Purna Warta – Sebuah media berbahasa Arab menulis dalam sebuah analisis bahwa di tengah perubahan cepat dalam keseimbangan kekuatan global dan kesenjangan yang semakin lebar antara Timur dan Barat, Iran telah mengonsolidasikan posisinya di Blok Timur lebih dari sebelumnya—sebuah posisi yang dibangun di atas kerja sama strategis dengan Rusia dan Tiongkok. Pendekatan ini, yang merupakan konsekuensi langsung dari tekanan AS dan Eropa serta kembalinya sanksi terhadap Teheran, kini telah menjadi komponen inti dari kebijakan luar negeri Republik Islam tersebut.
Surat kabar Lebanon Al-Akhbar menulis: “Seiring dengan meningkatnya dinamika kekuatan global, kawasan ini telah menjadi panggung baru untuk menggambar ulang keselarasan Timur-Barat, dan Iran telah menemukan peran yang semakin besar di pusat perkembangan ini. Rusia dan Tiongkok telah semakin dekat dengan Teheran dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan sebelumnya—tren yang semakin intensif setelah penarikan AS dari kesepakatan nuklir pada tahun 2018 dan kembalinya sanksi, yang secara efektif memaksa Iran untuk mengadopsi kebijakan ‘Melihat ke Timur’.
Pendekatan ini mengarah pada pembentukan perjanjian kerja sama strategis jangka panjang dengan Moskow dan Beijing, yang pada akhirnya berpuncak pada keanggotaan Iran di Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) dan kelompok BRICS, sebuah perluasan yang didukung langsung oleh kedua kekuatan Timur tersebut. Terlepas dari kedekatan ini, masih ada pertanyaan di Teheran mengenai tingkat komitmen dan dukungan tulus dari Tiongkok dan Rusia, terutama setelah agresi 12 hari oleh Israel dan AS terhadap Iran. Beberapa pihak memperkirakan reaksi yang lebih kuat dan kurang hati-hati dari kedua negara, tetapi tanggapan dari Moskow dan Beijing terukur, tenang, dan didasarkan pada keseimbangan antara “kepentingan dan dukungan,” alih-alih daripada aliansi langsung atau konflik langsung.
Dukungan Peringatan dan Logika Geopolitik
Sementara Iran berupaya memulihkan pencegahannya, Iran mengharapkan Rusia dan Tiongkok memainkan peran efektif dalam menghadapi tekanan Barat. Dalam hal ini, sumber-sumber di Teheran melaporkan kedatangan pengiriman dari Tiongkok, termasuk bahan bakar roket padat dan peralatan industri canggih, serta berbagai pengiriman dari Rusia. Namun, barang-barang yang telah lama dibahas seperti jet tempur Su-35 dan sistem pertahanan udara S-400 belum terlihat dalam pengiriman ini.
Meskipun demikian, dukungan tersebut bersifat hati-hati, karena kedua negara belum memberikan jaminan keamanan formal kepada Iran, dan belum ada mekanisme pertahanan trilateral yang ditetapkan dalam kerangka kerja SCO atau BRICS.
Intinya, semua bentuk dukungan berada dalam “kepentingan nasional” kedua negara yang disebutkan di atas. Selama stabilitas Iran dan rute energi serta transit Eurasia dipertahankan, dukungan akan terus berlanjut. Namun, jika Teheran bergerak menuju konfrontasi langsung dengan Washington, dukungan ini akan segera berkurang.
Perbedaan yang mendalam dalam logika geopolitik menentukan perilaku Rusia dan Tiongkok. Moskow, agresi 12 hari tersebut menandakan menurunnya hegemoni AS dan dimulainya tatanan multipolar. Namun, Tiongkok memandang isu ini terutama melalui perspektif ekonomi dan energi. Menurut Pusat Studi Tiongkok Teluk, serangan Israel terhadap Iran menciptakan kesenjangan keamanan sebesar 32% dalam energi regional dan menaikkan harga minyak menjadi $104. Dari perspektif Tiongkok, menjaga stabilitas Iran merupakan kebutuhan struktural bagi kelanjutan inisiatif “Sabuk dan Jalan” dan keamanan jalur energi ke Tiongkok barat.
De-Dolarisasi dan Kemitraan yang Hati-hati
Aktivasi “mekanisme snapback” oleh E3 (tiga negara Eropa) dan kembalinya sanksi PBB pada bulan September menimbulkan ujian baru bagi hubungan Iran dengan Timur. Rusia dan Tiongkok dengan cepat menyebut langkah tersebut sebagai “pelanggaran terang-terangan” terhadap Resolusi 2231 dan secara aktif berupaya mengurangi dampak sanksi tersebut.
Rusia memfasilitasi transaksi non-dolar antara Teheran dan Beijing melalui sistem keuangan SPFS (SWIFT versi Rusia). Menurut Bank Sentral Iran, sekitar 22% pertukaran keuangan dengan Rusia (setara dengan $3,2 miliar hingga Oktober) dilakukan melalui jalur ini.
Tiongkok memperluas perdagangan minyaknya dengan Iran melalui sistem CIPS dan perusahaan perantara di Hong Kong dan Shenzhen. Menurut data Refinitiv, volume pertukaran non-dolar antara kedua negara pada kuartal pertama tahun ini melebihi $17 miliar, dengan hanya 18% yang ditransaksikan dalam dolar—sebuah tanda yang jelas dari “de-dolarisasi” sejati dalam hubungan keuangan mereka.
Pada tingkat yang lebih dalam, Rusia dan Tiongkok memandang Iran sebagai korban dari struktur global yang berpusat pada Barat yang secara bertahap terkikis, alih-alih sebagai faktor ketidakstabilan. Dari perspektif Beijing, sanksi Barat merupakan bentuk baru “kebijakan penahanan terhadap kemampuan nasional negara-negara merdeka.”
Dari sudut pandang ini, kebijakan Moskow dan Beijing terhadap Teheran saat ini dibangun di atas model “dukungan yang hati-hati”. Mereka menganggap Iran sebagai pilar keseimbangan strategis di Asia Barat, tetapi kepentingan jangka panjang mereka tetap menjadi yang terpenting dalam hubungan mereka dengan Teheran. Mereka bukanlah sekutu penuh maupun pengamat netral; melainkan, mereka adalah “mitra yang bijaksana” yang berusaha menjaga Iran tetap kuat tanpa terlibat dalam konfrontasi langsung dengan Barat.
Kini, setelah periode yang menegangkan, Iran telah berhasil memperkuat posisinya di Blok Timur, bukan melalui ketergantungan penuh, melainkan melalui pengelolaan kepentingan bersama yang cerdas. Bersamaan dengan itu, perilaku Rusia dan Tiongkok mencontohkan model baru “kemitraan non-sekutu”—kemitraan yang didasarkan pada kepentingan dan stabilitas, bukan komitmen militer.


