Purna Warta – Usai perang dunia 2 Uni Soviet dan Amerika Serikat menjadi dua negara superpower yang mendominasi ekonomi dan politik dunia. Dualisme ini kemudian memanas dan menjadi persaingan ajang pertunjukan kemampuan dalam perang dingin.
Sebagaimana perseteruan antara dua kubu dimanapun di dunia, akan ada masa dimana perseteruan itu berakhir dengan kemenangan satu pihak dan kekalahan pihak lainnya. Pada 26 Desember 1991 USSR atau Uni Soviet secara resmi mengumumkan pembubaran pemerintahannya dan menandai usainya dualisme kekuatan global.
Uni Soviet tidaklah runtuh dalam semalam, terdapat banyak peristiwa yang mendahului kejatuhan kekuatan besar komunis tersebut yang jejaknya bahkan bisa ditarik beberapa dekade sebelum kejatuhannya.
Pada Oktober 1964 pemimpin Soviet Nikita Khrushchev dicopot dari jabatannya akibat sejumlah tuduhan yang dilayangkan kepadanya dan Leonid Brezhnev naik menjadi pemimpin Soviet berikutnya. Duduknya Brezhnev di kursi kepemimpinan Soviet menandakan dimulainya “Era Stagnasi”. Sebagian peneliti menyebut era itu dimulai sekitar tahun ‘70an
Era stagnasi adalah era dimana kondisi ekonomi, sosial dan politik Soviet mengalami stagnan yang cukup panjang. Era dimana ekonomi tidak memburuk dan juga tidak membaik akibat kebijakan-kebijakan politik yang terlalu was-was dan hanya berfokus untuk menjaga ekonomi tidak memburuk tanpa memikirkan reformasi perbaikan kondisi ekonomi.
Situasi ini tentu pada akhirnya menimbulkan pergolakan di tengah masyarakat yang kemudian diredam dengan berbagai cara, mulai dari propaganda hingga menggunakan kekerasan. Selama era stagnasi ini pertumbuhan ekonomi Soviet hanya di kisaran 3 persen pertahun.
Mangkatnya Brezhnev pada 1982 tidak banyak merubah apapun karena dua pemimpin Soviet berikutnya hanya mengikuti jejaknya.
Lalu pada 1985 muncullah Gorbachev yang datang dengan inovasi membawa perubahan terhadap Uni Soviet mengeluarkannya dari era stagnasi. Bahkan, istilah era stagnasi itu sendiri dipopulerkan oleh Gorbachev untuk menggambarkan situasi sulit yang melanda Uni Soviet beberapa dekade sebelum pemerintahannya.
Diantara misi-misi utama Mikhail Gorbachev adalah perestroika atau pembangunan ekonomi dengan memperkenalkan pasar kapital, Glasnost atau keterbukaan dengan memberikan kebebasan pers, demokratizatsiya atau demokratisasi dengan mengurangi kontrol partai komunis dan memberikan kelonggaran partai lainnya.
Kemudian Gorbachev juga merancang kebijakan luar negeri baru yang bertujuan memperbaiki hubungan dengan Amerika dan negara-negara Eropa barat lainnya. Gorbachev ingin mengurangi tensi yang ada dengan Amerika dengan melonggarkan kebijakan-kebijakannya demi mendatangkan investor asing serta memperbaiki citra Soviet di mata Amerika dan dunia.
Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan itu kendati bertujuan baik, namun manajemen yang kurang memadai justru membuatnya menjadi faktor runtuhnya Uni Soviet.
Terdapat beberapa kesamaan antara pemerintahan Soviet di bawah Gorbachev dengan pemerintahan Amerika di bawah Trump.
Slogan utama Trump yaitu “America First” atau “Make America Great Again” adalah sebuah slogan yang menggambarkan bahwa situasi Amerika di masa sebelum Trump tidak baik-baik saja. Krisis tahun 2008 yang sangat parah cukup mewakili situasi Amerika. Sama seperti era sebelum Gorbachev yang bahkan ia sebut sebagai era stagnasi.
Kebijakan menaikkan tarif produk-produk asing khususnya Cina dan mendongkrak produksi lokal yang dijalankan oleh Trump di masa kepemimpinannya membuka gerbang perseteruan dengan negeri tirai bambu tersebut. Seperti kebijakan ekonomi Gorbachev yang membuka gerbang kepemilikan swasta yang kemudian menjadi tak terkendali.
Metode yang digunakan Trump untuk menggaet suara melalui Twitter (kini X) dan menjadi anti-tesis dari para pengikut partai Demokrat sembari menyerukan partisipasi langsung masyarakat dalam sistem demokrasi mirip dengan kebijakan glasnost Gorbachev yang kemudian menimbulkan gelombang liberalisme di Soviet.
Mengklaim menentang perang terus menerus di Ukraina dan Palestina dan menyerukan penghentian peperangan, berbanding terbalik dengan para pendahulunya yang terus mengobarkan peperangan dalam kata lain, melawan arus para pendahulu. Metode ini sama dengan Gorbachev yang menabrak berbagai kebijakan komunis klasik.
Perseteruan antara Trump dan para pemimpin konservatif berserta pengikutnya khususnya perseteruan Trump dengan Pelosi di masa kepemimpinannya menggambarkan situasi politik internal yang carut marut. Sama seperti situasi yang melanda pemerintahan Gorbachev.
“Aku pikir kita sedang mengalami periode yang bisa aku katakan sebagai periode stagnasi Brezhnev. Periode stagnasi kita ini lebih lama karena aku pikir sudah kita alami lebih dari 10 tahun” ujar Jim Jatras seorang mantan diplomat Amerika yang pernah menjabat di Departemen Luar Negeri Amerika urusan Soviet.
“Trump itu tampak seperti sosok Gorbachev yang berpikir bisa membawa perubahan dan menyelamatkan Amerika Serikat. Aku pikir itu justru akan berakhir pada destabilisasi lebih lanjut” tambah Jatras.
Namun, alasan mengapa Amerika Serikat belum runtuh atau bahkan belum ada tanda-tanda akan runtuh adalah tiadanya katalis faktor-faktor tersebut. Kekeliruan Gorbachev dalam membaca situasi global, situasi internal yang carut marut akibat kebijakan-kebijakannya yang mendobrak kebiasaan serta peran kunci Amerika yang berusaha menciptakan unipolar mengakibatkan Soviet runtuh.
Kini Amerika kendati memiliki situasi dan masalah yang sama seperti Soviet sebelum runtuh, namun Amerika tidak memiliki musuh sebanding yang menjadi katalis kehancurannya.
“Namun, Amerika tidak memiliki pesaing berat sehingga jalannya akan masih panjang dan akan semakin sulit bagi negara-negara dunia” ujar Jatras kepada Sputnik.
Oleh: M. Rumi