Washinton D.C., Purna Warta – Presiden AS Joe Biden saat berbicara pada Senin (13/3) mengenai sistem perbankan setelah pemerintah bertindak dalam upaya membendung potensi krisis akibat keruntuhan dua bank besar. “Rakyat Amerika dan bisnis Amerika dapat memiliki keyakinan bahwa simpanan bank mereka akan tersedia sewaktu mereka membutuhkannya,” kata Biden.
“Saya dengan tegas berkomitmen untuk menuntut mereka yang menyebabkan kekacauan ini agar bertanggung jawab sepenuhnya dan untuk terus melanjutkan upaya-upaya memperkuat pengawasan dan regulasi terhadap bank-bank yang lebih besar sehingga kita tidak berada dalam posisi ini lagi.” Tegas Presiden AS ini.
Baca Juga : Arab Saudi Halangi Rencana Kunjungan Menlu Israel Untuk Pertemuan PBB
Departemen Keuangan AS mengatakan dalam sebuah pernyataan Minggu (12/3) bahwa para nasabah di Silicon Valley Bank yang berbasis di California dan Signature Bank yang berbasis di New York akan memiliki akses ke seluruh uang mereka pada hari Senin (13/3). Para regulator juga menyatakan tidak ada kerugian terkait keputusan soal kedua bank tersebut yang akan ditanggung oleh para pembayar pajak.
Pernyataan itu menyusul pertemuan para pejabat dari regulator keuangan tertinggi. Dalam pernyataan itu juga disebutkan Federal Reserve (Bank Sentral AS) memberi bank-bank lain akses ke program pinjaman darurat untuk memberi stabilitas tambahan ke sistem perbankan yang lebih luas.
Bank of England (Bank Sentral Inggris) pada Senin (13/3) juga mengumumkan penjualan anak perusahaan Silicon Valley Bank di Inggris ke HSBC untuk menstabilkan bank, “menjamin kelangsungan layanan bank, meminimalkan gangguan terhadap sektor teknologi Inggris dan mendukung kepercayaan pada sistem keuangan.”
Sejumlah Masalah Menanti
Menurut sebuah pernyataan Bank of England, seluruh uang nasabah dalam keadaan aman dan Silicon Valley Bank Inggris akan terus beroperasi seperti biasa. Tindakan ini dipicu oleh runtuhnya Silicon Valley Bank, yang disita regulator AS pada Jumat (10/3) setelah kekhawatiran mengenai kesehatan finansial bank tersebut menyebabkan sejumlah besar nasabah menarik uang mereka pada saat yang bersamaan.
Baca Juga : Aksi Protes Selama Berminggu-minggu Atas Reformasi Hukum Netanyahu
Dengan aset sekitar 200 miliar dollar AS (Rp 3 kuadriliun), runtuhnya Silicon Valley Bank merupakan keruntuhan terbesar kedua dalam sejarah AS. Bank ini memiliki keterlibatan besar dalam pembiayaan perusahaan-perusahaan modal ventura, terutama di sektor teknologi. Signature Bank juga memiliki sejumlah besar nasabah di sektor teknologi, termasuk mata uang kripto.
Keruntuhan bank beraset lebih dari 100 miliar dollar AS (Rp 1,5 kuadriliun) itu adalah yang terbesar ketiga dalam sejarah AS. Kedua bank tersebut terkena dampak kenaikan suku bunga, yang secara negatif memengaruhi nilai pasar dari sebagian besar aset mereka seperti surat-surat berharga dan sekuritas berbasis hipotek.
Menurut sejumlah sumber yang mengetahui masalah tersebut, FDIC sedang berupaya untuk mencari bank-bank lain yang bersedia merger dengan SVB yang fokus pada pembiayaan perusahaan rintisan. Meski FDIC berharap merger bisa terlaksana pada Senin (13/3) untuk melindungi simpanan tanpa penjaminan, belum ada kepastian mengenai merger itu, tambah para sumber yang meminta tidak diungkap identitasnya karena informasi yang diberikan bersifat rahasia.
SVB Financial, perusahaan induk dari Bank Silicon Valley, bekerja sama dengan bank investasi Centerview Partners dan firma hukum Sullivan & Cromwell mencari pembeli untuk aset-aset lainnya. Sumber itu mengatakan aset-aset itu antara lain bank investasi SVB Securities, perusahaan pengelola kekayaan Boston Private dan perusahaan riset ekuitas MoffettNathanson. Aset-aset tersebut diharapkan dapat menarik perhatian bank-bank kompetitor dan perusahaan ekuitas swasta. SVB tidak menanggapi permintaan komentar.
Baca Juga : Iran Lanjutkan Penerbangan dengan Arab Saudi Setelah Izin Resmi
Sejumlah perusahaan rintisan, seperti pembuat video game Roblox Corp dan pembuat perangkat streaming Roku Inc, mengatakan mereka memiliki simpanan bernilai ratusan juta dollar AS di bank tersebut. Roku mengatakan simpanannya di SVB sebagian besar tidak masuk penjaminan. Harga saham Roku anjlok 10 persen dalam sesi perpanjangan perdagangan. Masalah di SVB menyoroti bagaimana upaya bank sentral AS Federal Reserve bank sentral lainnya untuk meredam inflasi dengan mengakhiri era pinjaman murah, mengungkap kerentanan di pasar.
Kekhawatiran melanda Sektor Perbankan
Menurut perhitungan Reuters, bank-bank AS telah kehilangan lebih dari 100 miliar dollar AS (Rp 1,54 kuadriliun) nilai pasar saham selama dua hari terakhir, sedangkan bank-bank di Eropa merugi sekitar 50 miliar dollar AS (Rp 773,77 triliun).
Sejumlah masalah menanti Beberapa analis memperkirakan sektor perbankan akan menghadapi banyak masalah karena kasus SVB menebar kekhawatiran tentang risiko tersembunyi di sektor tersebut dan kerentanannya terhadap kenaikan biaya uang. “Mungkin akan ada pertumpahan darah minggu depan karena… para short-sellers ada di luar sana dan mereka akan menyerang setiap bank, terutama yang lebih kecil,” kata Christopher Whalen, ketua Whalen Global Advisors.
Departemen Keuangan AS mengatakan, Menteri Keuangan Janet Yellen bertemu dengan regulator perbankan pada Jumat (10/3) dan menyatakan “keyakinan penuh” pada kemampuan mereka untuk menanggapi situasi tersebut. Gedung Putih mengatakan pada Jumat (10/3) pihaknya memiliki keyakinan dan kepercayaan pada regulator keuangan AS, ketika ditanya tentang kegagalan SVB.
Baca Juga : AS Bereaksi Terhadap Kunjungan Lukashenko ke Iran
Asal kolapsnya SVB bermula dari kenaikan suku bunga. Suku bunga yang lebih tinggi menutup penggalangan dana publik melalui penawaran umum perdana bagi banyak perusahaan rintisan. Di sisi lain, penggalangan dana dari swasta menjadi lebih mahal hingga beberapa klien SVB mulai menarik uang. Pada Rabu (8/3), SVB menjual obligasi senilai 21 miliar dollar AS (Rp 324,98 triliun) yang sebagian besar terdiri dari Surat Utang AS (US Treasuries) untuk menebus penarikan dana nasabah itu. Mereka mengatakan, akan menjual 2,25 miliar dollar AS (Rp 34,81 triliun) saham biasa dan saham preferen konversi untuk menutup kebocoran dana.