemilu akan menjadi bukti kekalahan satu bangsa untuk hidup dalam nafas demokrasi dan ketidakmampuan mereka dalam manajemen permasalahan mereka sendiri. Maka rakyat dan petinggi Palestina harus memutuskan untuk mendukung Pemilu dan menghormati segala hasil Pemilu.”