Purna Warta – 5 tahun Mohammed bin Salman menduduki kursi Putra Mahkota dan selama itu pula putaran politik-ekonomi dan sosial-buda berubah-rubah di Arab Saudi.
Al-Mayadeen dalam analisa hari Selasa, 21/6, mengupas 5 tahun masa MBS di kursi Putra Mahkota Saudi dan situasi Riyadh terkini.
Dalam pendahuluannya, al-Mayadeen menuliskan, “Di 11 Juni 2017, Pangeran Mohammed bin Salman menggusur Mohammed bin Nayef dari kursi Putra Mahkota. Keputusan ini menjadi keputusan paling penting petinggi di Saudi. Sejak saat itu, Riyadh mengalami perubahan besar-besaran di semua ranah Agama, ekonomi dan partikel relasi dalam tubuh keluarga Kerajaan Saud. Dalam beberapa tahun terakhir ini, terendus upaya Bin Salman untuk memudahkannya menuju kursi Raja. Mengedepankan politik terbuka di tengah sosial Saudi via alat-alat yang tak dikenal sebelumnya. Di saat sistem pemerintahan disebut keras, MBS merubah identitas pemerintahan dan dasar sosial masyarakat.”
Dalam 5 tahun ini, sosial Saudi mengalami perubahan, karena Bin Salman mengizinkan bioskop dan konser musik. Saudi mengundang banyak seniman luar negeri ke Riyadh, mereka merayakan konser pertama kali dengan target menarik konsumen dalam negeri dan generasi muda sehingga pondasi yang ditargetkan MBS terbangunkan secara matang.
Selain itu, ada beberapa aturan serta hak baru diperuntukkan kaum perempuan dan merekapun bebas berkumpul dengan lelaki. Reformasi sosial lebih dari batasan umum, bahkan pesta dan artis film-film tak senonoh juga diundang. Kebijakan ini telah menumbuhkan kontroversial baik di dalam maupun di luar Arab Saudi, mereka ingin tahu target di baliknya.
Periode Baru Bersama Wahabi
Sejarah mengatakan bahwa pemerintah Arab Saudi memiliki 3 pondasi atau unsur utama: Wahabisme, sektarianisme dan minyak. Para pakar meyakini bahwa politik Bin Salman di akhir akan merubah tiga pondasi ini. Menyingkirkan peran Agamis di tangan MBS terejewantah dalam kebijakannya melumpuhkan kerja komisi Amer bil Ma’ruf dan Nahi Munkar atau yang biasa disebut polisi Syariat.
Detik ini polisi Syariat telah tersingkirkan, anggotanya telah dibatasi, bahkan bisa disebut sudah hilang. Ini selain dari upayanya menghapus kaum ekstrimis yang pernah menjadi pendukung penuh rezim Saud. Instansi agamis dan ekstrimisme berupaya menyesuaikan diri dengan pemerintah. Mereka serius menyelaraskan hukumnya dengan pemerintah.
Dalam wawancara kontroversialnya dengan media AS, Atlantic, Mohammed bin Salman menegaskan, “Kerajaan sedang berusaha memudarkan kebijakan agamis yang kadung menancap dalam beberapa dekade sebelumnya secara bertahap.”
Putra Mahkota MBS menjelaskan peran Sheikh Mohammed bin Abdul Wahhab, yang berperan dalam pembangunan kerajaan keluarga Saud, lalu hanya menyebutnya dengan penasihat. Dengan menggembosi peran agamis Abdul Wahhab dalam membangun sosial Saudi, Bin Salman mengklaim bahwa Abdul Wahhab adalah salah satu dari banyak penasihat yang bekerja kepada politikus dan petinggi militer Saudi.
Pakar meyakini bahwa pertarungan yang disulut Bin Salman versus gerakan agamis, tidak berjalan sesuai dengan kaedah modernis dan juga bertentangan dengan rel gerakan agamis yang biasa mengeluarkan fatwa sesuai pesanan. Hal ini lebih dari itu, perihal ini lebih selaras dengan gerak menuju normalisasi dengan kolonial abad 21, Israel dan membuat senyum Amerika.
Keruntuhan Keluarga dan Konflik Kawasan
Berkaitan kondisi keluarga kerajaan di masa Bin Salman, al-Mayadeen menuliskan, “Para pengamat meyakini bahwa Mohammed bin Salman telah mempercepat tutup usia pemerintahan keluarga Saud karena politik yang bertentangan dengan pendahulu dan akan menghancurkan kerajaan yang sudah berdiri 100 tahun. MBS telah memotong setiap tali dalam keluarga dan menciptakan pondasi kudeta, demo dan lainnya. Penangkapan yang diputuskan oleh Bin Salman, yang juga menyasar Pamannya sendiri, Ahmed bin Abdulaziz telah membangkitkan banyak prediksi dan opini panas.”
Krisis ini, menurut analisa al-Mayadeen, juga mengalir ke Kawasan, “Di kancah lebih luas, persaingan ini mengalir sampai ke wilayah Teluk Persia, di mana contoh paling jelasnya krisis diplomasi dengan Qatar di Juni 2017. Saudi, Emirat, Bahrain dan Mesir memutus hubungan diplomasi dengan Qatar karena tuduhan pendukung teroris. Mereka menutup jalan laut, pelabuhan, wilayah udara dan darat Doha. Ini adalah krisis paling parah Dewan Kerja Sama Teluk Persia sejak tahun 1981. Yang jelas, Bin Salman dan para pendukungnya mendapatkan kritik keras, bahkan surat kabar asing membongkar provokasi penggulingan pemerintahan Qatar. Krisis ini terus berjalan sampai tahun 2021.”
Mendukung Resolusi Abraham
Mengenai peran Riyadh dalam normalisasi Arab-Israel, al-Mayadeen menuliskan, “Di saat muncul tanda-tanda normalisasi transparan antara Emirat dan Israel di awal tahun 2019 dan pasca ditandatanganinya resolusi Abraham, media-media Israel mulai membongkar hubungan dekat Israel dengan pedagang dan petinggi Saudi. Kunjungan Benjamin Netanyahu, eks PM Israel, ke Arab Saudi dan pertemuannya dengan Putra Mahkota MBS bersama Mike Pompeo, eks Menlu AS telah dibongkar oleh surat kabar meskipun PM Israel telah berupaya menutupi hubungan rahasianya. Peran normalisasi Saudi tidak hanya terbatas pada hal ini, petinggi Istana membuka wilayah langitnya ke pesawat Israel dan mereka menyepakati penerbangan pesawat dagang Israel ke Dubai pada akhir November 2020. Dunia warta rezim Zionis mengabarkan bahwa Arab Saudi telah membuka wilayah udaranya untuk penerbangan pesawat perdagangan dari Israel ke Emirat.”
“Mohammed bin Salman telah melontarkan kalimat yang lebih lugas tentang relasi Saudi-Palestina. Pernyataan ini bisa dilihat selama periode Donald Trump dan resolusi kesepakatan abad ini. Satu pernyataan yang telah memisahkan jauh sipil Kawasan dengan rezim Saudi. Jalan terburu-buru normalisasi Riyadh ini begitu mencolok dengan bukti kebijakan MBS yang tak lagi mendukung nilai-nilai Palestina,” hemat al-Mayadeen.
Korupsi yang Merajalela
Di akhir, al-Mayadeen mengupas kejahatan finansial dalam tubuh kerajaan Saud dan menuliskan, “Kampanye di Saudi untuk menahan sejumlah penulis, jurnalis, ekonom, pakar dan aktivis telah meningkat. Menurut pengakuan Saud al-Qahtani, Penasihat MBS, kebijakan ini akan menyasar siapapun tanpa diskriminasi laki dan perempuan, tanpa melihat hilangnya beberapa tahanan secara paksa, penyiksaan dan pelecehan seksual aktivis perempuan, bahkan tutup mata atas ancaman nyawa mereka. Kasus teror Jamal Khashoggi di Turki merupakan pukulan berat ke Bin Salman. Beberapa negara, seperti Turki dan AS, memanipulasi kasus ini untuk menekan politik dan keamanan ke Istana.”
“Selain pengadilan tak adil, pembunuhan di luar hukum, pembunuhan secara tak langsung karena tidak memperhatikan kesehatan tahanan, penyiksaan dan eksekusi mati di Arab Saudi juga meningkat tajam. Akar-akar kejahatan bertambah dan hak asasi manusia juga memburuk seiring dengan hal ini. Di ranah ekonomi, Arab Saudi juga menetapkan pajak tertentu, mengurangi upah pendapatan, harga fasilitas umum menjadi mahal dan sejumlah besar keuangan negara hilang. Situasi ini telah membuat warga putus asa, sipil yang tidak bisa bergerak karena pengawasan pasukan keamanan,” akhir al-Mayadeen.