oleh: Haryati
Tidak banyak yang tahu, Revolusi Islam Iran disebut juga dengan revolusi perempuan. Imam Khomeini sebagai pemimpin revolusi mengatakan, kemenangan revolusi Islam Iran pada 11 Februari 1979 adalah untuk kaum perempuan Iran mendapatkan hak-haknya yang tidak diberikan oleh rezim despotik Shah Pahlevi. Petualangan revolusi Iran sesungguhnya bermula dari 17 Januari 1936 saat Reza Khan mengesahkan undang-undang pelarangan penggunaan jilbab bagi gadis dan perempuan dewasa Iran di sekolah, universitas, pusat adminstrasi dan pemerintahan. Reza Khan terinspirasi oleh gerakan progressif Kemal Attaturk yang melarang jilbab bagi perempuan Turki, saat melakukan satu-satunya perjalanan keluar negeri di Turki pada 2 Juni 1934. Sejak itu dia memandang, jilbab adalah penyebab keterbelakangan perempuan Iran dan jika ingin mencapai kemajuan dan Iran modern sebagaimana yang dirintisnya, perempuan Iran harus menanggalkan jilbab dan turut berbaur secara bebas dengan kaum laki-laki di ruang-ruang publik.
Pengesahan UU Pelarangan Jilbab tersebut memicu kemarahan ulama. Aksi demonstrasi pertama di era kekuasaan Pahlevi menuntut agar UU Pelarangan Jilbab itu dicabut. Respon dari aksi demonstrasi tersebut, dalam satu hari, lebih dari tujuh ratus orang yang berkumpul menentang pelarangan jilbab di Masjid Gohar Shad Masyhad ditembak dan dibunuh secara membabi buta. Untuk mempercepat pelaksanaan UU ini, Reza Khan secara provokatif mengatakan, “Yang dibolehkan menggunakan jilbab di tempat umum hanya pekerja seks komersial agar mudah dikenal profesinya, dan boleh ditanggalkan saat sudah menikah.” Qom sebagai kota religius memilih tidak menyekolahkan anak-anak perempuannya dan tetap berada di rumah dibanding harus melepaskan jilbab.
Kekuasaan Reza Khan tidak bertahan lama, ia dicopot sebagai raja Iran oleh Inggris pasca Perang Dunia II dan diserahkan kepada putranya Muhammad Reza dengan gelar Reza Shah. Melanjutkan misi ayahnya memodernisasi Iran, Reza Shah melakukan pendekatan lebih lunak mengenai jilbab. Ia mencabut UU pelarangan jilbab namun sebagai gantinya, ia mendorong kampanye massif dan besar-besaran gerakan anti jilbab. Selama periode Reza Shah, pakaian wanita Eropa secara bertahap muncul ke publik. Rezim juga membiayai organisasi-organisasi perempuan, rumah-rumah produksi film dan majalah-majalah yang mensosialiasikan perempuan tanpa jilbab adalah perempuan modern dan berperadaban. Proyek de-islamisasi Iran terus berlanjut melalui tulisan-tulisan yang menghina ulama dan menyudutkan ajaran-ajaran Islam sebagai penyebab keterbelakangan Iran.
Imam Khomeini sebagai ulama populer saat itu muncul memobilisasi gerakan rakyat untuk melakukan perlawanan. Kelompok masyarakat yang paling antusias menjawab seruan Imam Khomeini adalah perempuan-perempuan berjilbab. Pada pidato kemenangan revolusi Islam Iran -yang dirangkum dalam buku Makanah al-Mar’ah fi Fikr al-Imam Khumaini yang menghimpun pidato-pidato Imam Khomeini tentang perempuan-, dihadapan massa perempuan, Imam Khomeini berkata, “Kalian para perempuan di sini telah membuktikan bahwa kalian berada di garis depan gerakan ini. Kalian memiliki andil yang besar dalam gerakan Islam kita. Masa depan negara kita bergantung pada dukungan kalian.”
Pujian Imam Khomeini bukan isapan jempol, sebab terbukti gelombang perlawanan rakyat di jalan-jalan menuntut mundurnya Reza Shah karena keberhasilan kaum perempuan berperan tidak hanya dalam keterlibatan mereka dalam revolusi tetapi juga dalam memobilisasi kaum laki-laki. Banyak perempuan memprotes sambil membawa anak-anak dan kehadiran mereka adalah salah satu alasan utama untuk melucuti senjata tentara yang diperintahkan rezim untuk menembak jika perlu. Partisipasi perempuan di parlemen jalanan ini, membuat Imam Khomeini mengatakan, “Shah terusir oleh teriakan perempuan-perempuan pemberani ini, karena itu revolusi ini sesungguhnya revolusi perempuan. Dan buah dari kemenangan revolusi harus kaum perempuanlah yang lebih banyak menikmatinya.”
Perempuan Iran pasca Revolusi
Sebagaimana janji Imam Khomeini, kaum perempuanlah yang harus lebih banyak menikmati buah kemenangan revolusi, maka revolusi telah memasukkan perempuan Iran pada era yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kran kebebasan pada perempuan Iran untuk berpatisipasi dalam politik dan ruang publik di buka sebesar-besarnya, bukan dalam hal sensualitas tubuh dan pekerja kasar sebagaimana di masa Shah yang juga menggemborkan kebebasan pada perempuan, tetapi sebagai manusia utuh dengan kecerdasan pemikiran dan intelektualitas.
Revolusi Islam memulihkan martabat perempuan Iran dan memperkenalkannya pada identitas aslinya. Perempuan tidak lagi dinilai dari fisiknya, tapi dari ruhnya, yang juga bisa berpikir dan memiliki harapan-harapan hidup sebagaimana laki-laki. Dalam empat dekade terakhir, perempuan Iran turut bersama laki-laki dalam mencapai tingkat profesional dan ilmiah yang tinggi di lingkungan yang aman dan bermoral.
Imam Khomeini percaya bahwa perempuan harus terlibat dalam menentukan nasib dan masa depan negara. Ia berkata. “Kami tidak bisa dan Islam tidak ingin perempuan berada di tangan kami sebagai objek dan boneka. Islam ingin menjaga kepribadian perempuan dan menjadikannya manusia yang serius dan efektif. Kami tidak akan pernah membiarkan perempuan hanya menjadi objek dan nafsu bagi laki-laki.”
Di Republik Islam Iran saat ini, data statistik Iran menyebutkan 97 % perempuan berpendidikan. Lebih dari 60 % Mahasiswa sekarang adalah perempuan dengan 22,7 % perempuan Iran memiliki pendidikan pasca sarjana, jumlah professor perempuan di Iran ada 2100 orang. Majalah Forbes menyebutkan, 70% mahasiswa perempuan Iran di bidang sains dan tekhnik, karenanya tidak heran, jumlah peneliti dan ilmuan perempuan Iran lebih banyak dari laki-lakinya. 4.000 perusahaan sains dan 30 persen diantaranya dipimpin oleh perempuan.
Ada 2000 LSM perempuan, 712 jurnal perempuan, 540.000 atlit profesional perempuan dengan 160 medali Iran di kompetisi olahraga internasional dipersembahkan atlit perempuan. Dari total 2423 perusahaan startup Iran, 320 diantaranya co-foundernya perempuan. Seniman Iran 40%nya perempuan, termasuk aktris dan ada 25 sutradara perempuan yang diantaranya telah menyabet berbagai penghargaan nasional dan internasional.
Ada 60 ribu perempuan yang menjadi dokter spesialis, 8000 penulis perempuan dengan karya tulis diberbagai bidang. Di bidang politik, ada wakil presiden dan menteri perempuan, ada 4 gubernur perempuan, 7 wakil gubernur, 8 walikota, 19 bupati, 3574 anggota parlemen disemua tingkatan dan masih banyak fakta lainnya yang menunjukkan kebebasan perempuan dalam memberikan kotribusi bagi kemajuan negara. Di masa Shah mereka didorong keluar rumah untuk menonjolkan sensualitas, sementara di masa Republik Islam Iran, perempuan didorong keluar rumah untuk menonjolkan intelektualitas.
Aturan pengenaan jilbab kemudian oleh Republik Islam Iran bukan penghalang dan pengekangan kebebasan bagi perempuan untuk bisa aktif diberbagai sektor pembangunan bangsa dan negara. Sebab dengan berjilbab pun perempuan Iran tidak kalah berprestasinya. Aturan berjilbab inilah yang distigmakan oleh Barat sebagai pengekangan Islam pada perempuan. Melalui isu HAM dan kebebasan perempuan, Barat memojokkan Iran dengan menyebut perempuan tertindas dengan aturan berjilbab. Kasus Mahsa Amini hanyalah satu dari sekian banyak propaganda Barat menyudutkan Iran.
Faktanya, sampai hari ini perempuan Iran terlihat dimana-mana. Mulai dari mengemudikan truk sampai menerbangkan pesawat. Bukankah ini perubahan signifikan yang telah terjadi di Iran dan secara menakjubkan terjadi justru di tengah-tengah sanksi yang melumpuhkan yang diterapkan oleh kekuatan hegemonik Barat?. Orang-orang dunia yang berakal akan menghargai sistem Islam Iran dan melihatnya sebagai perlawanan terhadap hegemoni neo-imperialis. Dirgahayu Republik Islam Iran ke-44.
[Mahasiswi S2 Jamiah al-Zahra Republik Islam Iran]