Purna Warta – Hari demi hari, pemerintah Prancis mengambil langkah keras anti perempuan berhijab. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka membangun pondasi hukum melawan sipil perempuan Muslim berkerudung.
Para politikus dan media Paris memutuskan untuk perang melawan perempuan berhijab Maryam Bojito, Ketua terpilih Persatuan Nasional Mahasiswa di universitas Sorbonne pada tahun 2018. Bahkan mereka menyebut Maryam sebagai orang separatis.
Serangan ke Maryam Bojito dimulai sejak dirinya muncul dengan memakai hijab atau kerudung di acara televisi. Sebagian menyebut Maryam bukanlah perempuan karena mode baju yang dipakai, yang menurut mereka berat dan terpilihnya Maryam dianggap telah mengotori kehormatan universitas-universitas.
Baca Juga : Hamas Masuk Buku Teroris, Apa Bias Hukumnya?
Perang anti Maryam Bojito tidak berhenti sampai di sini. 2 tahun setelah peristiwa ini, anggota Komisi Parlemen Prancis menolak untuk menghadiri acara analisis dampak Corona dalam pertemuan dengan para Wakil Pemuda karena kehadiran Maryam Bojito. Bahkan Gerard Collomb, salah satu Menteri di Kabinet Emmanuel Macron menyebut Maryam sebagai seorang separatis.
Sejarah panjang Eropa melawan anti hijab memang tertulis tajam dalam lembaran histori. Terakhir ini, Dewan Eropa terpaksa menghapus sponsor-sponsor di Medsos yang mengundang penghormatan atas hak perempuan Muslim untuk berhijab. Kebijakan Dewan Eropa ini dilakukan karena desakan serta protes Prancis dan ini bisa dikategorikan dalam siasat terbaru Eropa dalam menekan perempuan berhijab.
15 Juli lalu, pengadilan Eropa di Luxembourg mengeluarkan satu aturan yang berisi larangan memakai hijab Islami di tempat kerja. Di sana ditegaskan bahwa keputusan ini jauh dan bukan termasuk diskriminasi anti minoritas Muslim di Eropa, akan tetapi ini adalah langkah pencegahan konflik sosial.
Kebijakan ini adalah reaksi serta respon dari aduan atas dua Muslim perempuan yang tinggal di Jerman. Salah satu dari dua perempuan tersebut bekerja sebagai perawat di rumah lansia dan satu lagi bekerja sebagai pekerja di apotik. Majikan di tempat kerja dua perempuan mengadukan dan meminta mereka untuk melepas hijab.
Baca Juga : Tawaran Israel ke Mesir: Ubah Perjanjian Camp David
Pengadilan keadilan Eropa mengklaim bahwa majikan kedua perempuan Muslim tersebut telah membuktikan bahwa keputusan ini penting untuk diambil demi menciptakan netralitas agama di tempat kerja untuk semuanya.
Hukum ini termasuk langkah baru dalam menekan perempuan berhijab. Tentunya langkah ini setelah beberapa langkah sebelumnya yang telah diputuskan di negara-negara seperti Prancis, Jerman, Belgia, Denmark dan Bulgaria melawan perempuan Muslim berhijab. Para perempuan Muslim menghadapi banyak masalah, khususnya dalam hak pendidikan, hak kerja dan aktifitas olahraga.
Muslim Sebagai Rekonstruktor Eropa Pasca Perang Dunia II
Sejak abad ke 20, banyak negara Eropa yang melepas daerah penjajahannya. Mereka pulang dengan memikul kekalahan besar militer dan ekonomi. Khususnya pasca perang Dunia II yang telah menghancurkan Benua Biru dan membunuh jutaan sipil. Berdasarkan fakta inilah, negara-negara Eropa mencari kekuatan pekerja untuk rekonstruksi Benua Biru.
Di saat itulah, ribuan warga dari negara-negara Arab dan Muslim, yang mencari masa depan lebih cerah, beradu nasib dengan hijrah ke Eropa. Mereka adalah pemenuh kebutuhan pekerja negara-negara Eropa.
Baca Juga : China Bangun Basis Militer di Emirat, Apakah Abu Dhabi Ragukan AS?
Akan tetapi, kelompok Arab dan Islami ini tidak datang dengan sendirian. Mereka juga membawa adat dan ideologi agamisnya di life style mereka. Yang paling jelas dibawa oleh mereka adalah hijab yang disandang oleh perempuan Muslim dalam aktifitas sehari-hari.
Sejak itulah perang Barat melawan hijab Islami ditarik masuk ke ranah hukum Uni Eropa. Jalanan Eropa menjadi saksi keramaian hijab Islami perempuan Muslim.
Barat yang gempar perang dengan hijab di negara-negara Muslim, kini merasakan sendiri masalah ini yang telah berevolusi menjadi perang budaya Eropa.
Prancis Musuh Utama Hijab di Benua Biru
Semenjak awal, Prancis telah menjadi musuh utama hijab Muslim. Paris selalu membanggakan hukumnya dan menganggapnya sebagai tangan panjang revolusi Prancis. Mereka mengimpikan negara Prancis yang berasaskan kebebasan dan persamaan. Akan tetapi hukum yang disucikan oleh Paris tersebut, dari satu sisi, menjadi alat diskriminasi dan penghinaan pihak lain.
Perselisihan mengenai hijab di Paris pada tahun 2003, oleh Prancis dijadikan alasan disetujuinya hukum larangan penggunaan atribut agamis, seperti kerudung, di sekolah-sekolah dan sosial umum di negara mode ini.
Baca Juga : Latihan Militer Iran: Generasi Muda dan Senjata Dalam Negeri
Batasan Hukum Paris untuk Perempuan Berhijab
Pemerintah Paris menyebut siasat anti Islamnya dengan upaya membebaskan perempuan-perempuan Muslim. Namun kebijakan ini membuat petinggi pemerintahan mengangkangi hak perempuan Muslim dalam pendidikan, kerja, aktifitas olahraga dan menemani anak-anaknya di tempat pariwisata.
Dalam hal ini, Emmanuel Terray, salah satu analis Paris, dalam salah satu tulisannya berjudul ‘Headscarf: Hysteria Political’ menjelaskan bahwa ada banyak sensifitas versus perempuan berhijab, karena mereka hanyalah satu-satunya pihak yang bisa diincar oleh politik sekular Paris. Sementara tidak ada satupun petinggi Prancis yang bisa menjamah para Biarawati Katolik atau Yahudi dengan sensifitas yang sama.
Eksploitasi Perempuan dalam Film-Film Porno Tidaklah Penting di Mata Eropa
Orang-orang Eropa yakin bahwa dengan melawan hijab, mereka telah membela para perempuan. Akan tetapi di saat yang sama, tidak ada pembahasan dan analisis sama sekali tentang perdagangan yang eksploitasi perempuan, seperti PSK, atau manipulasi perempuan dalam propaganda atau di film-film porno.
Banyak sekali imigran dari luar Eropa yang menanti visa untuk menetap di negara-negara Benua Biru. Mereka mencari kebebasan dalam transportasi dan selamat dari siasat tak tentu mereka yang terkadang berakhir pada pengusiran. Jika ada seorang perempuan berhijab, dipastikan ia akan menghadapi banyak masalah.
Kantor Kewarganegaraan Prancis mengklaim bahwa hijab telah menjadi penghalang dalam penggabungan perempuan Muslim ke sosial Paris. Hijab bertentangan dengan nilai-nilai Paris dan oleh karena itulah, perempuan Muslim mengalami banyak masalah dalam permohonan kewarganegaraan Prancis.
Baca Juga : Unjuk Kekuatan Iran di Selat Hormuz
Syarat Kompleks Permohonan Kewarganegaraan Eropa
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, kantor Kewarganegaraan Prancis mengajukan persyaratan yang sangat sulit kepada perempuan berhijab saat wawancara.
Sesaat setelah masuk kantor ini, mereka dituntut untuk mengurangi baju dan melepas hijab. Jika setuju dengan syarat ini, mereka akan memberikan poin kepadanya. Namun jika menolak, dalam bukunya akan tercantum poin negatif.
Tak berhenti di sini saja, seandainya perempuan Muslim setuju melepas hijab, kantor Kewarganegaraan Prancis akan meminta karyawan laki-laki untuk hadir dalam ruangan tersebut. Mereka ingin menimbang reaksi perempuan Muslim tersebut. Setiap reaksi akan ditulis dalam catatan sebagai poin tingkat keinginan mereka bergabung dalam sosial dan gaya hidup Paris.
Baca Juga : Resmikan Ilisu Dam, Bener-Bener Turki Ajak Ribut Tetangga
Jean Michel Blanquer, Menteri Pendidikan Prancis, mengklaim, “Hijab Islami tidak disambut di sosial Paris.”