Akhir Bulan Madu Saudi – Emirat

emirat-saudi

New York, Purna Warta – Salah satu media warta Amerika Serikat menganalisa relasi Saudi – Emirat dan menyatakan akhir bulan madu kedua negara Arab Teluk Persia bersamaan dengan tumbuhnya berbagai duri perihal.

Foreign Policy menelisik jalinan persekutuan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang sempat kuat namun surut di saat ini, khususnya dalam tahun ini atau lebih detailnya dalam beberapa hari terakhir.

Perang Yaman, damai dengan Qatar, normalisasi dengan Israel, relasi dengan Turki, saham produksi minyak OPEC, strategi versus Iran dan perdagangan dalam perbatasan adalah hal-hal yang mengerosikan hubungan dua aktor dunia Arab.

Baca Juga : Hari-Hari Buruk Tunisia, Krisis Pasca Melawan Diktator 2011

Akan tetapi, Foreign Policy memberikan sedikit catatan, efek hubungan buruk ini tidak hanya terbatas pada dua kerajaan, akan pula mencakup semua 6 negara Dewan Kerjasama Teluk Persia.

Bahkan surat kabar Washington tersebut memperingatkan negara-negara di luar blok ini agar segera menyadari dan mengetahui hingga membangun persiapan serta mengkoordinasikan hubungannya dengan semua pihak regional.

Yang jelas perselisihan Emirat-Saudi sekarang ini bukanlah hal baru. Foreign Policy melaporkan, “Faktanya adalah perselisihan antara Riyadh dan Abu Dhabi bukanlah masalah baru. Perselisihan ini termasuk salah satu ciri politik ambisius Dewan Kerjasama Teluk Persia dalam beberapa dekade sebelum munculnya kebangkitan-kebangkitan dunia Arab tahun 2011.”

Foreign Policy memberikan catatan bahwa negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia rela tutup mata akan perselisihan ini karena adanya musuh bersama yaitu Iran.

Baca Juga : Dering Telpon Mesir-Hizbullah, Bahas Gaza dan Krisis Lebanon

“Kontraversi yang kembali muncul ini mengingatkan akan satu hal bahwa persaingan antar negara-negara Teluk Persia sudah mengalir di nadi-nadi anggota Dewan,” hemat Foreign Policy.

Surat kabar Amerika tersebut mengamati bahwa pergantian petinggi negara-negara Arab bersama tumbuhnya generasi baru pihak-pihak pemerintahan telah memberikan efek pada dinamika-dinamika baru dalam relasi antar negeri.

“Perubahan politik baru bukan satu peristiwa kebetulan yang tidak memiliki hubungan dengan perubahan generasi dalam tubuh petinggi dunia Arab,” jelasnya.

Kematian Raja Abdullah di Arab Saudi pada tahun 2015, Sultan Qaboos di Oman tahun 2020, Sheikh Sabah di Kuwait pada tahun 2020 dan kemunculan petinggi muda di kancah politik seperti Mohammed bin Salman di Arab Saudi, Sultan Haitham di Oman dan Tamim bin Hamad di Qatar telah menjadi faktor perubahan generasi pemimpin negara-negara Arab.

Dan kebangkitan pada tahun 2011 menjadi satu titik anyar dalam hubungan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk Persia. Efek-efek domino demonstrasi yang dimulai dari Bahrain telah memaksa negara-negara Arab Teluk Persia untuk menjalin hubungan lebih dekat untuk menghadapi satu hal yang diistilahkan ancaman bersama.

Baca Juga : New York Times: Tidak Satupun Dari Tentara AS yang akan Meninggalkan Irak

Mengoperasikan tank-tank militer di jalanan oleh kerajaan Al Khalifa pada Maret 2011 bisa dijadikan satu bukti bahwa bukan (hanya) Saudi ataupun Emirat yang tidak akan membiarkan revolusi kebangkitan meluap di negara-negara tetangga.

Inilah, menurut analisa Foreign Policy, yang menjadi titik mula persekutuan erat Saudi-Emirat, yang terbuktikan lebih erat dari yang dibayangkan dalam masalah Yaman dan Suriah hingga krisis dengan Qatar pada tahun 2017.

Pada tahun 2017, Bahrain, Saudi dan Emirat memblokade Qatar dan memaksanya dengan 13 tuntutan yang harus dijalankan. Salah satunya memutus relasi dengan Iran, menutup kantor berita Al Jazeera dan mengusir pasukan Turki dari Doha.

Foreign Policiy menyebut kontraversi diplomatis ini dengan Ambisi Gagal Menundukkan Qatar dan akhirnya pada tahun 2021 masalah selesai lewat perantara Kuwait.

Di tengah krisis Qatar tumbuhlah opini keruntuhan Dewan Kerjasama Teluk Persia sebagai organisasi dan hubungan baik Saudi-Emirat semakin dibesar-besarkan. Namun tak selang berapa lama, hubungan Riyadh-Abu Dhabi dirudung masalah.

Baca Juga : Covid-19 Menghantui Tahanan Palestina dan Yordania di Jeruji Saudi

Emirat keluar dari perang Yaman pada tahun 2020 dan dukungannya terhadap kelompok proxy bernama Dewan Transisi Selatan Yaman telah menyebabkan kemarahan Istana Raja Salman.

Foreign Policy menambahkan bukti lain dari hebatnya perselisihan dua kutub Teluk Persia tersebut dengan membawakan berita, yang bersumber dari underground Emirat, tentang keinginan Abu Dhabi untuk mengadakan perundingan dengan Iran pada musim panas tahun 2019 yang bertepatan dengan serangan Ansarullah ke titik nadi Arab Saudi.

Relasi normal di bawah perjanjian Abraham adalah satu urusan dari sekian masalah yang menjadi sumber pertikaian Saudi-Emirat. Ambisi Abu Dhabi mencari keuntungan di Washington telah memaksanya menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel, bahkan mendorongnya tanpa ragu. Sedangkan Riyadh, meskipun memiliki hubungan baik di balik layar dengan Tel Aviv, lebih mengambil langkah hati-hati.

Di tengah pergulatan ini, Arab Saudi berupaya mendudukkan dirinya sebagai gerbang baru perdagangan di Teluk Persia. Karena hal inilah, Riyadh menuntut perusahaan-perusahaan internasional untuk membangun kantor di wilayahnya. Istana Bin Salman mereformasi aturan serta hukum pajak sebagai bentuk perangnya menghadapi produksi barang di wilayah perdagangan bebas.

Baca Juga : Psyware Pegasus, Fasilitas Israel ke Negara Supresor

Dan gulat ini terus menjalar hingga dalam masalah saham produksi minyak anggota OPEC. Setelah konferensi OPEC+, delegasi kedua negara, Saudi-Emirat, saling mengucapkan pernyataan di depan media.

Abdulaziz bin Salman, Menteri Energi Saudi menyatakan, “Usulan Saudi dan Rusia tentang perpanjangan resolusi pengurangan produksi telah diterima semua anggota, kecuali Emirat. Jika setiap negara memiliki kritikan, kenapa sebelumnya diam.”

Suhail Al Mazroui, Menteri Energi Emirat, dalam pernyataannya mengatakan, “Tuntutan negara kami adalah keadilan. Emirat seperti negara-negara lainnya menuntut persamaan. Kami, sebagai korban, tidak bisa menerima dan bersabar lebih lama lagi.”

Masalah mendasar, di mata analisa Foreign Policy, di Dewan Kerjasama Teluk Persia adalah masalah keamanan yang masih menjadi bahan spanduk belaka.

“Kepentingan nasional yang mencakup variasi kebijakan ekonomi dan keamanan dalam negeri telah menjadi hal utama dalam tubuh anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia hingga menarik paksa Emirat dan Saudi untuk memetakan jalan kepentingan privasi,” hemat Foreign Policy.

Baca Juga : Bagaimana Nasib JCPOA Sekarang?

Surat kabar Washington tersebut memprediksikan bahwa anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia, yang memiliki ikatan keluarga, kabilah dan dagang, akan terus melanjutkan hubungan kerjasamanya. Akan tetapi psikologi “dagang” antar anggota akan lebih menonjol dan menyetir keputusan-keputusan politik, perdagangan dan masalah regional.

“Setiap satu dari anggota blok Teluk Persia tetap akan mempertahankan dasar dan pendekatan strategis Dewan Kerjasama, namun di saat yang sama mereka akan berupaya mendorong metode masing-masing pribadi,” analisa Foreign Policy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *