oleh: Musa Kazim Al Habsyi
Purna Warta – Putusan resmi FIFA membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 mengundang polemik. Meski situs resmi FIFA tidak menyebut alasannya secara kongkrit, pembatalan ini dianggap buntut dari masifnya aksi penolakan terhadap kedatangan timnas Israel ke Indonesia.
Aksi penolakan datang dari sejumlah politisi partai nasionalis dan partai Islam. Bahkan beberapa ormas Islam dan tokoh dari ormas Islam ‘mengharamkan’ kedatangan timnas Israel ke Indonesia. Mereka beralasan bahwa menerima kedatangan Israel merupakan sikap yang bertentangan dengan spirit anti penjajahan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Baca Juga : Tidak hanya Indonesia, Ini 4 Negara yang Menolak Bertanding dengan Israel
Para penolak Israel ini pun mendapatkan kecaman di media sosial. Mereka dianggap biang dari batalnya Indonesia menjadi rumah Piala Dunia. Mereka dituding menghancurkan masa depan para pemain timnas Indonesia U-20.
Mulai dari penggemar sepak bola hingga pemain timnas Indonesia melampiaskan kekecewaanya terhadap para penolak Israel melaui media sosial. “Emangnya apa untungnya Indonesia menolak kedatangan Israel?” Demikian sebagian dari mereka menggugat di media sosial. “Apakah masalah Palestina akan beres dengan menolak Israel datang ke Indonesia?”
Pertama, menurut saya, kita sebagai bangsa harus menempatkan nilai-nilai itu lebih daripada sekadar peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam momen-momen tertentu. Kalau kita gagal menjunjung dan memegang nilai, maka akhirnya kita sebagai bangsa juga akan kehilangan kredibilitas kita, sehingga menjadi tidak punya muka, tidak punya pamor, tidak punya marwah, di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Itulah sebabnya, apa yang terjadi ini sebenarnya justru patut disyukuri, karena elite nasional kita ternyata masih tetap memegang nilai itu, dan menempatkannya lebih penting daripada sekadar keuntungan sesaat dari sebuah peristiwa, dalam hal ini penyelenggaraan momen atau event internasional seperti Piala Dunia U-20 itu. Toh penyelenggaraan event internasional bisa setiap saat kita dapatkan lagi. Akan tetapi, kalau kita sudah dengan sembarangan menjual nilai, maka akibatnya bisa jauh lebih besar, jauh lebih fundamental dan substansial bagi kelangsungan bangsa ini.
Dengan kata lain, ketika elite gagal memegang nilai, berarti mereka siap menghadapi sesuatu yang jauh lebih buruk daripada sekadar kehilangan kesempatan menyelenggarakan event internasional, termasuk di antaranya disintegrasi bangsa, dan hilangnya koneksi atau hilangnya kepercayaan publik kepada elite penyelenggara negara.
Kenapa demikian? Karena masyarakat secara umum ini percaya bahwa elite penyelenggara negara itu memiliki serangkaian nilai yang semestinya tidak mungkin dibuang dan diterabas begitu saja. Kalau sampai masyarakat telanjur tidak percaya, maka apalah artinya mendapatkan kesempatan menyelenggarakan event A, B, C, meskipun semua itu berskala internasional? Inilah yang dimaksud bahwa kepercayaan itu jauh lebih penting daripada sekadar keuntungan sesaat atau kesempatan besar sesaat yang datang dari penyelenggaraan event internasional tersebut.
Dari sudut pandang sebagai bangsa dan negara, bukan dari sudut pandang tertentu atau segmen tertentu seperti klub-klub bola tertentu, atau sebagian orang dalam PSSI, yang hanya segmen tertentu dari masyarakat, maka apa yang terjadi ini sudah sangat tepat.
Mengapa bicara di tataran bangsa dan negara itu perlu? Justru karena untuk kelangsungan sebuah bangsa, sebagai keseluruhan kesatuan yang kelangsungannya sangat bergantung pada apakah bangsa itu mampu memegang nilai-nilai, mengamankan konstitusi, dan menjunjung cita-cita yang ada dalam konstitusi mereka.
Lalu apa yang disebut dengan nilai ini dan apa efeknya jika sebuah bangsa meninggalkan nilai demi pencapaian-pencapaian temporal? Apalagi di masa sekarang, yang di kalangan kaum muda (tak terkecuali para pemain di tim U-20) yang cenderung berpikir lebih pragmatis, lebih melihat segala sesuatu itu dari sisi yang menurut mereka lebih nyata. Sehingga mereka mempertanyakan: seberapa besar sih keuntungan kita mempertahankan nilai anti-kolonialisme itu, khususnya dalam konteks penolakan terhadap tim dari Israel sebagai pejajah Palestina ini, dibandingkan dengan apabila kita sampai terkena sanksi FIFA tidak boleh menyelenggarakan event-event internasional selama 2 tahun atau 4 tahun ke depan?
Baca Juga : Tiga Poin Pesan Moral Pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia
Dengan kata lain, apa sih konkretnya keuntungan yang kita dapat dengan mempertahankan nilai dan apa dampak negatif jika sebuah bangsa meninggalkan nilai-nilainya?
Tak dapat dimungkiri bahwa persoalan ini bagi sebagian orang yang berpikir pragmatis, berpikir jangka pendek dan instan, mungkin seolah tidak bisa ditangkap dan tidak bisa dipahami, tapi bagi orang yang berpikir dalam tataran kebangsaan, dalam tataran negara, khususnya bagi kalangan negarawan dan para pemimpin, maka mereka akan tahu bahwa kepemimpinan nasional atau pimpinan nasional bahkan bangsa dan negara yang eksistensinya itu berpijak pada serangkaian nilai, bahwa formasi bangsa dan negara ini berpijak atau bersandar pada unsur-unsur nilai yang membentuknya, maka kalau prinsip mendasar ini sampai ditinggalkan demi prospek, katakanlah penyelenggaraan event Piala Dunia U-20 ini kan masih prospek keuntungan yang belum tentu untung, belum tentu terbukti benar sebagaimana orang-orang yang sekarang menuntut penyelenggaraan itu terjadi karena meyakini aspek keuntungan yang belum tentu mengikutinya, maka sebetulnya kita sedang bertarung, bertaruh nyawa, bertaruh atau mempertaruhkan konstitusi, mempertaruhkan Undang-Undang Dasar kita, mempertaruhkan preambule kita, demi sesuatu yang sifatnya belum tentu juga menghasilkan sesuatu.
Meski mungkin tidak apple to apple, tidak persis sama perbandingannya, tapi lewat observasi dan pembacaan di media, mungkin perbandingan ini bisa dijadikan sebagai contoh. Seperti ketika Pimpinan dan CEO Toyota ditanya: kenapa Toyota tidak segera masuk ke bisnis mobil listrik atau kendaraan listrik? Jawaban Pimpinan Toyota adalah bahwa Toyota itu sebuah perusahaan yang telah establish, mapan, punya proyeksi dan trajectory yang tidak bisa begitu saja diubah karena adanya trend baru. Tidak bisa. Jadi, ada filosofi yang dibangun oleh perusahaan Toyota sedemikian sehingga dia tidak boleh terseret oleh arus yang baru datang atau trend yang baru saja terjadi atau kepentingan-kepentingan sesaat seperti tumbuhnya pasar konsumen kendaraan listrik, dan seterusnya.
Jadi, kembali kepada nilai, bahwa Toyota itu adalah perusahaan yang nilai utamanya adalah durability, yaitu membuat kendaraan yang tangguh dalam waktu yang panjang, yang kendaraan-kendaraan listrik belum tentu memenuhi standar tersebut. Oleh sebab itu, kita tahu misalnya produk Toyota itu produk yang punya jangka penggunaan sangat panjang.
Nah, Indonesia ini oleh Founding Father, dan itu berulang-ulang terutama oleh Bung Karno, dinyatakan sebagai suatu bangsa yang menolak segala bentuk penjajahan, karena apa? Karena pengalaman penjajahan bagi bangsa ini begitu menyakitkan dan jangka waktu yang lama itu menyebabkan kita ingin sebagai suatu bangsa dan dalam narasi kita ingin tidak ada lagi penjajahan di muka bumi buat semua bangsa, termasuk juga atas bangsa Palestina.
Sehingga, mau tidak mau nilai yang kita pegang teguh dan dicetuskan atau dicanangkan oleh pendiri bangsa kita itu harus kita jadikan sebagai matlamat kita, sebagai benchmark kita, sebagai filosofi kita dalam berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, kalau itu sampai kita buang demi keuntungan sesaat yang belum tentu juga (artinya, dalam hitung-hitungannya juga bisa kita bedah lebih lanjut: apakah memang ada keuntungan pasti dari sebuah penyelenggaraan event seperti Piala Dunia U-20 ini? Karena terbukti ada banyak penyelenggaraan event olahraga internasional yang berujung kerugian. Meski tentu saja, kalaupun ada prospek seperti itu, tidak bisa dibandingkan dengan substansi filosofi, falsafah sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa dijual demi apa pun).
Baca Juga : Jawaban Tuntas Seputar Isu Penolakan Timnas U-20 Israel
Kita juga dapat memberikan contoh dengan kondisi sebuah perusahaan, karena kita juga sering membaca bahwa perusahaan-perusahaan besar itu bisa bertahan dan survive justru karena mereka punya nilai. Apalagi halnya dengan sebuah bangsa. Karena sebuah bangsa jauh lebih besar daripada perusahaan-perusahaan itu. Maka, kehilangan nilai, substansi, dan falsafah itu akan menyebabkan bangsa ini mengalami disorientasi dalam perjalanan selanjutnya, yang akan berefek disintegratif terhadap bangsa itu. Jadi, efeknya adalah akan memecah-belah bangsa ini.
Artinya, bagi mereka yang menolak keikutsertaan Timnas Israel ini sebenarnya -dalam peribahasa, ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Yakni selain manfaat kita mampu menunjukkan bahwa kita adalah suatu bangsa yang berpegang teguh pada pendiriannya, pada falsafah hidupnya, bahkan falsafah pendirian negaranya dan falsafah yang dibangun oleh para pendirinya, karena ini datang dari kelompok nasionalis, ini bisa dikatakan mereduksi polarisasi yang terjadi antara kelompok nasionalis dan Islamis. Kita juga melihat langkah ini strategis dalam skala nasional kebangsaan dan juga dalam tatanan kenegaraan, sehingga kelompok Islam itu tidak lagi punya semacam dalih untuk meragukan nasionalisme dari kelompok nasionalis seperti PDIP, karena begitu persoalannya menyangkut penjajahan, maka kelompok nasionalis ini ternyata juga bisa tegas, teguh, dan konsisten. Ini menghilangkan jarak yang selama ini terbangun atau kecurigaan yang selama ini dibangun oleh pihak tertentu dari kalangan Islamis atau kelompok keagamaan lain yang sengaja ingin mengail di air keruh, yang bisa jadi juga sebenarnya itu bukan dari kelompok Islam. Tapi faktanya, selama ini yang menyuarakan adalah kelompok yang menyebut dirinya sebagai kelompok-kelompok nasionalis, sementara yang berkuasa sekarang ini hanya memanfaatkan saja. Tapi sekarang setidaknya terbukti: kalau persoalannya adalah kerugian material sesaat, dihadapkan dengan kerugian dalam keteguhan mereka menjaga nilai-nilai, maka mereka akan siap untuk menghadapi kerugian sesaat. Ini meneguhkan posisi moral kelompok nasionalis sekaligus juga mendepolarisasi semua polarisasi yang selama ini terinduksi. Jadi, sebenarnya isu penolakan ini justru mempersatukan -kalau kita mau pakai bahasa vulgarnya, antara Cebong dan Kampret. Karena sekarang terbukti bahwa kelompok nasionalis punya suatu komitmen kebangsaan, komitmen moral yang siap untuk menepis keuntungan sesaat demi nilai substansial yang lebih tinggi tanpa pamrih, tanpa keuntungan yang bisa diharapkan dari materi, atau dari apa pun terkait langkah ini, yang memang tidak membawa manfaat tertentu bagi misalnya Indonesia dari Palestina atau dari bangsa Arab atau kelompok mana pun, malah mungkin kerugiannya yang lebih jelas, atau kerugian materialnya tentu ada.
Lalu bagaimana halnya dengan sentilan-sentilan yang berkembang, yang disampaikan oleh kelompok yang tidak menolak keikutsertaan Israel, misalkan ketika mereka berdalih berdasarkan kutipan dari Duta Besar Palestina, bahwa pihak Palestina sendiri justru tidak masalah apabila Israel diterima oleh Indonesia, yang dari sini kemudian muncul tudingan ada orang Indonesia yang lebih Palestina daripada orang Palestina sendiri, dan sebagainya.
Baca Juga : Gagal Gelar Piala Dunia U-20, Ini Negara Selain Indonesia yang Pernah Dicoret Jadi Tuan Rumah
Lebih jauh lagi, sebenarnya penolakan ini pentingnya buat siapa? Buat orang Palestina atau buat bangsa Indonesia? Karena kalau kita bicara tentang bangsa, maka setidaknya ada national interest di situ.
Perlu disadari, justru dari pernyataan Dubes Palestina itu tergambarkan adanya kesalahpahaman dari pihak Palestina sendiri yang direpresentasikan oleh si Dubes, karena dia pikir kita melakukan ini untuk mereka, bukan kita melakukan ini untuk menjaga nilai kita sendiri, mereka tidak berpikir bahwa kita bangsa yang konsisten dengan prinsip kita, dengan falsafah hidup kita. Jadi, bagi kita: terserah Palestina mau berterima kasih atau tidak, bahkan mereka mau menolak pun, juga tidak masalah. Itu bukan urusan kita, tapi itu urusanmu sendiri yang mungkin saja memang tidak mewakili seluruh bangsa Palestina. Apalagi bila kita tahu, dia di sini digaji oleh bangsa Indonesia, oleh negara Indonesia, dengan anggaran Indonesia. Semuanya itu anggaran Indonesia.
Jadi, kedutaan itu adalah Kedutaan Palestina di Indonesia yang dibiayai dan makan dari anggaran kita. Maka, seharusnya dia berkomentar bahwa persoalan yang lebih penting itu adalah untuk kita. Sama seperti orang berbuat baik. Orang itu berbuat baik untuk kebaikan orang atau untuk kebaikan dirinya? Ini ada filosofinya, ada dalam filsafat etika, yang kita menyebutnya sebagai egoisme positif. Artinya, orang itu harus punya motif pribadi dalam semua kebaikannya, yaitu bahwa kebaikan yang saya jalankan baik untuk saya dulu sebelum baik untuk orang lain. Jadi, kalau saya berbuat baik untuk orang lain, saya tidak mengharapkan imbalan karena kebaikan itu baik buat siapa? Tentu saja baik buat pelakunya dulu, buat saya, baru buat orang lain.
Perlu diketahui juga bahwa pelaku kebaikan itu mendapatkan poin dari kebaikannya sebelum kebaikan itu diterima oleh penerima kebaikannya. Jadi, memang pelakunya yang terlebih dahulu menerima kebaikan. Bahkan Imam Ali punya kata-kata moral yang luar biasa, bahwa pelaku kebaikan lebih baik daripada kebaikannya. Kebaikan itu kan abstrak, ia adalah sesuatu yang masih berupa abstrak. Pelakunya yang memanifestasikan kebaikan dalam kehidupan itu lebih baik daripada sesuatu yang abstrak itu, karena ini amal, ini pekerjaan, ini usaha, ini bukan sekadar konsep-konsep ideal dan mental. Semua ini untuk mewujudkannya perlu keringat dan yang ketika dimanifestasikan, manfaatnya apa buat si pelaku?
Dalam hal itu, langkah kita menolak Israel itu terlepas apakah ada keuntungan yang bisa diambil oleh Palestina atau tidak, keuntungan yang bisa diambil oleh Indonesia sudah jelas, yaitu bahwa kita mempertahankan marwah bangsa Indonesia dan menjaga konsistensi menghapuskan penjajahan dari muka bumi, yang itu adalah falsafah yang benar. Jadi, ia benar, baik, bijak, bestari. Sehingga menjalankan itu buat kita, apakah bangsa terjajah itu mau berterima kasih atau dapat mengambil keuntungan dari sikap kita atau tidak, tidak menjadi masalah buat kita. Meskipun dalam hal ini, mungkin saja bangsa Palestina mayoritasnya akan mengambil keuntungan. Adapun halnya dengan Dubes Palestina, mungkin kita anggap dia sudah tidak lagi tahu kondisi masyarakatnya di Palestina sana, karena dia berada di sini.
Baca Juga : PSSI Terima Keputusan FIFA Copot Indonesia dari Tuan Rumah Piala Dunia U20 2023
Kita ini sebagai orang beragama percaya bahwa perbuatan baik untuk pertama-tama kembali kepada pelaku kebaikan dan itu diulang-ulang di dalam Alquran: Siapa yang berbuat baik maka kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Yang pertama itu. Yang kedua kebaikan kita akan dilihat oleh Sang Penguasa, Allah SWT yang menentukan nasib kita, menentukan dunia dan akhirat kita. Dan yang ketiga, kebaikan itu adalah baik juga untuk orang-orang di sekitar kita. Sebelum dia baik untuk sesuatu yang di luar, bisa jadi kebaikan itu untuk pelakunya. Misalnya: Kalau Anda bersedekah kepada orang yang tidak mampu, maka pertama kebaikan itu, kebaikan sedekah itu, kembali kepada diri Anda sendiri. Anda mengajarkan kepada diri Anda berbagi dengan yang lain, mengajarkan kepada jiwa Anda solidaritas, satu. Kedua, Allah mencatat. Jadi itu ada pahalanya. Yang ketiga, Anda mengajarkan anak Anda, keluarga Anda, lingkungan sekitar Anda tentang pentingnya solidaritas lingkungan yang baik, baru setelah itu kebaikan itu diterima oleh pihak keempat dan terakhir, adalah si penerima terakhir dari kebaikan itu. Adalah sangat keliru kalau kebaikan itu dilihat semata-mata efeknya terhadap si penerima kebaikan, karena efeknya bisa lebih jauh di luar itu.
Berdasarkan sejarah kolonialisme atau sejarah penindasan, praktik-praktik boikot terhadap penjajah ini apakah berdampak pada penjajahan itu?
Pertama itu ketika orang berbuat baik dan berbuat benar, pertama, dia jujur pada dirinya. Jadi dia pertanggungjawabkan pribadinya. Kemudian karena kita adalah manusia-manusia atau bangsa yang bertuhan, beragama, kita percaya itu pertanggungjawaban kita kepada pencipta kita, kemudian selanjutnya ada pertanggungjawaban kita dengan keluarga kita, lingkungan kita. Baru kemudian kita bertanggung jawab kepada seluruh pertanggungjawaban moral kita.
Oleh sebab itu ketika kita melakukan kebaikan, meskipun yang kita tolong tadi tidak tertolong, tetapi kita tidak boleh menganggap ini sia-sia. Tidak boleh menganggap ini sia-sia, di situ poinnya. Jadi, misalnya kita bersedekah, jangan pernah berpikir, sedekah kita itu tak ada gunanya, karena tetap saja banyak orang miskin. Kemiskinan itu adalah urusan yang lain. Jadi, terlepas dari apakah yang kita tolong terangkat, terentaskan dari kemiskinan atau tidak, seperti pertolongan kita terhadap bangsa-bangsa tertindas, terlepas bangsa ini merdeka atau tidak, itu poin lain lagi yang belum tentu perlu kita rumuskan dari sekarang.
Apakah sebenarnya kalau berbuat baik itu, apa pun kebaikannya, selama kita berbuat baik itu pasti win-win saja, bukan win-lose? Padahal terbukti, dengan menolak Israel, berarti kita lose. Sebaliknya, Israel win karena Israel mau dipindahkan ke negara mana pun, karena dia lolos kualifikasi, maka tetap bisa main. Sementara kita, karena keikutsertaan kita ini berdasarkan status tuan rumah, akhirnya kita tidak bisa bermain di turnamen ini. Jadi, apakah berarti ada benarnya jika ada orang bilang: kita berbuat baik, tapi kita lose?
Kita sebenarnya perlu lebih mengenal Bung Karno sebagai pemimpin besar, sosok revolusioner, yang menarasikan Indonesia ini sebagai suatu negara kepulauan, atau dalam istilah dia: lautan yang bertabur pulau. Indonesia ini adalah lautan yang ditaburi kelompok pulau-pulau. Bagaimana bangsa ini mampu mengentaskan dunia dari penjajahan dan menegakkan perdamaian dunia, -istilah kebijakan luar negeri kita adalah bebas aktif dan mencita-citakan persaudaraan dan kekeluargaan, ini kan luar biasa. Apakah pasti itu ada manfaat materialnya? Ini orang-orang yang ngomong, merasa bahwa itu pasti ada manfaat material, apakah mereka bisa memastikan itu?
Sebuah bangsa, meskipun dibangun di atas sebuah nilai yang abstrak saja, bukan dibangun oleh elemen-elemen material, tapi bangsa itu harus punya cita-cita setinggi langit. Hal inilah yang sebenarnya juga harus disadari oleh pemain-pemain muda kita, bahwa mereka itu mewakili negara yang dibangun di atas nilai, bukan di atas event-event material seperti ajang Piala Dunia U-20.
Kalau kita melakukan hal-hal seperti itu, maka kita akan belajar sesuatu yang lebih besar daripada sekadar belajar main bola. Kita belajar menghadapi tantangan global geopolitik, dan kita bicara negara, bisa di negara yang lain, satu negara bangsa berhadapan dengan negara bangsa yang lain, mereka akan melihat kita bukan sebagai bangsa yang bagus itu masalah lain.
Baca Juga : FIFA Resmi Batalkan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U20, Begini Kronologinya
Kembali ke pihak yang kontra penyelenggaraan ajang Piala Dunia U-20 di Indonesia, yang artinya kelompok yang menolak kedatangan tim Israel, mereka banyak bicara tentang double standar FIFA dan UEFA dalam konteks Israel, -karena Israel adalah anggota asosiasi federasi di Eropa, bagaimana mereka memperlakukan Israel berbeda dengan Rusia, atau bahkan memperlakukan Amerika sendiri berbeda dengan ketika Rusia melakukan invasi terhadap Ukraina yang langsung dihukum, sementara Israel, yang kita tahu lewat banyak media, bagaimana mereka memperlakukan atlet-atlet Palestina, yang mereka dilarang bertanding bahkan ditembaki, ada yang terbunuh, ada yang akhirnya tidak bisa bermain bola karena kakinya ditembak, dan itu sudah berlangsung berdeka-dekade, sampai-sampai organisasi sepak bolanya itu minta Israel dikeluarkan dari FIFA, tapi itu tidak pernah dilakukan oleh FIFA. Apakah sikap penolakan mereka atas keikutsertaan Israel itu sudah benar?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sampaikan pesan kepada mereka yang mau memanfaatkan momen ini, yang sangat getol mengkritik pemerintah dan elite bangsa yang menolak keikutsertaan Timnas Israel, tapi seperti tutup mata terhadap berbagai kelakuan FIFA yang double standar. Mereka ini seperti lebih mudah menikmati, mencederai bangsa dan saudaranya sendiri, dan seperti tak mau bersikap kritis terhadap FIFA, seolah FIFA ini organisasi suci, organisasi sakral, organisasi yang dapat mandat dari Tuhan. Mereka seolah tutup mata, tak mau mempertanyakan apakah FIFA ini organisasi moral atau organisasi bisnis dan industri, organisasi yang banyak masalahnya dan juga terbukti korupsi dan lain-lain dari sejak waktu Joseph Blatter, yang itu sudah menjadi pengetahuan umum.
Marilah kita lihat FIFA ini apa adanya, sehingga jelas bahwa dia ini bermain politik seperti ini. Jadi, jebakan-jebakan yang dia ciptakan, sudah tepat kita jawab dengan cara begini. Artinya, respons kita ini sudah tepat karena kita ingin menunjukkan bahwa kita ini teguh memegang amanat konstitusi.
Harus diakui bahwa dengan mengeluarkan federasi Persatuan Sepak Bola Rusia dari berbagai kompetisi itu berarti FIFA sudah melakukan double standar, padahal katanya tidak mau mencampuradukkan politik dengan olahraga. Jadi, yang sebenarnya paling pertama bertanggung jawab atas politisasi sepak bola itu adalah FIFA sendiri.
Lalu kenapa seolah-olah digambarkan, dengan adanya pembatalan ajang Piala Dunia U-20 ini, -bahkan oleh para pemain muda kita, bahwa mimpi mereka jadi hancur? Apa kemajuan sepak bola itu sekadar akan ditentukan dengan adanya event-event terkenal, yang ketika kita kemudian juga menyelenggarakannya, kemudian pasti akan melahirkan generasi yang mampu menyelenggarakan Piala Dunia? Tidak perlukah ada transformasi olahraga sepak bola, misalnya membudayanya pertandingan bola yang dimulai dari level yang paling junior sampai senior, yang di situ jelas bagaimana klub-klub bola ini sudah mampu bersaing di antara mereka di dalam negeri?
Industri sepak bola itu bukan sesuatu yang bisa terjadi dalam satu jam seperti membalikkan telapak tangan. Namun sayangnya, seperti ada ilusi yang sedang dibangun oleh mereka yang tidak menyadari, tidak punya dalil untuk menolak keberadaan, menolak sikap, dan langkah politik elite Indonesia yang menolak keikutsertaan Israel di ajang Piala Dunia U-20 ini.
Baca Juga : Pakar Hukum: Masalahnya pada Arogansi FIFA, Bukan Aspirasi Tolak Israel
Padahal seharusnya kita percaya bahwa membangun industri sepak bola atau industri olahraga apa pun itu butuh waktu, dan itu bukan sesuatu yang bisa terjadi dalam sekejap mata, lalu tiba-tiba dapat meraih posisi nomor satu dunia. Diperlukan upaya serius, mulai dari pembinaan dan penanganannya secara berkelanjutan.
Jadi kita tidak bisa mempertaruhkan nilai-nilai kebangsaan kita hanya demi sebuah event olahraga yang sifatnya temporal saja, karena bangsa ini dibangun berdasarkan nilai. Apalagi itu belum menentukan atau sama sekali tidak bisa dianggap menentukan nasib persepakbolaan kita.