Purna Warta – Charles W. Freeman, Diplomat kondang Amerika Serikat, di sesi pertama perang Yaman menduduki kursi Duta Washington di Arab Saudi. Dalam wawancara dengan The Cradle, dia menjelaskan pengamatan mautnya mengenai perang Yaman dan situasi Lebanon.
Charles W. Freeman adalah Duta senior AS dan berpengalaman di India, Thailand dan China, bahkan pernah menjadi penerjemah Presiden Richrad Nixon dalam kunjungannya ke China kala itu, tepatnya pada tahun 1972.
Dalam kesempatan wawancara panjang dengan The Cradle, Charles W. Freeman membahas tentang Arab Saudi dan perang Yaman. Dengan tegas, dia menyatakan, “Koalisi Saudi harus mengakui kekalahannya di Yaman dan mundur dari sana.”
“Houthi tidak akan menyerah dalam perang sehingga mereka merasa terhinakan oleh pemerintah Saudi,” tegasnya.
“Kepentingan Amerika Serikat hanya untuk melawan sumber serangan terorisme versus kepentingan-kepentingannya. Pernyataan dukungan ke Arab Saudi hanya ditujukan untuk tidak memperburuk hubungan bilateral, AS-Saudi. Sementara banyak pihak di Amerika yang menentang dukungan serangan udara Arab Saudi,” tambahnya.
Mantan Diplomat Amerika itu juga menyindir diplomasi Amerika yang pasif dalam perang Yaman dan mengklaim, “Selama AS-Iran tidak menjalin relasi, maka tidak ada pihak yang bisa menjadi pelantara akhiri konflik Sanaa.”
Charles W. Freeman bahkan mengakui bahwa Yaman tidak menganggap Amerika sebagai aktor yang memiliki poin, tak berharga.
Kontraversi Kepentingan AS-Zionis
Mantan Duta AS di Saudi tahun 1989-1992 tersebut juga mengupas politik rezim Zionis di Kawasan Barat Asia dan tindakan provokasi Israel melawan Iran.
“Politik provokasi adalah politik pasti rezim Zionis,” tegasnya.
“Pertarungan antara Yahudi Amerika dan pendukung Israel terus meningkat. Nilai-nilai Amerika dan Israel saling bertentangan lebih dari sebelumnya. Kepentingan strategis Amerika dan Israel tidak saling berkaitan. AS sama sekali tidak ingin perang dengan Iran, namun Israel terus memaksa perang,” tambahnya.
Mantan Diplomat AS tersebut juga meyakinkan bahwa dirinya ragu pemerintahan Joe Biden akan menjerumuskan rezimnya dalam perang dengan Iran, meskipun memiliki hubungan kuat dengan Israel.
“Opsi-opsi militer rezim Zionis telah berakhir sedari pokok, jadi tidak mungkin rezim ini akan melangkah lebih banyak. Banyak tingkah bisa merusak perdamaian. Satu-satunya opsi perdamaian di regional adalah Israel menjabat tangan tetangga Arab. Harus dikatakan bahwa resolusi yang bernamakan resolusi Abraham adalah satu perjanjian menyimpang dan tidak akan menciptakan perdamaian,” cetusnya.
Mantan Diplomat AS tersebut menegaskan bahwa sahabat Arab rezim Zionis meskipun menentang Iran, “Tapi mereka sama sekali tidak mengagendakan perang Israel-Iran.”
Charles W. Freeman di bagian lain wawancaranya juga membahas krisis Lebanon dan dia mengungkapkan harapannya kepada Beirut agar mengambil keputusan tanpa intervensi asing dan menyatakan, “Pemerintah Lebanon sama sekali tidak efektif.”
“Hizbullah sebagai musuh bebuyutan Israel merubah Lebanon sebagai lawan Amerika Serikat. Gedung Putih terus menerus membangun pandangannya tentang Beirut berdasarkan tuntutan-tuntutan Israel dan melepas tema pokok sebagai sumber krisis Lebanon. Salah satunya (sebagai contoh), mereka tidak peduli pada mekanisme sektarian dalam Undang-Undang. Satu mekanisme yang menjadikan Lebanon sebagai medan perang proxy antara Iran versus Saudi, bahkan Damaskus vs Riyadh.”
Pemerintahan Donald Trump, menurut penelusuran mantan Diplomat kondang AS tersebut, melihat Lebanon sebagai musuh sekutu Iran. Dan Joe Biden mendukung militer pemerintah Beirut dengan tujuan melawan Hizbullah bukan membangun stabilitas.