Purna Warta – Kunjungan diplomat Iran ke Arab Saudi baru-baru ini menandai titik balik dalam upaya menghidupkan kembali hubungan diplomatik antara kedua negara mayoritas Muslim, kata seorang analis.
Hadi Kobaysi, seorang analis politik dari Lebanon dalam sebuah wawancara, mengatakan kunjungan Menteri Luar Negeri Iran Hussein Amir-Abdullahian ke Riyadh adalah satu lagi isyarat niat baik Iran yang telah lama berusaha meredakan ketegangan di kawasan dan membuat kerajaan tersebut meninggalkan sikap konfrontatifnya.
Baca Juga : Kelompok Perlawanan Dari Gaza Hingga Lebanon Bersiaga Tinggi Setelah Ancaman Israel
“Perjalanan Amir-Abdullahian ke Arab Saudi menandai titik balik dalam upaya mengurangi ketegangan, yang pada gilirannya dapat mengakhiri konfrontasi Iran-Saudi dan meningkatkan stabilitas di kawasan,” katanya.
Menteri luar negeri Iran memulai kunjungan perdananya ke kerajaan Arab awal pekan ini, di mana ia mengadakan pembicaraan dengan putra mahkota Saudi Mohammad bin Salman serta rekannya Pangeran Faisal bin Farhan.
Kunjungan pertama diplomat Iran dalam delapan tahun terakhir ini mewakili langkah penting dalam membangun kepercayaan antara kedua negara, lima bulan setelah mereka sepakat untuk memulihkan hubungan diplomatik.
Pangeran Faisal mengunjungi Tehran pada bulan Juni ketika kedua belah pihak sepakat untuk membentuk komite politik dan ekonomi bersama untuk menghidupkan kembali dan meningkatkan hubungan bilateral.
Baca Juga : Presiden Raisi: Iran Incar Kerja Sama Dengan Negara-negara Anggota BRICS
Kobaysi mengatakan keputusan Arab Saudi untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Iran berkaitan dengan kemunduran yang dialami negara tersebut terkait kebijakan regionalnya dan fakta bahwa kerajaan tersebut dilanda tantangan internal dan eksternal.
“Setelah 20 tahun menerapkan kebijakan bermusuhan terhadap kelompok perlawanan, Arab Saudi kini telah mengubah taktik dan menyetujui gencatan senjata strategis, yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan politiknya,” katanya.
Dia menunjuk pada perang berkepanjangan yang dilakukan koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman melawan gerakan perlawanan Ansarallah dan kerugian strategis dan material yang diderita koalisi dukungan Barat di sana.
“Hal ini terjadi setelah sekutu Barat Arab Saudi meninggalkan perjanjian tersebut di Yaman. Apa yang didapat Arab Saudi dari AS terkait Yaman hanyalah janji-janji yang tidak meyakinkan dan tidak jujur,” kata Kobaysi.
Baca Juga : Rusia: Ukraina Tembakkan Rudal ke Moskow dan Serang Krimea Dengan Drone
“Inilah sebabnya mereka sepakat untuk mengurangi ketegangan dengan warga Yaman,” tambahnya, merujuk pada perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani oleh Ansarullah Yaman dan koalisi pimpinan Arab Saudi tahun lalu.
Kobaysi mengatakan AS kini secara aktif menekan Arab Saudi untuk menghentikan atau setidaknya memperlambat proses normalisasi Iran-Saudi, namun sejauh ini terbukti tidak mampu menggagalkan proses pemulihan hubungan.
Dia mengutip seringnya kunjungan pejabat senior Amerika ke Arab Saudi, termasuk Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan.
Analis Lebanon ini mencatat bahwa Arab Saudi kini merasa lebih unggul dibandingkan AS dalam bidang diplomatik dan belum siap menyerah pada tekanan Barat.
“Tekanan diplomatik AS terhadap Arab Saudi sejauh ini tidak membuahkan hasil. Amerika telah mengumumkan bahwa mereka tidak siap menerima persyaratan Arab Saudi untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Israel,” katanya, mengacu pada dorongan Amerika agar Arab Saudi menjalin hubungan dengan rezim tersebut.
Baca Juga : Masuknya Iran Pada BRICS Bisa Jadi Penentu Keadaan
“Amerika dan Israel sekarang tidak memiliki cukup pengaruh untuk membalikkan proses normalisasi.”
Mengenai manfaat normalisasi dalam jangka pendek, Kobaysi mengatakan masih terlalu dini untuk membicarakan pencapaian proses normalisasi karena kepentingan kebijakan luar negeri Riyadh.
Oleh Ali Ghorban Bagheri