Purna Warta – Banyak sumber di pemerintah Abdrabbuh Mansur Hadi mengatakan bahwa Ansarullah dan komite kerakyatan Yaman bergerak maju ke Ma’rib dengan sangat cepat lebih dari sebelumnya sedari tahun 2014. Di saat yang sama ada juga balasan-balasan dari gerakan resistensi yang menggempur pangkalan serta markas militer Saudi di wilayah dalam Riyadh.
Ali Dhafer, salah satu analis kondang berdarah Yaman, menulis sebuah analisa ke surat kabar al-Mayadeen mengupas alasan peningkatan serangan resistensi kerakyatan Yaman sampai pengambilan kesimpulan pasti akan pembebasan Ma’rib. Bahkan mereka telah mengadakan pertemuan membahas manuver senjata di Ma’rib meskipun harus menghadapi kekhawatiran dunia Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Ketika di medan Ma’rib, Ansarullah beserta militan kerakyatan meraih sukses, mereka juga memborbardir pangkalan dan bandara militer Saudi di bagian selatan. Bahkan dimungkinkan bahwa rudal Yaman akan segera mencapai kota Jeddah, jika blokade, manuver udara dan penyetopan kapal bahan bakar ke al-Hudaidah terus berlanjut.
“Sangatlah terbuka pemerintah Sanaa memulai serangan membabi-buta. Ini adalah satu istilah yang sudah dipakai oleh Ketua Dewan Tinggi Politik sekaligus Komando Militan Bersenjata Yaman, Mahdi al-Mashat,” tulis Ali Dhafer menerangkan.
“Peta militer menunjukkan bahwa pandangan pemerintah Sanaa atas beberapa masalah sangatlah berbeda dengan kacamata pusat-pusat diplomatik, politik beserta media. Menurut pusat-pusat tersebut dijelaskan bahwa Amerika akan segera merubah arah dan dengan aktifnya Joe Biden, Washington telah mendapatkan satu kesimpulan bahwa opsi militer di Yaman tidak lagi membuahkan hasil,” tambahnya.
Menurut pakar diplomatik dan politik, Amerika memutuskan untuk menganalisa kembali kasus Yaman dalam perkembangan selama 6 tahun terakhir. Semenjak zaman Barack Obama, di mana Joe Biden sebagai Wapres kala itu, Pentagon telah menyerahkan kepada Saudi semua fasilitas militer, ekonomi dan politik demi kemenangan koalisi Saudi dalam perang. Bahkan diindikasikan bahwa kemenangan Saudi akan cepat diraih selama beberapa minggu atau paling lama beberapa bulan.
Dengan potensi inilah, Washington bersama para sekutu Eropanya mengirim bantuan senjata, intelijensi dan logistik ke Arab Saudi. Akan tetapi, karena perlawanan tepat dan bersejarah rakyat Yaman, operasi militer Saudi gagal. Bahkan Obama di akhir umur pemerintahannya, memutuskan untuk merubah peta sebisa mungkin.
Maka bergeraklah John Kerry, Menlu AS kala itu, untuk melansir resolusi Muscat (Oman). John Kerry juga memaparkan satu ide pembentukan pemerintahan persatuan nasional yang merangkul semua partai dan kelompok politik, termasuk Ansarullah. Di saat yang sama, Amerika juga merelakan kepergian Abdrabbuh Mansur Hadi.
Tetapi ide ini ditolak oleh para sekutu Riyadh dari dalam Yaman. Hingga akhirnya, berakhirlah umur pemerintahan Barack Obama dan dia tidak bisa membatasi jalan Ansarullah ataupun menyingkirkannya hingga jauh.
Adapun pemerintahan Donald Trump, menurut analis berdarah Yaman tersebut, mengambil metode lain untuk membatasi ataupun membasmi Ansarullah. Donald Trump lebih mengambil cara memeras dari pada mendukung. Amerikanya Donald Trump lebih memilih merajut bisnis penjualan senjata dengan Saudi dan Emirat.
Alasan Joe Biden
Banyak yang mengamati gerak di balik keputusan Presiden Joe Biden. Dalam kampanye, Joe Biden pernah mengatakan bahwa kasus Yaman akan menjadi sorotan nomer wahid pemerintahannya. Presiden AS berjanji bahwa dia akan memutus penjualan senjata ke Riyadh dan Abu Dhabi. Joe Biden bahkan menegaskan genjatan senjata, bahkan Ansarullah juga dia hapus dari daftar teroris.
Sebagian analis yakin bahwa keputusan ini memiliki poin positif. Namun ada indikasi lain yang bisa menjelaskan alasan keputusan Joe Biden tentang Yaman dan indikasi ini lebih mendekati fakta.
“Pemerintahan baru Amerika adalah kelanjutan dari pemerintahan Barack Obama. Mereka berupaya melanjutkan siasat John Kerry dan strategi komando dari jauh dengan tujuan mengambil jarak dari efek perang hingga mengutamakan jalan diplomasi dari yang lainnya. Siasat tersebut mengatakan bahwa perang Yaman bermodal besar dan diprediksikan bahwa tidak bisa berumur lebih lama lagi. Situasi ini sangat memihak Yaman, khususnya Ansarullah. Satu gerakan resistensi yang berhasil mengembangkan eksistensinya dalam militer, politik dan geografi kemanusiaan. Gerakan kerakyatan yang bisa memajukan militer, dan di medan perang, mampu menjatuhkan Amerika ke situasi sulit,” tulis Ali Dhafer mengamati.
Dalam kelanjutan analisanya, Ali Dhafer mengingatkan serangan drone 14 September 2019, di mana Yaman mampu menyerang stasiun minyak di Abqaiq-Khurais dengan detail dan menghentikan setengah produksi emas hitam Saudi hingga mengguncang geopolitik pasar minyak dunia.
“Besar-kecil semuanya mendengar gelegar ledakannya dan operasi seperti ini sangat mempengaruhi kebijakan Joe Biden,” tegas Ali Dhafer.
Selain faktor ini, masalah dalam negeri Amerika juga tidak bisa dilupakan. Suara oposisi perang, baik dari Demokrat maupun dari Republik sangatlah memekik. Rentetan peristiwa politik Amerika telah menarik pemerintahan terkini untuk lebih fokus ke masalah dalam negeri dari pada luar negeri.
Pandangan Sanaa
Selanjutnya Ali Dhafer kembali ke persoalan pertama dan membahas pandangan pemerintahan Sanaa atas perang dan alasan peningkatan manuver di medan.
“Sanaa tahu dan menyadari situasi yang telah disebut. Menyorot keraguan pemerintahan Joe Biden dengan sangat logis dan ketajaman mata. Bahkan mereka menganggap keputusan Joe Biden sebagai tipuan politik. Mereka yakin bahwa pemerintah baru Amerika hanya bersilat lidah, tidak akan beraksi. Terlebih manuver perang yang belum juga dirubah oleh Arab Saudi. Blokade berlanjut dengan sangat kerasnya. Bandara Sanaa masih ditutup. Jalur darat distop atau masih di bawah kontrol koalisi Saudi. Pelabuhan al-Hudaidah juga ditutup dan kapal-kapal tidak diberi izin melabuh. Secara keseluruhan tidak terjadi apa-apa,” jelasnya.
Fakta lapangan ini telah menyulitkan 80% warga di daerah kontrol pemerintah Sanaa untuk melewati kesehariannya. Hal ini memaksa Ansarullah dan komite kerakyatan Yaman untuk terus bergerak. Operasi Ma’rib ditingkatkan, pula meluncurkan serangan ke titik militer Saudi di wilayah selatan. Bandara yang dirubah menjadi landas serangan udara diserbu habis. Bahkan Sanaa mendeklarasikan bahwa mereka akan berhenti menyerang, jika blokade dan serangan udara juga berhenti.
“Ini murni pertahanan,” tegas Mohammed Abdul-Salam menjelaskan serangan-serangan pihak Sanaa. “Sanaa tidak memusuhi perdamaian dan perundingan. Namun pertama adalah syarat dasar, yaitu agresi dan blokade harus segera dihentikan. Selain itu, Yaman juga berusaha untuk meraih poin-poin lebih ke tengah perundingan,” jelasnya.
Di akhir, analis asal Yaman tersebut menjelaskan alasan ketidakpercayaan pemerintah Sanaa kepada Amerika Serikat.
“Banyak alasan dan bukti akan kecurigaan Sanaa berdasarkan pengalaman sejarah, yang paling mencoloknya adalah kasus nuklir Iran dan perundingan Palestina. Adat Amerika adalah jika satu kelompok menandatangani perjanjian, AS akan menginjak kelompok lain. Oleh karena inilah, Sanaa menolak masuk ke kamar perundingan di saat perang dan blokade (masih berlanjut). Sanaa terus mendengungkan syarat-syaratnya dan berusaha memperkuat diri di perundingan dengan mengambil kontrol daerah kaya minyak dan strategis Ma’rib,” hemat Ali Dhafer.
Baca juga: Pejabat Yaman: Lebih Dari 70 Persen Wilayah Ma’rib Telah Dibebaskan