Aktor Kunci dalam Perang Bernuansa Agama di Sudan — Bagaimana Konflik Keagamaan Mengabdi Pada Kepentingan Ekonomi?

Sudan

Khartoum, Purna Warta – Perang yang dimulai 15 April 2023 itu kini memasuki fase yang semakin meluas. Di satu sisi, SAF dengan dukungan Rusia berupa suplai senjata dan bahan bakar, berusaha mempertahankan kendali pusat negara. Di sisi lain, RSF yang memperoleh dukungan Uni Emirat Arab — termasuk alur senjata melalui Chad, sebagaimana dilaporkan PBB pada Januari 2024 — mengonsolidasikan penguasaan atas wilayah barat seperti Darfur.
Perang yang hingga November 2025 telah menyebabkan lebih dari 150.000 korban jiwa, 10 juta pengungsi internal dan 2 juta pengungsi lintas batas (berdasarkan laporan PBB Oktober 2025), diperparah oleh penyalahgunaan sentimen agama dan etnis. RSF yang berakar pada milisi Arab dituduh melakukan genosida terhadap non-Arab seperti komunitas Fur dan Masalit di Darfur. Sementara itu, SAF yang didukung kelompok Islamis seperti Partai Kongres Nasional menggambarkan perang ini sebagai “pertahanan atas identitas Islam”.
UEA mendukung RSF dengan pertimbangan ekonomis terkait emas — Sudan mengekspor emas senilai 1,5 miliar dolar ke Dubai pada 2024 menurut Wall Street Journal — dan menggunakan RSF sebagai instrumen pembatasan pengaruh Islam politik. Rusia, dengan orientasi ekonomi untuk mengakses minyak dan emas Sudan, memperkuat SAF guna menancapkan pengaruh di Laut Merah.
Akar konflik ini sendiri menjejak hingga perang Darfur 2003, ketika milisi janjaweed yang didukung rezim Bashir memerangi kelompok bersenjata non-Arab. Dengan cadangan minyak mencapai 300 miliar barel dan potensi tambang emas bernilai 1,5 miliar dolar, perang Sudan memperlihatkan bahwa motif ekonomi merupakan dimensi sentral yang dikemas dalam narasi agama dan etnis.
Dalam kerangka teori behavioralisme, dinamika Sudan dapat dijelaskan melalui persepsi, keyakinan, dan kalkulasi untung-rugi aktor. Burhan memaknai kekuasaan pusat sebagai “penjaga identitas Islam Sunni Sudan” dan memposisikan SAF sebagai garda pelindung identitas nasional. Narasi tersebut memobilisasi dukungan publik — termasuk 40.000 relawan — serta mendorong upaya memperoleh UAV dari negara sahabat untuk menahan penetrasi UEA.
Sebaliknya, Hamidti memaknai RSF sebagai “kekuatan rakyat berdarah Arab” dan memosisikannya sebagai pelindung “hak orang Arab” dari dominasi “Islamis SAF”. Keyakinan bahwa kontrol atas emas merupakan kunci bertahan hidup membuatnya semakin bersandar pada UEA. Narasi ini juga digunakan RSF untuk melegitimasi kekerasan di Darfur.
UEA memandang Sudan sebagai node untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan perluasan pengaruh di kawasan Laut Merah. Dukungan itu dikombinasikan dengan narasi anti-Islam politik dan upaya menyangkal keterlibatan secara resmi. Rusia memanfaatkan situasi untuk menghindari tekanan sanksi, dan beralih dukungan dari RSF ke SAF seiring perubahan kalkulasi.
Kesimpulannya: para aktor di Sudan mengombinasikan perhitungan ekonomi dengan instrumentalitas agama dan etnis, sehingga memperpanjang durasi perang. Motif emas, minyak serta geometri perang proksi menjadi struktur utama konflik ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *