Oleh: Ismail Amin
Purna Warta – Holocaust (dalam bahasa Indonesia ditulis Holokaus) aslinya memiliki makna yang bersifat umum. Dari bahasa Yunani yang artinya terbakar, dan dari bahasa Ibrani artinya penghancuran. Artinya setiap pembunuhan massal dengan cara membakar hidup-hidup para korban,bisa disebut holocaust. Karena itu Dina Sulaeman dalam tulisannya “Holocaust: Mitos atau Fakta?” menyebutkan, holokaus memang pernah menjadi fakta dalam sejarah. Yaitu perintah Raja Dzu Nuwas seorang raja Yahudi dari Dinasti Himyarite pada abad ke-5 di Yaman untuk membakar hidup-hidup orang-orang Kristen Yaman yang tidak mau mengubah agama mereka menjadi Yahudi. Dari pembantaian massal dengan cara membakar ribuan orang hidup-hidup itu keluarlah istilah holokaus. Namun pada perkembangan selanjutnya, Holokaus dilekatkan dengan peristiwa tragis yang menimpa komunitas Yahudi pada Perang Dunia II. Sehingga kemudian setiap mendengar atau menyebut holokaus maka yang dimaksud adalah peristiwa pembantaian enam juta Yahudi Eropa pada zaman Perang Dunia II oleh rezim Nazi Jerman yang dipimpin Adolf Hitler.
Diperkenalkan Holokaus sebagai tragedi kemanusiaan paling keji sepanjang sejarah. Yaitu sebanyak total 6 juta Yahudi di berbagai negara Eropa diburu oleh tentara Nazi untuk kemudian ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamp-kamp konsentrasi. Di dalam kamp-kamp itu mereka mendapat penyiksaan dengan cara di luar nalar kemanusiaan, seperti dibakar hidup-hidup dan dimasukkan ke dalam kamar gas mematikan.
Agar tragedi naas yang menimpa kaum Yahudi tersebut tidak dilupakan dan tetap terawat dalam ingatan masyarakat dunia, maka dengan suara bulat dalam Sidang Majelis Umum PBB pada 1 November 2005, ditetapkan setiap tanggal 27 Januari sebagai Hari Peringatan Holokaus Internasional. Latar belakangnya adalah, menyusul kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II, pada 27 Januari 1945 tahanan kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz-Birkenau dibebaskan. Adanya penetapan Hari Peringatan Holokaus Internasional oleh PBB tersebut membuat banyak orang percaya bahwa genosida terhadap sebanyak enam juta penganut Yahudi Eropa selama Perang Dunia II, yang dilakukan oleh negara Jerman Nazi dan berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai oleh Nazi adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Namun, sebagaimana yang ditulis Dina Sulaeman pakar kajian Timur Tengah dalam bukunya “Ahmadinejad on Palestine”, tak kurang dari sejarawan sekaliber Robert Faurisson dan Profesor Roger Garaudy asal Perancis, harus menanggung hukuman dan denda atas tulisan mereka yang mengungkapkan fakta dibalik Holokaus, antara lain: tidak mungkin ada enam juta orang Yahudi pada zaman itu. Bahkan, jumlah korban dari ras Eropa dalam PD II sesungguhnya jauh lebih besar daripada ras Yahudi. Pada tahun 1933, jumlah Yahudi di Eropa diperkirakan hanya 494 ribu saja. Yang membuatnya tidak masuk akal, hanya berselang beberapa tahun dari data terakhir jumlahnya begitu dasyhat membengkak sampai 8 juta orang dengan 6 juta diantaranya menjadi korban Holokaus. Terlebih lagi, saat ini diperkirakan jumlah Yahudi diseluruh dunia hanya berkisar 13 juta orang.
Holokaus, Fakta atau Mitos?
Para penyangkal Holokaus yang menyebut diri mereka “revisionis Holokaus” menyebut fakta lainnya yang membuktikan Holokaus hanyalah propagada kelompok Zionis untuk mendukung agenda politik mereka.
Pertama, tidak ada dokumen resmi soal Holokaus. Kalau memang benar Holokaus adalah program pembunuhan sistematis oleh Nazi tentu akan ditemukan dokumen mengenai rencana Nazi untuk menumpas jutaan Yahudi. Namun faktanya, tidak ditemukan dokumen walaupun itu sekedar pidato Adolf Hitler yang memerintahkan pembantaian pada komunitas Yahudi. Hitler memang mengungkapkan kebenciannya pada Yahudi, namun tidak pernah menyatakan akan melakukan pemusnahan. Ernst Zundel seorang penyangkal Holokaus dari Jerman berkali-kali dihukum penjara, karena menolak mengakui Holokaus sebagai fakta sejarah. Ia beralasan, bahwa semua bukti tentang adanya Holokaus hanya berdasarkan pengakuan korban-korbannya saja, bukan berdasarkan fakta-fakta yang jelas. Dalam 6 jilid buku Winston Churcill berjudul The Second World War yang merupakan tulisan dokumentasi paling lengkap mengenai Perang Dunia II, tidak sekalipun menyinggung adanya rencana NAZI soal Holokaus.
Kedua, kebohongan kamar gas. Disebutkan salah satu metode pembantaian yang dialami Yahudi oleh NAZI adalah dimasukkan ke dalam kamar-kamar gas. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa klaim itu hanya kebohongan belaka. Ahli konstruksi asal Amerika Fred Leuchter menyebutkan kemustahilan membuat kamar yang memuat jutaan orang, ataupun kamarnya diisi secara bertahap maka dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk menghasilkan gas yang dapat menyebabkan kematian secara cepat pada manusia. Fakta lainnya, kamar gas hanya ditemukan di Auschwitz tidak ditemukan di kamp-kamp konsentrasi lainnya. Selain itu Austchwitz adalah kota kecil, yang dengan sendirinya tidak muat menampung jutaan tahanan. Pada 1964, Paul Rassinier, salah seorang mantan tahanan Nazi yang selamat, dalam bukunya, “The Drama of European Jews” membeberkan fakta bahwa tidak ada kebijakan pemusnahan massal oleh Nazi terhadap Yahudi, tidak ada kamar gas, dan jumlah korban tidak sebesar itu. Menurut pengakuannya, Nazi memang memperlakukan tahanannya demikian buruk dan dibunuh secara kejam namun itu tidak khusus dilakukan kepada tahanan dari ras Yahudi, tapi kepada semua tahanannya.
Tentang kebohongan kamar gas, pada 1976 Arthur Butz menulis “The Hoax of the 20th Century: The case against the presumed extermination of European Jewry”. Dalam salah satu poinnya dikatakan memang benar ada kamar gas di kamp konsentrasi, namun bukan digunakan untuk membunuh manusia , melainkan membersihkan pakaian dari kutu-kutu. Robert Faurisson, seorang profesor dari University of Lyons memberikan fakta lainnya, korban yang mati dari para tahanan di kamp konsentrasi bukan karena dibunuh melainkan kena tipus dan ditelantarkan.
Ketiga, bungkamnya dunia pada saat genocida diklaim sedang berlangsung. Matinya 6 juta orang secara keji tentu saja bukan hal yang kecil. Namun, anehnya ketika peristiwa tersebut terjadi dunia seolah bungkam. Tidak ada negara yang mengecam Nazi dengan terjadinya Holokaus tersebut. Tidak ada respon apa-apa dari Palang Merah Internasional, yang setidaknya berusaha memberikan bantuan penyelamatan pada para korban. Catatan sejarah juga tidak mendokumentasikan adanya pernyataan pihak gereja yang menentang genocida pada umat Yahudi pada peristiwa Holokaus. Yang ada justru pada tahun 2009 Uskup Katolik Roma kelahiran Inggris Richard Williamson menyangkal keberadaan kamar gas dan mengecilkan jumlah pembantaian selama Holokaus, yang membuat Vatikan menyingkirkannya dari gereja. Holokaus baru dibahas dan dijadikan isu internasional oleh Amerika Serikat untuk membantu Zionis mendirikan negara khusus Yahudi yang bernama Israel.
Tujuan Dibalik “Kebohongan” Holokaus
Melalui kebohongan yang tergoranisir dan tercanggih di abad ini, isu Holokaus dijadikan Amerika Serikat dan koleganya membenarkan berdirinya negara Israel. Eropa diklaim berhutang besar pada kaum Yahudi dan harus membayar kerugian atas tragedi pembantaian yang menimpa kaum Yahudi. Dengan alasan mencegah terulangnya sejarah dan agar kaum Yahudi dapat hidup aman dan tenteram, maka perlu didirikan sebuah negara khusus Yahudi. Wilayah yang kemudian dipilih sebagai negara khusus Yahudi adalah di Palestina. Palestina yang memiliki sejarah panjang, disebut sangat cocok bagi justifikasi pendirian negara Israel di wilayah itu. Dengan alasan historis dan teologis, penjajahan pada bangsa Palestina dimulai dan mendapat pembenaran dengan alasan sebagai ganti rugi yang harus diberikan dunia pada kaum Yahudi.
Dalam bukunya “The Holocaust Industry” Norman G. Finkelstein penulis Amerika berdarah Yahudi menyebut Holokaus tidak lebih dari sebuah skandal. Ia menyebut Holokaus adalah industri politik yang memeras uang negara-negara Eropa termasuk Amerika Serikat. Presiden Ahmadi Nejad dalam pidatonya tahun 2005 menyebut Holokaus hanyalah mitos. Ia menyebut Holokaus dibesar-besarkan untuk membenarkan penjajahan atas Palestina. Ia mengajukan pertanyaan, “Jika tragedi Holokaus memang benar-benar pernah terjadi, dan itu terjadi di Eropa, mengapa harus bangsa Palestina yang menebusnya? Mengapa dengan dalih Holokaus, lebih dari 5 juta rakyat Palestina harus terusir dan menjadi pengungsi lebih dari 60 tahun?”.
Dengan adanya keraguan dan pertanyaan-pertanyaan terkait kebenaran Holokaus sebagai fakta, bukannya mendapat jawaban, organisasi Zionisme Internasional justru menyusun undang-undang yang bertujuan untuk memastikan Holokaus sebagai fakta sejarah yang tidak boleh diragukan dan bertujuan untuk membungkam kelompok Anti Holokaus. Pada bulan Juli tahun 1990, UU disahkan oleh pemerintah Perancis yang menyebutkan bahwa segala bentuk keraguan terhadap peristiwa Holocaust, baik berupa keraguan terhadap adanya Holocaust itu sendiri, atau keraguan atas jumlah korban (yaitu 6 juta orang) dalam peristiwa itu, atau keraguan tentang adanya kamar gas Nazi untuk membunuhi orang Yahudi, dinilai sebagai tindakan kriminal dan dijatuhi penjara antara 1 bulan hingga 1 tahun serta denda 2000-3000 Frank. Atas tekanan lobi-lobi Zionis, UU serupa juga disahkan di Ingris, AS, dan negara-negara Eropa lainnya.
Dari sini kita sudah melihat ketidakkonsistenan Eropa dan AS yang mengklaim diri sebagai negara-negara kampiun demokrasi. Ketika Tuhan dan agamapun secara bebas diteliti dan dipertanyakan di Eropa, mengapa keraguan terhadap peristiwa sejarah 70 tahun silam harus dijawab dengan pembungkaman. Pembungkaman terhadap para peniliti anti Holokaus dengan UU dengan hukuman penjara menunjukkan banyak kebohongan yang sampai sekarang masih terus-menerus dipaksakan ke seluruh penjuru dunia. Salah satu upaya pemaksaan menerima Holokaus, adalah didirikannya museum-museum Holokaus di berbagai negara, termasuk di negara-negara yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa Holokaus.
Museum Holokaus di Indonesia, Apa Pentingnya?
Baru-baru ini, Duta Besar Jerman untuk RI, Ina Lepel, mengumumkan pembukaan Museum Holokaus Yahudi pertama di Indonesia. Museum itu dibangun di Tondano, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Museum itu dibuka secara resmi pada 27 Januari 2022 di hari yang bertepatan dengan Hari Peringatan Holokaus Internasional. Kehadiran museum yang disebut sebagai pusat studi genosida tersebut wajar dikhawatirkan sejumlah pihak sebagai upaya untuk melemahkan spirit rakyat Indonesia dalam mendukung dan membela perjuangan rakyat Palestina dalam meraih kemerdekaannya dari penjajahan rezim Zionisme, mengingat isu Holokaus selama ini digunakan untuk membenarkan pendudukan atas Palestina.
Setidaknya oleh Ketua Presidium MER-C Indonesia, dr. Sarbini Abdul Murad menyayangkan pembukaan Museum Holokaus yang disebut yang pertama di Asia Tenggara tersebut. Ia menyebut, ditengah gencarnya upaya Israel membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, pendirian museum Holokaus tersebut adalah prolog yang ingin disampaikan oleh orang-orang Yahudi minoritas bahwa ada peristiwa Holokaus menyedihkan yang pernah dialami bangsa Israel.
Melalui museum dan pameran foto mengenai Holokaus, ada upaya untuk mengetuk dan membuka hati rakyat Indonesia dengan informasi-informasi yang belum tentu benar, dengan target ke depan rakyat Indonesia tidak akan menolak pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel. Karenanya, demi menjaga konsistensi pemerintah Indonesia dalam mendukung Palestina maka upaya-upaya yang bertentangan dengan aspirasi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk Palestina harus disikapi sebagai tindakan ilegal, dan tidak semestinya terjadi di Indonesia.