HomeAnalisaAbu Dhabi Vs Riyadh, Pertarungan Ekonomi Sahabat Semu

Abu Dhabi Vs Riyadh, Pertarungan Ekonomi Sahabat Semu

Riyadh, Purna Warta Pertarungan ekonomi antara Riyadh dan Abu Dhabi telah dimulai. Sudah lama Abu Dhabi mengoperasikan politik kemunafikan. Di satu sisi, Abu Dhabi menyebut diri sebagai saudara kecil Riyadh. Dari sisi lain, Emirat memiliki kepentingan yang kontra dengan Arab Saudi dan setiap saat melaksanakan manuvernya tanpa ragu.

Lisan halus di balik niat buruk tentu tidak akan bisa ditutup dalam waktu lama. Arab Saudi tidak pernah mau mengungkap kontraversi politiknya dengan Emirat karena masalah bertubi-tubi urusan dalam maupun luar negeri. Deklarasi permusuhan hanya akan memperburuk situasi.

Arab Saudi menyadari dengan baik bahwa aib serta kelemahannya telah diketahui Emirat lebih dari sebelumnya. Terjun perang politik dengan Abu Dhabi akan berakhir mahal. Di lain pihak Emirat akan mengakhiri tontonan lahir baiknya ini. Dari sisi inilah, bisa diindikasikan bahwa kontraversial dalam hal seperti perang Yaman, urusan Mesir, Tanduk Afrika, Pakistan, Asia Tenggara dan lain sebagainya akan tetap membara.

Akan tetapi dalam urusan ekonomi, Arab Saudi memutuskan untuk tidak ragu. Istana menegaskan kepentingan ekonominya. Dalam hal ini, Arab Saudi menjalankan tiga pembatasan serius terhadap ekonomi Emirat.

Baca Juga : Menteri Luar Negeri Saudi dan Turki Saling Tatap Muka di Uzbekistan

Pertama: Mengaktifkan Pusat Perusahaan Asing di Saudi

Pada tanggal 16 Februari Arab Saudi mengumumkan bahwa seandainya perusahaan-perusahaan internasional aktif di regional tidak memindahkan kantor pusatnya ke Riyadh, maka akan terancam pengguguran kesepakatan atau resolusi.

Langkah ini termasuk dalam manuver pembatasan peran Emirat sebagai pusat perdagangan Teluk Persia.

Baca Juga : Program HQ : Usaha Saudi Jadikan Riyadh Pesaing Dubai dalam Sektor Bisnis. Mungkinkah?

Kedua: Reformasi Aturan Pajak Perdagangan

Arab Saudi juga merubah peraturan impor barang dari negara-negara Dewan Kerjasama Teluk Persia. Dengan jelas melalui perubahan ini, Arab Saudi mengincar Emirat.

Arab Saudi telah melakukan pengecualian poin atas barang-barang produksi wilayah-wilayah bebas dan barang impor Israel dalam perpajakan.

Pembatasan pertama telah menghancurkan poin-poin persaingan wilayah bebas Emirat, termasuk wilayah bebas Jabal Ali yang akan mengurangi pendapatan Dubai secara signifikan.

Pembatasan kedua menghadang poin-poin ekonomi konsekuensi dari perjanjian Abraham atau normalisasi dengan Israel.

Baca Juga : Surat Kabar Qatar Kupas Detail Pertemuan Iran-Mesir

Ketiga: Larangan Kunjungan Saudi-Emirat

Pada tanggal 3 Juli, Arab Saudi melarang penerbangan dari Emirat, Vietnam, Ethiopia dan Afghanistan. Larangan ini berlaku sejak 4 Juli. Bahkan Saudi menjalankan pembatasan kepada siapapun yang sebelumnya telah berada di Emirat.

Perlu diperhatikan bahwa sudah lama Emirat berupaya menjadi kiblat perdagangan dan transportasi udara serta laut. Tentu pembatasan seperti ini menjadi batu halangan upaya Abu Dhabi dalam mencapai impiannya. Selain itu, strategi Bin Salman di bawah proyek penyatuan tiga Benua; Eropa, Asia dan Afrika telah membongkar persaingan ekonomi ini.

Tapi jelas bahwa semua perihal di atas ini harus difahami dalam kerangka pemahaman negara-negara Teluk Persia di periode pasca minyak. Hal inilah yang mendasari keragaman strategi negara-negara di bidang ekonomi.

Baca Juga : Ka’bah Kosong, Klub Malam Full… Saudi Periode Bin Salman

Cerahnya proyek wisata Emirat telah memaksa Arab Saudi bertanding menarik wisatawan mancanegara. Jika selesai nanti, Menara Jeddah akan menjadi gedung pencakar langit tertinggi dunia, mengalahkan Menara Khalifa di Dubai. Begitu pula daerah wisata pantai Laut Merah, pusat perbelanjaan di semua kota Saudi dan tempat pelancong sebagainya sedang dalam tahap penggarapan. Di samping itu, Arab Saudi juga mengupayakan reformasi sosial untuk menyambut kebebasan sebagaimana yang pernah terjadi di Dubai.

Dalam masalah cuan ini juga, Emirat tidak menggunakan kata maaf. Beberapa hari lalu, dengan lugas Emirat menyebut kontraversi minyak sebagai salah satu puzzle serangan. Tingkat keberanian Emirat dalam masalah ini di luar penantian. Emirat satu-satunya negara melawan semua anggota OPEC+ dan menyebut tidak adil saham yang telah disepakati dalam ketentuan tahun 2018 tentang kuantitas produksi minyak.

Kuantitas produksi minyak Saudi, sebagai mantan ketua OPEC, dan Rusia, sebagai Ketua OPEC sekarang, mencapai 11 juta barel per-hari. Sedangkan Emirat hanya mendapatkan saham produksi 3.168 juta barel per-hari.

Baca Juga : Aksi Kontroversial Mantan Imam Masjid Al-Haram, Selfie Telanjang Dada

Berdasarkan strategi bidang energi perusahaan nasional Emirat, Abu Dhabi telah menginvestasikan miliaran dolar untuk rekonstruksi kapasitas produksi minyak. Emirat berhasil mengembangkan kapasitas produksinya hingga di atas 4 juta barel per-hari.

Hari ini Emirat menuntut pembahasan ulang kuantitas saham produksi setiap negara anggota. Abu Dhabi menuntut peningkatan kapasitas produksi dari 3.168 menjadi 3.841 juta barel per-hari.

Emirat mengajukan dua usulan dalam pertemuan OPEC Plus. Pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak. Kedua, memperpanjang resolusi 2018 tentang penentuan jumlah saham anggota OPEC.

Suhail al-Mazroui, Menteri Energi Emirat, dalam sebuah wawancara menegaskan bahwa dirinya tidak menolak rencana peningkatan produksi minyak.

“Akan tetapi kami tidak bisa menerima perpanjangan kesepakatan, kecuali jumlah kapasitas digantikan,” jelasnya.

Baca Juga : Saudi Gelontorkan Modal Permak Wajah di Amerika Serikat

Sementara Menteri Perminyakan Arab Saudi, dalam wawancara dengan televisi al-Arabiya, menjelaskan bahwa dua usulan ini tidak bisa dipisahkan dan menyatakan, “Perpanjangan ini adalah dasar resolusi, bukan masalah sekunder.”

ADNOC, salah satu perusahaan minyak Abu Dhabi, telah membangun pondasi peningkatan kuantitas produksi minyak. Perusahaan ini ingin meningkatkan produksi minyaknya hingga 5 juta barel per-hari sampai tahun 2030.

Alasan keputusan ini adalah Emirat memprediksi bahwa dalam dekade ke depan, permintaan pasar minyak akan menurun. Minyak akan melepas singgasananya pada pasar energi baru. Oleh karena inilah, maka hari ini adalah kesempatan bernilai untuk penjualan dan penyulingan minyak.

Jika Emirat ingin mengambil satu kursi dalam pasar energi masa depan, maka Emirat harus merubah gudang minyaknya menjadi nilai dan menanam saham dalam teknologi energi baru.

Baca Juga : 7 Alasan Normalisasi Akan Segera Berakhir

Seandainya Arab Saudi tidak tunduk pada tuntutan Emirat, ada dua skenario yang terbuka lebar.

Skenario pertama: Skenario minimal;dan itu adalah Emirat membatasi persaingan di pasar saham. Dalam langkah selanjutnya, Emirat bisa menuntut uji atau verifikasi kapasitas produksi minyak per-hari Arab Saudi.

Mayoritas analis meyakini bahwa kekuatan utama Arab Saudi berada dalam kekuatan produksi minyak dan sumber yang masih banyak tersimpan, yang sekali-kali bisa dieksploitasi untuk menekan lawan regional bahkan internasional.

Namun demikian, diyakini bahwa antara laporan produksi serta kekayaan SDA ada jenjang. Arab Saudi telah menolak klaim-klaim terkait hal ini. Dengan membesar-besarkan kapasitas produksi per-harinya, Arab Saudi menjual minyak ke pasar lebih dari negara manapun.

Pada tahun 1990, seketika Arab Saudi melaporkan cadangan minyaknya dari 170 miliar menjadi 257 miliar barel tanpa adanya eksploitasi sumber minyak baru. Pada periode perang minyak tahun 2014-2016, Riyadh mencurahkan segalanya untuk menyingkirkan produsen minyak serpih (shale oil). Dalam jangka pendek, Arab Saudi mampu meningkatkan kapasitas produksi minyaknya menjadi 11 juta barel per-hari dengan eksploitasi cadangan minyak.

Baca Juga : Melihat Persaingan Emirat-Saudi, Apa Mungkin Bin Salman Ledakkan Jabal Ali?

Skenario kedua, skenario maksimal dan itu adalah Emirat keluar dari OPEC dan memutuskan untuk merusak keseimbangan penjualan minyak Teluk Persia dengan investasi dalam pasar energi masa depan, kekuatan lobi dan relasi strategis dengan dunia. Bahkan membangun satu sistem yang setingkat dengan sistem yang ditanam Saudi dalam mengatur pasar minyak regional.

Mungkin saja skenario ini dibatasi dalam lingkup ekonomi, akan tetapi bisa melebar secara bertahap hingga menuntut Emirat keluar dari Dewan Kerjasama Teluk Persia.

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here